Bab 101"Mas, ini tehnya diminum mumpung masih panas." "Iya, makasih." Sakha duduk lalu menyesap secangkir teh panas yang dibawa Ana dari dapur. "Bagaimana Mas Sakha bisa sampai sini?"tanya Ana heran. "Kamu mau kabur? Nggak ingat kalau Rahma sangat menyayangi Aira, Na?" Sakha tidak menjawab justru gantian bertanya pada Ana yang terkesiap. "Maaf, Mas. Aku nggak mau mengganggu hubungan Mas sama Mbak Rahma. Dia sangat baik padaku dan Aira." "Tapi dengan kamu kabur justru Rahma menjadi panik dan khawatir. Kami harus mencarimu kemana-mana sampai ketemu. Dia pernah sakit seperti Ratih." "Astaghfirullah. Lalu gimana Mas kalau Mbak Rahma tahu Mas Sakha ke sini?" Sakha menguap, ia meliukkan badannya yang pegal karena perjalanan dari Jakarta menyetir sendiri. "Aku pamit ke luar kota karena pekerjaan." "Jadi, Mbak Rahma belum tahu apa-apa tentang Mbak Ratih?" Raut wajah Ana justru semakin memperlihatkan kekhawatiran. Sakha pun menggeleng. "Aku akan mengatakan semuanya perihal Ratih da
Bab 102"Mas Sakha!" Seru laki-laki itu, sedangkan wanita di sampingnya menatap tak terbaca ke arah Sakha. Sakha mendongak ke arah sumber suara. Matanya membulat sempurna melihat dua sosok yang mengejutkan baginya. Tatapan mereka fokus mengarah ke Sakha yang terkejut bukan main. "Rahma? Arga?" Tatapan Rahma seolah mampu menghujam hati Sakha. Laki-laki itu mematung saat membawa keluar Ratih dari mobilnya. Ia melepaskan tangannya dari memapah Ratih. Pandangannya tertuju pada Rahma yang sedari tadi menatap fokus ke arahnya. Saling bertatapan lama, menyelami pikiran masing-masing, Sakha menghela napas panjang. Sejenak ia mengalihkan tatapan ke laki-laki di yang berdiri di samping tempat duduk Rahma, laki-laki itu tak lain adalah Arga adiknya. Pandangan Arga pun lebih parah, seperti ingin mengulitinya. "Mbak Ratih, Mas Sakha." Beruntung Ana keluar dari dalam rumah. Perempuan yang mengenakan rok selutut dipadu kaos lengan pendek itu bergegas menggantikan Sakha memapah Ratih. Ia membawa
Bab 103"Baiklah, aku serahkan semuanya pada Mas Sakha. Wanita itu lebih membutuhkan Mas daripada aku." Rahma menegakkan kepala. Ia tidak ingin terlihat terpuruk walau dalam hati ingin menjerit. "Rahma! Jangan begini! Aku membutuhkan dukunganmu." Sakha menarik lengan Rahma yang berniat pergi keluar kamar. "Mas! Dukungan apalagi yang Mas Sakha butuhkan? Aku sudah mengizinkan Mas mengurus Ratih. Dia istrimu, cinta pertamamu. Aku hanya datang mengisi kekosongan hatimu. Bahkan aku tidak mampu memberikan kebahagiaan untukmu." Rahma sedikit menengadahkan kepala agar air mata tidak berderai. Ia berat ingin melanjutkan ucapannya. Namun, ia pastikan akan lega setelah mengatakannya. "Terlebih dengan Ratih, Mas memiliki Aira. Putri yang lucu dan menggemaskan." Dengan suara parau akhirnya Rahma mampu mengucap kalimat itu. "Nggak Rahma. Kamu sudah menjadi bagian terpenting untukku. Aku hanya butuh dukungan, izinkan aku membuat Ratih sembuh kembali." "Lalu. Kalau dia sudah sembuh dan mengingat
Bab 104 KagetKeesokan harinya, Rahma dengan mantab memutuskan untuk tinggal membersamai suaminya. "Ga, pulanglah dulu! Mbak khawatir papa mama nggak tenang kita semua pergi dari rumah." "Tapi, Mbak?" "Mbak nggak apa-apa. Ada Mas Sakha di sini. Mbak akan menemaninya." "Baiklah. Kalau ada apa-apa Mbak segera kontak aku ya!" Rahma mengangguk. Setelah berbicara dengan iparnya, Arga berpamitan dengan Ana dan keluarganya. "Maafkan aku ya, Na! Aku salah paham padamu. Titip Mbak Rahma ya. Jagain dia jangan sampai penyakitnya kambuh. Aku takut Mbak Rahma sama seperti kakakmu lagi." "Iya, Ga. Aku janji itu nggak akan terjadi pada Mbak Rahma." Arga berlalu meninggalkan rumah Ana untuk menuju Jakarta. Dari arah teras, Sakha berjalan mendekat ke mobil yang sudah ada Arga di dalamnya. "Ga, terima kasih sudah menjaga Rahma." "Ingat, Mas. Mbak Rahma pernah sakit seperti kakaknya Ana. Jangan sampai terulang lagi hal yang sama atau Mas siap-siap menghadapi dua istri yang sakit." Deg.Sakha m
Bab 105"Capek ya, Mbok." "Sudah biasa, Mbak Rahma." Rahma reflek membantu menurunkan barang bawaan di gendongan belakang Mbok Irah. Hatinya tersentuh saat melihat wanita di usia senja itu masih semangat mengais rejeki. Matanya tiba-tiba berembun. Ia teringat papa dan mamanya yang bermukim di luar kota. Apa jadinya papa mamanya jika melihat dirinya terpuruk dengan kondisi depresi berat saat di awal pernikahan bersama Sakha. Kala itu, batin yang tertekan membuat Rahma ingin mengurung diri di rumah. Padahal mengurung diri di rumah bukan cara yang baik untuk mengatasi depresi. Sebab itu ia mengapresiasi usaha Rizky yang membantu Ratih keluar dan mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan. Udara yang segar dan terpaparnya sinar matahari akan membuat tubuh terasa lebih segar. Itulah yang dulu juga dilakukan Rahma dengan bantuan Sakha dan keluarganya. Selain itu, makanan bisa membantu mengurangi tingkat depresi. Makanan yang mengandung selenium dan magnesium tinggi sangat bagus untuk
Bab 106"Jangan, Ratih! Dia Mas Sakha!" Ratih meronta karena Rahma menahannya. Mangkuk pun terlepas dan beradu dengan ubin hingga dentumannya membangunkan Sakha yang sempat terlelap. Semua begitu cepat bersamaan itu, Rahma tak sengaja mendorong Ratih hingga kepalanya membentur ranjang yang terbuat dari kayu. Wanita itu berteriak mengaduh kesakitan lalu tak terdengar lagi suaranya membuat Sakha panik. "Rahma! Kenapa kamu mendorongnya?!" Rahma hendak menolong Ratih, tetapi niatnya dipatahkan oleh Sakha. Suaminya justru tanpa sadar mendorongnya hingga terjungkal. Seketika itu, Rahma mendadak merasakan nyeri perlahan menyergap hingga terasa menusuk di ulu hati. Bahkan lengkingan suara suaminya yang begitu mengkhawatirkan Ratih membuat hati Rahma porak poranda. "Ratih. Bangun Ratih! Ratih!" Sakha menoleh ke arah Rahma dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu menyakiti Ratih! Bukankah kamu mau menolongnya biar bisa sembuh? Kamu memang sengaja mau melukainya, hah?!" "Mas. Maafkan aku! Aku
Bab 107"Syukurlah, Mas. Oya, ini ada Mbak Rahma menunggu kabar. Apa Mas mau bicara dengannya?" "Nggak usah, Na. Nanti aku telpon ke ponselnya saja." "Oh begitu. Ya, Mas." "Gimana, Na?" Rahma bisa menangkap raut kebingungan di wajah Ana saat meminta suaminya berbicara dengannya di ponsel Ana. "Mbak Ratih sedang dipantau dokter, Mbak. Luka robek di kepala sudah dijahit." "Astaghfirullah. Gara-gara aku, Na. Ratih jadi kesakitan." "Nggak, Mbak. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua ini musibah dari Allah." Rahma bisa bernapas lega saat Ana tidak menyalahkannya. Namun, di sisi lain rasa sakit hati itu mencuat kembali. Apalagi suaminya justru menelpon Ana dan bukan dirinya. Rasa insecure yang pernah dialami Rahma mendadak muncul kembali membuatnya kalut. "Oya, Mbak. Mas Sakha harus menginap malam ini di klinik. Tadi sudah aku pesenin buat bicara sama Mbak Rahma. Mas Sakha nanti mau menghubungi sendiri ke ponsel Mbak Rahma." "Iya, Na. Terima kasih. Kalau gitu aku istirahat dulu, ya
Bab 108"Hah, pergi ke mana?" Sakha terkejut mendengar info itu. Sejenak ia baru tersadar semalaman mengabaikan Rahma yang dibentaknya, lalu pesan dan panggilan juga terabaikan. Seharusnya tadi malam ia menyempatkan mengabari Rahma. Namun yang terjadi ia justru terlelap karena kecapekan bekerja seharian ditambah kekhawatirannya pada Ratih. "Katanya pulang ke Jakarta," ucap Rizky lirih. "Astaga! Rahma!" Sakha kalang kabut. Ia melihat ponselnya lowbat dan seketika layarnya gelap. "Astaghfirullah. Ponselku mati, Riz." "Sebentar saya carikan pinjaman, Mas."Rizky keluar dari ruang rawat Ratih, entah kemana mau mencari pinjaman charger. Di saat Sakha mondar-mandir meraup wajahnya kasar, terdengar rintihan Ratih. "Ratih, kamu nggak papa? Mana yang sakit?" Sakha menahan ngilu saat melihat Ratih mengernyit sambil memegangi bagian kepala yang dijahit semalam. "Rizky..., di mana Rizky?" Sakha terkejut bukan main. Hatinya mengembang saat mendengar Ratih bisa menyebut nama sahabatnya. "Ini