Aku dobel up hari ini buat ganti kemarin yak. jangan lupa jejak love dan komentarnya. nantikan next bab esok ya. makasih sudah baca ceritakuš„°
Bab 106"Jangan, Ratih! Dia Mas Sakha!" Ratih meronta karena Rahma menahannya. Mangkuk pun terlepas dan beradu dengan ubin hingga dentumannya membangunkan Sakha yang sempat terlelap. Semua begitu cepat bersamaan itu, Rahma tak sengaja mendorong Ratih hingga kepalanya membentur ranjang yang terbuat dari kayu. Wanita itu berteriak mengaduh kesakitan lalu tak terdengar lagi suaranya membuat Sakha panik. "Rahma! Kenapa kamu mendorongnya?!" Rahma hendak menolong Ratih, tetapi niatnya dipatahkan oleh Sakha. Suaminya justru tanpa sadar mendorongnya hingga terjungkal. Seketika itu, Rahma mendadak merasakan nyeri perlahan menyergap hingga terasa menusuk di ulu hati. Bahkan lengkingan suara suaminya yang begitu mengkhawatirkan Ratih membuat hati Rahma porak poranda. "Ratih. Bangun Ratih! Ratih!" Sakha menoleh ke arah Rahma dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu menyakiti Ratih! Bukankah kamu mau menolongnya biar bisa sembuh? Kamu memang sengaja mau melukainya, hah?!" "Mas. Maafkan aku! Aku
Bab 107"Syukurlah, Mas. Oya, ini ada Mbak Rahma menunggu kabar. Apa Mas mau bicara dengannya?" "Nggak usah, Na. Nanti aku telpon ke ponselnya saja." "Oh begitu. Ya, Mas." "Gimana, Na?" Rahma bisa menangkap raut kebingungan di wajah Ana saat meminta suaminya berbicara dengannya di ponsel Ana. "Mbak Ratih sedang dipantau dokter, Mbak. Luka robek di kepala sudah dijahit." "Astaghfirullah. Gara-gara aku, Na. Ratih jadi kesakitan." "Nggak, Mbak. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua ini musibah dari Allah." Rahma bisa bernapas lega saat Ana tidak menyalahkannya. Namun, di sisi lain rasa sakit hati itu mencuat kembali. Apalagi suaminya justru menelpon Ana dan bukan dirinya. Rasa insecure yang pernah dialami Rahma mendadak muncul kembali membuatnya kalut. "Oya, Mbak. Mas Sakha harus menginap malam ini di klinik. Tadi sudah aku pesenin buat bicara sama Mbak Rahma. Mas Sakha nanti mau menghubungi sendiri ke ponsel Mbak Rahma." "Iya, Na. Terima kasih. Kalau gitu aku istirahat dulu, ya
Bab 108"Hah, pergi ke mana?" Sakha terkejut mendengar info itu. Sejenak ia baru tersadar semalaman mengabaikan Rahma yang dibentaknya, lalu pesan dan panggilan juga terabaikan. Seharusnya tadi malam ia menyempatkan mengabari Rahma. Namun yang terjadi ia justru terlelap karena kecapekan bekerja seharian ditambah kekhawatirannya pada Ratih. "Katanya pulang ke Jakarta," ucap Rizky lirih. "Astaga! Rahma!" Sakha kalang kabut. Ia melihat ponselnya lowbat dan seketika layarnya gelap. "Astaghfirullah. Ponselku mati, Riz." "Sebentar saya carikan pinjaman, Mas."Rizky keluar dari ruang rawat Ratih, entah kemana mau mencari pinjaman charger. Di saat Sakha mondar-mandir meraup wajahnya kasar, terdengar rintihan Ratih. "Ratih, kamu nggak papa? Mana yang sakit?" Sakha menahan ngilu saat melihat Ratih mengernyit sambil memegangi bagian kepala yang dijahit semalam. "Rizky..., di mana Rizky?" Sakha terkejut bukan main. Hatinya mengembang saat mendengar Ratih bisa menyebut nama sahabatnya. "Ini
Bab 109Sakha dan Rizky mengangguk paham. SAKHA merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Sebaiknya, orang-orang yang di dekat pasien membantu pemulihannya agar kondisi jiwanya stabil. Jangan memaksanya mengingat jika pasien sendiri tidak mengingikannya. Coba beri stimulus pelan-pelan hingga pasien merasa nyaman dan aman." "Baik, Dok. Terima kasih." Baik Sakha dan Rizky kembali ke ruang rawat Ratih. Namun, sebelum sahabat Ratih itu pulang, Sakha berbicara empat mata pada laki-laki itu. Di tempat lain, Rahma mengurungkan niatnya menaiki bus menuju Jakarta. Ia justru pergi ke alun-alun kota di wilayah Sukabumi. Rahma sangat bersyukur bisa menikmati hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di alun-alun. Meski sebenarnya tujuan ke tempat itu adalah untuk membuktikan kebenaran masa lalu suaminya. "Ah, balita mungil itu paling bisa membuatku rindu." Di alun-alun, Rahma mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke ibukota. Ia dilanda kebingungan jika sampai di Jakarta. Ia b
Bab 110 Tutup MulutSeiring waktu berjalan, laju bus yang terkadang cepat juga melambat membuat kantuk pun menyerang. Rahma bisa terlelap di perjalanan. Senja menampakkan keindahannya di batas cakrawala. Rahma akhirnya sampai di ibukota. Suasana bising kembali menyapa ketenangan hidup yang sesaat ia dapatkan di pedesaan. Memilih mendatangi rumah sakit tempat Sherly bekerja, Rahma tidak ingin diketahui keberadaannya. "Hai, muka kamu kok kusut gitu, Ma. Aku agak sibuk hari ini. Ada banyak pasien. Ada lima belas menit buat istirahat. Ayo ke ruangku!" Rahma mengulas senyum setelah berhasil bertemu sahabatnya. Ia merasa beban pikirannya akan terhempas setelah bertemu Sherly. "Apa kamu baik-baik saja?" Sherly mulai menanyakan terkait tes DNA yang diterima Rahma beberapa hari yang lalu. Rahma tidak menjawab justru isak tangis yang terdengar menyayat. Menyadari sahabatnya tidak sedang baik, Sherly memberinya waktu supaya tenang. Tak lama berselang, Rahma menceritakan beban pikirannya sa
Bab 111Rahma terlelap di sofa dengan sehela selimut menutup tubuhnya. Ia menonton berita di TV sampai-sampai layar TV yang justru menontonnya tertidur di sofa. Pagi-pagi sebelum Subuh, Rahma terbangun. Ia menggeliat dan terkejut saat tubuhnya oleng hingga membentur karpet di ruang tamu. "Astaghfirullah, kenapa aku bisa tertidur di sini." Gegas Rahma menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia tidak mau melewatkan waktu sepertiga malamnya untuk melangitkan doa. Waktu sepertiga malam merupakan salah satu waktu yang mustajab untuk doa diijabahi. Sebab itu, Rahma memanfaatkan waktu terbaik itu. Pagi hari sarapan sudah tersedia. Ia membuat dua omelet telur dengan daun bawang dan tomat cincang. Sedikit taburan lada membuat aromanya menusuk hidung hingga perutnya meronta-ronta. Tak lama kemudian bel apartemen berbunyi, ternyata Sherly baru saja tiba. Wajah lelahnya jelas terlihat di bagiaj kantung mata yang sedikit menggelap. "Aku mengantuk sekali. Aku ingin tidur seharian," racaunya
Bab 112"Aargh." "Ada apa? Kenapa berisik? Aku masih mengantuk, Sayang. Aku baru sampai beberapa jam yang lalu." "Mas Sakha tolong aku! Lepasin!" Rahma meneriakkan nama suaminya. Ia masih mengamuk dengan mata terpejam, berharap apa yang menimpanya pagi buta ini adalah mimpi. Bahkan alarm subuh pun belum berbunyi. Gegas ia membenahi selimutnya, karena hanya pakaian tipis yang melekat di tubuh. "Sherly ada shift malam, kenapa kamu pulang sekarang? Bukankah dia bilang suaminya pulang akhir pekan?" Rahma meraba tepi ranjang ingin menjauhkan diri dari makhluk Adam itu. Namun yang terjadi justru pinggangnya ditarik hingga ia terkunci dalam sebuah pelukan. "Kamu mau aku tidur dengan wanita lain?" "Hah. Kenapa suaranya berubah seperti suara Mas Sakha. Apa karena aku terlalu ketakutan jadi terngiang suaranya. Tidak, tidak. Aku mau pergi. Mas Sakha tolong aku!" "Ya Allah, Rahma! Ini suamimu, Sakha. Kamu kenapa sih? Aku benar-benar lelah. Biarkan aku memejamkan mata sejenak. Bangunkan ak
Bab 113"Kesembuhan Ratih masih berproses. Dokter berpesan untuk tidak memaksanya mengingat sesuatu yang membuatnya trauma seperti tekanan batin. Saat ini hanya Rizky yang ia percayai. Aku sudah berpesan pada laki-laki itu untuk menjaga Ratih. Bahkan dia bersedia untuk menemani Ratih sepanjang hidupnya." "Maksud, Mas? Rizky mau menikahi Ratih." "Iya, Sayang." Rahma tidak enak hati melihat wajah suaminya tiba-tiba sendu. "Mas rela? Ratih kan cinta per...." "Stt, tidak perlu diteruskan. Saat ini dan ke depan kamulah wanita yang kucintai. Jangan pernah pergi lagi jauh dariku. Aku gak sanggup melihat wanita yang kucintai menderita, Rahma. Kalau kemarin aku terpuruk melihat Ratih yang menderita. Saat ini aku senang, dia sudah kembali hidup normal meski tidak mengingatku." "Maafkan aku, Mas! Aku janji akan berusaha mengisi kekosongan hatimu." "Ya, kamu bahkan sudah mencurinya. Kamu sudah mengambil hatiku, Rahma." "Ckk, apaan sih, Mas. Katanya mau istirahat sampai Subuh kenapa menggomb
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak