Maaf telat UP. baru pulang dr luar kota langsung teler. Yuk tinggalkan jejak dan komentar ya. InsyaAllah aku dobel UP nanti.🥰
Bab 104 KagetKeesokan harinya, Rahma dengan mantab memutuskan untuk tinggal membersamai suaminya. "Ga, pulanglah dulu! Mbak khawatir papa mama nggak tenang kita semua pergi dari rumah." "Tapi, Mbak?" "Mbak nggak apa-apa. Ada Mas Sakha di sini. Mbak akan menemaninya." "Baiklah. Kalau ada apa-apa Mbak segera kontak aku ya!" Rahma mengangguk. Setelah berbicara dengan iparnya, Arga berpamitan dengan Ana dan keluarganya. "Maafkan aku ya, Na! Aku salah paham padamu. Titip Mbak Rahma ya. Jagain dia jangan sampai penyakitnya kambuh. Aku takut Mbak Rahma sama seperti kakakmu lagi." "Iya, Ga. Aku janji itu nggak akan terjadi pada Mbak Rahma." Arga berlalu meninggalkan rumah Ana untuk menuju Jakarta. Dari arah teras, Sakha berjalan mendekat ke mobil yang sudah ada Arga di dalamnya. "Ga, terima kasih sudah menjaga Rahma." "Ingat, Mas. Mbak Rahma pernah sakit seperti kakaknya Ana. Jangan sampai terulang lagi hal yang sama atau Mas siap-siap menghadapi dua istri yang sakit." Deg.Sakha m
Bab 105"Capek ya, Mbok." "Sudah biasa, Mbak Rahma." Rahma reflek membantu menurunkan barang bawaan di gendongan belakang Mbok Irah. Hatinya tersentuh saat melihat wanita di usia senja itu masih semangat mengais rejeki. Matanya tiba-tiba berembun. Ia teringat papa dan mamanya yang bermukim di luar kota. Apa jadinya papa mamanya jika melihat dirinya terpuruk dengan kondisi depresi berat saat di awal pernikahan bersama Sakha. Kala itu, batin yang tertekan membuat Rahma ingin mengurung diri di rumah. Padahal mengurung diri di rumah bukan cara yang baik untuk mengatasi depresi. Sebab itu ia mengapresiasi usaha Rizky yang membantu Ratih keluar dan mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan. Udara yang segar dan terpaparnya sinar matahari akan membuat tubuh terasa lebih segar. Itulah yang dulu juga dilakukan Rahma dengan bantuan Sakha dan keluarganya. Selain itu, makanan bisa membantu mengurangi tingkat depresi. Makanan yang mengandung selenium dan magnesium tinggi sangat bagus untuk
Bab 106"Jangan, Ratih! Dia Mas Sakha!" Ratih meronta karena Rahma menahannya. Mangkuk pun terlepas dan beradu dengan ubin hingga dentumannya membangunkan Sakha yang sempat terlelap. Semua begitu cepat bersamaan itu, Rahma tak sengaja mendorong Ratih hingga kepalanya membentur ranjang yang terbuat dari kayu. Wanita itu berteriak mengaduh kesakitan lalu tak terdengar lagi suaranya membuat Sakha panik. "Rahma! Kenapa kamu mendorongnya?!" Rahma hendak menolong Ratih, tetapi niatnya dipatahkan oleh Sakha. Suaminya justru tanpa sadar mendorongnya hingga terjungkal. Seketika itu, Rahma mendadak merasakan nyeri perlahan menyergap hingga terasa menusuk di ulu hati. Bahkan lengkingan suara suaminya yang begitu mengkhawatirkan Ratih membuat hati Rahma porak poranda. "Ratih. Bangun Ratih! Ratih!" Sakha menoleh ke arah Rahma dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu menyakiti Ratih! Bukankah kamu mau menolongnya biar bisa sembuh? Kamu memang sengaja mau melukainya, hah?!" "Mas. Maafkan aku! Aku
Bab 107"Syukurlah, Mas. Oya, ini ada Mbak Rahma menunggu kabar. Apa Mas mau bicara dengannya?" "Nggak usah, Na. Nanti aku telpon ke ponselnya saja." "Oh begitu. Ya, Mas." "Gimana, Na?" Rahma bisa menangkap raut kebingungan di wajah Ana saat meminta suaminya berbicara dengannya di ponsel Ana. "Mbak Ratih sedang dipantau dokter, Mbak. Luka robek di kepala sudah dijahit." "Astaghfirullah. Gara-gara aku, Na. Ratih jadi kesakitan." "Nggak, Mbak. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua ini musibah dari Allah." Rahma bisa bernapas lega saat Ana tidak menyalahkannya. Namun, di sisi lain rasa sakit hati itu mencuat kembali. Apalagi suaminya justru menelpon Ana dan bukan dirinya. Rasa insecure yang pernah dialami Rahma mendadak muncul kembali membuatnya kalut. "Oya, Mbak. Mas Sakha harus menginap malam ini di klinik. Tadi sudah aku pesenin buat bicara sama Mbak Rahma. Mas Sakha nanti mau menghubungi sendiri ke ponsel Mbak Rahma." "Iya, Na. Terima kasih. Kalau gitu aku istirahat dulu, ya
Bab 108"Hah, pergi ke mana?" Sakha terkejut mendengar info itu. Sejenak ia baru tersadar semalaman mengabaikan Rahma yang dibentaknya, lalu pesan dan panggilan juga terabaikan. Seharusnya tadi malam ia menyempatkan mengabari Rahma. Namun yang terjadi ia justru terlelap karena kecapekan bekerja seharian ditambah kekhawatirannya pada Ratih. "Katanya pulang ke Jakarta," ucap Rizky lirih. "Astaga! Rahma!" Sakha kalang kabut. Ia melihat ponselnya lowbat dan seketika layarnya gelap. "Astaghfirullah. Ponselku mati, Riz." "Sebentar saya carikan pinjaman, Mas."Rizky keluar dari ruang rawat Ratih, entah kemana mau mencari pinjaman charger. Di saat Sakha mondar-mandir meraup wajahnya kasar, terdengar rintihan Ratih. "Ratih, kamu nggak papa? Mana yang sakit?" Sakha menahan ngilu saat melihat Ratih mengernyit sambil memegangi bagian kepala yang dijahit semalam. "Rizky..., di mana Rizky?" Sakha terkejut bukan main. Hatinya mengembang saat mendengar Ratih bisa menyebut nama sahabatnya. "Ini
Bab 109Sakha dan Rizky mengangguk paham. SAKHA merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Sebaiknya, orang-orang yang di dekat pasien membantu pemulihannya agar kondisi jiwanya stabil. Jangan memaksanya mengingat jika pasien sendiri tidak mengingikannya. Coba beri stimulus pelan-pelan hingga pasien merasa nyaman dan aman." "Baik, Dok. Terima kasih." Baik Sakha dan Rizky kembali ke ruang rawat Ratih. Namun, sebelum sahabat Ratih itu pulang, Sakha berbicara empat mata pada laki-laki itu. Di tempat lain, Rahma mengurungkan niatnya menaiki bus menuju Jakarta. Ia justru pergi ke alun-alun kota di wilayah Sukabumi. Rahma sangat bersyukur bisa menikmati hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di alun-alun. Meski sebenarnya tujuan ke tempat itu adalah untuk membuktikan kebenaran masa lalu suaminya. "Ah, balita mungil itu paling bisa membuatku rindu." Di alun-alun, Rahma mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke ibukota. Ia dilanda kebingungan jika sampai di Jakarta. Ia b
Bab 110 Tutup MulutSeiring waktu berjalan, laju bus yang terkadang cepat juga melambat membuat kantuk pun menyerang. Rahma bisa terlelap di perjalanan. Senja menampakkan keindahannya di batas cakrawala. Rahma akhirnya sampai di ibukota. Suasana bising kembali menyapa ketenangan hidup yang sesaat ia dapatkan di pedesaan. Memilih mendatangi rumah sakit tempat Sherly bekerja, Rahma tidak ingin diketahui keberadaannya. "Hai, muka kamu kok kusut gitu, Ma. Aku agak sibuk hari ini. Ada banyak pasien. Ada lima belas menit buat istirahat. Ayo ke ruangku!" Rahma mengulas senyum setelah berhasil bertemu sahabatnya. Ia merasa beban pikirannya akan terhempas setelah bertemu Sherly. "Apa kamu baik-baik saja?" Sherly mulai menanyakan terkait tes DNA yang diterima Rahma beberapa hari yang lalu. Rahma tidak menjawab justru isak tangis yang terdengar menyayat. Menyadari sahabatnya tidak sedang baik, Sherly memberinya waktu supaya tenang. Tak lama berselang, Rahma menceritakan beban pikirannya sa
Bab 111Rahma terlelap di sofa dengan sehela selimut menutup tubuhnya. Ia menonton berita di TV sampai-sampai layar TV yang justru menontonnya tertidur di sofa. Pagi-pagi sebelum Subuh, Rahma terbangun. Ia menggeliat dan terkejut saat tubuhnya oleng hingga membentur karpet di ruang tamu. "Astaghfirullah, kenapa aku bisa tertidur di sini." Gegas Rahma menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia tidak mau melewatkan waktu sepertiga malamnya untuk melangitkan doa. Waktu sepertiga malam merupakan salah satu waktu yang mustajab untuk doa diijabahi. Sebab itu, Rahma memanfaatkan waktu terbaik itu. Pagi hari sarapan sudah tersedia. Ia membuat dua omelet telur dengan daun bawang dan tomat cincang. Sedikit taburan lada membuat aromanya menusuk hidung hingga perutnya meronta-ronta. Tak lama kemudian bel apartemen berbunyi, ternyata Sherly baru saja tiba. Wajah lelahnya jelas terlihat di bagiaj kantung mata yang sedikit menggelap. "Aku mengantuk sekali. Aku ingin tidur seharian," racaunya