Bab 99"Mbak Ratih, aku dan Aira pulang." Ana berucap lirih sambil duduk di samping kakaknya. Ia menggeser sedikit kaki kakaknya untuk ruangnya duduk. "Mbak, Ai baik-baik saja. Ai sudah bertemu ayahnya. Mas Sakha sudah ketemu, Mbak." Air mata semakin mengucur membuat Ana sesenggukan. Rasa sesak di dada semakin menyeruak. Keinginan sampai rumah begitu menggebu. Setelah melihat kondisi kakaknya, ia justru semakin sedih. Tidak ada pergerakan dari Ratih karena lelapnya tidur di sore hari. Mungkin Rizky baru saja mengantarnya pulang. Ana beranjak dari kursi lalu menuju kamar untuk menidurkan Aira. "Ana?!" Wanita yang wajahnya sebagian dihiasi keriput itu kaget melihat Ana. "Mbok sudah di rumah?" "Iya, barusan pulang tadi sejam yang lalu kayaknya. Trus Rizky datang mengantar pulang Ratih dari warung." Rizki memang kerap mengajak Ratih ke warung kelonton milik keluarganya. Ia berusaha membuat Ratih tidak menyendiri. "Ana nidurin Ai dulu, Mbok."Mbok Irah mengangguk, lalu bergegas ke
Bab 100"Kamu siapa?!" teriak wanita yang sudah memasuki senja. "Mbok, ini Sakha" "Hah?! Sakha suami Ratih?" Mbok Irah tercengang. Ia menutup mulutnya yang menganga karena tak percaya apa yang dilihat pagi-pagi buta. Bahkan mentari belum menampakkan sinarnya, sudah ada tamu bertandang. "Kamu..., bukankah kamu sudah menikah? Kenapa ke sini? Kamu mau menambah luka Ratih?" ungkap Mbok Irah terbata. Ia sudah tidak bisa menahan air mata yang berderai. Saat melihat Sakha, Mbok Irah kaget luar biasa. Namun, kekagetan itu terganti pandangan miris pada Ratih yang hanya bergeming. "Mbok, saya ke sini ingin melihat kondisi Ratih. Dia masih istri saya. Saya berjanji akan membuatnya sembuh. Apapun akan saya lakukan untuk membuatnya sembuh. Kita antar dia berobat rutin pada ahlinya." Sakha berucap sungguh-sungguh. Raut wajah penuh penyesalan membuat Mbok Irah terdiam tak lagi berniat mencaci dan menyalahkan suami cucunya. "Kemari Ratih!" Sakha mendudukkan Ratih yang masih asyik dengan dunianya
Bab 101"Mas, ini tehnya diminum mumpung masih panas." "Iya, makasih." Sakha duduk lalu menyesap secangkir teh panas yang dibawa Ana dari dapur. "Bagaimana Mas Sakha bisa sampai sini?"tanya Ana heran. "Kamu mau kabur? Nggak ingat kalau Rahma sangat menyayangi Aira, Na?" Sakha tidak menjawab justru gantian bertanya pada Ana yang terkesiap. "Maaf, Mas. Aku nggak mau mengganggu hubungan Mas sama Mbak Rahma. Dia sangat baik padaku dan Aira." "Tapi dengan kamu kabur justru Rahma menjadi panik dan khawatir. Kami harus mencarimu kemana-mana sampai ketemu. Dia pernah sakit seperti Ratih." "Astaghfirullah. Lalu gimana Mas kalau Mbak Rahma tahu Mas Sakha ke sini?" Sakha menguap, ia meliukkan badannya yang pegal karena perjalanan dari Jakarta menyetir sendiri. "Aku pamit ke luar kota karena pekerjaan." "Jadi, Mbak Rahma belum tahu apa-apa tentang Mbak Ratih?" Raut wajah Ana justru semakin memperlihatkan kekhawatiran. Sakha pun menggeleng. "Aku akan mengatakan semuanya perihal Ratih da
Bab 102"Mas Sakha!" Seru laki-laki itu, sedangkan wanita di sampingnya menatap tak terbaca ke arah Sakha. Sakha mendongak ke arah sumber suara. Matanya membulat sempurna melihat dua sosok yang mengejutkan baginya. Tatapan mereka fokus mengarah ke Sakha yang terkejut bukan main. "Rahma? Arga?" Tatapan Rahma seolah mampu menghujam hati Sakha. Laki-laki itu mematung saat membawa keluar Ratih dari mobilnya. Ia melepaskan tangannya dari memapah Ratih. Pandangannya tertuju pada Rahma yang sedari tadi menatap fokus ke arahnya. Saling bertatapan lama, menyelami pikiran masing-masing, Sakha menghela napas panjang. Sejenak ia mengalihkan tatapan ke laki-laki di yang berdiri di samping tempat duduk Rahma, laki-laki itu tak lain adalah Arga adiknya. Pandangan Arga pun lebih parah, seperti ingin mengulitinya. "Mbak Ratih, Mas Sakha." Beruntung Ana keluar dari dalam rumah. Perempuan yang mengenakan rok selutut dipadu kaos lengan pendek itu bergegas menggantikan Sakha memapah Ratih. Ia membawa
Bab 103"Baiklah, aku serahkan semuanya pada Mas Sakha. Wanita itu lebih membutuhkan Mas daripada aku." Rahma menegakkan kepala. Ia tidak ingin terlihat terpuruk walau dalam hati ingin menjerit. "Rahma! Jangan begini! Aku membutuhkan dukunganmu." Sakha menarik lengan Rahma yang berniat pergi keluar kamar. "Mas! Dukungan apalagi yang Mas Sakha butuhkan? Aku sudah mengizinkan Mas mengurus Ratih. Dia istrimu, cinta pertamamu. Aku hanya datang mengisi kekosongan hatimu. Bahkan aku tidak mampu memberikan kebahagiaan untukmu." Rahma sedikit menengadahkan kepala agar air mata tidak berderai. Ia berat ingin melanjutkan ucapannya. Namun, ia pastikan akan lega setelah mengatakannya. "Terlebih dengan Ratih, Mas memiliki Aira. Putri yang lucu dan menggemaskan." Dengan suara parau akhirnya Rahma mampu mengucap kalimat itu. "Nggak Rahma. Kamu sudah menjadi bagian terpenting untukku. Aku hanya butuh dukungan, izinkan aku membuat Ratih sembuh kembali." "Lalu. Kalau dia sudah sembuh dan mengingat
Bab 104 KagetKeesokan harinya, Rahma dengan mantab memutuskan untuk tinggal membersamai suaminya. "Ga, pulanglah dulu! Mbak khawatir papa mama nggak tenang kita semua pergi dari rumah." "Tapi, Mbak?" "Mbak nggak apa-apa. Ada Mas Sakha di sini. Mbak akan menemaninya." "Baiklah. Kalau ada apa-apa Mbak segera kontak aku ya!" Rahma mengangguk. Setelah berbicara dengan iparnya, Arga berpamitan dengan Ana dan keluarganya. "Maafkan aku ya, Na! Aku salah paham padamu. Titip Mbak Rahma ya. Jagain dia jangan sampai penyakitnya kambuh. Aku takut Mbak Rahma sama seperti kakakmu lagi." "Iya, Ga. Aku janji itu nggak akan terjadi pada Mbak Rahma." Arga berlalu meninggalkan rumah Ana untuk menuju Jakarta. Dari arah teras, Sakha berjalan mendekat ke mobil yang sudah ada Arga di dalamnya. "Ga, terima kasih sudah menjaga Rahma." "Ingat, Mas. Mbak Rahma pernah sakit seperti kakaknya Ana. Jangan sampai terulang lagi hal yang sama atau Mas siap-siap menghadapi dua istri yang sakit." Deg.Sakha m
Bab 105"Capek ya, Mbok." "Sudah biasa, Mbak Rahma." Rahma reflek membantu menurunkan barang bawaan di gendongan belakang Mbok Irah. Hatinya tersentuh saat melihat wanita di usia senja itu masih semangat mengais rejeki. Matanya tiba-tiba berembun. Ia teringat papa dan mamanya yang bermukim di luar kota. Apa jadinya papa mamanya jika melihat dirinya terpuruk dengan kondisi depresi berat saat di awal pernikahan bersama Sakha. Kala itu, batin yang tertekan membuat Rahma ingin mengurung diri di rumah. Padahal mengurung diri di rumah bukan cara yang baik untuk mengatasi depresi. Sebab itu ia mengapresiasi usaha Rizky yang membantu Ratih keluar dan mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan. Udara yang segar dan terpaparnya sinar matahari akan membuat tubuh terasa lebih segar. Itulah yang dulu juga dilakukan Rahma dengan bantuan Sakha dan keluarganya. Selain itu, makanan bisa membantu mengurangi tingkat depresi. Makanan yang mengandung selenium dan magnesium tinggi sangat bagus untuk
Bab 106"Jangan, Ratih! Dia Mas Sakha!" Ratih meronta karena Rahma menahannya. Mangkuk pun terlepas dan beradu dengan ubin hingga dentumannya membangunkan Sakha yang sempat terlelap. Semua begitu cepat bersamaan itu, Rahma tak sengaja mendorong Ratih hingga kepalanya membentur ranjang yang terbuat dari kayu. Wanita itu berteriak mengaduh kesakitan lalu tak terdengar lagi suaranya membuat Sakha panik. "Rahma! Kenapa kamu mendorongnya?!" Rahma hendak menolong Ratih, tetapi niatnya dipatahkan oleh Sakha. Suaminya justru tanpa sadar mendorongnya hingga terjungkal. Seketika itu, Rahma mendadak merasakan nyeri perlahan menyergap hingga terasa menusuk di ulu hati. Bahkan lengkingan suara suaminya yang begitu mengkhawatirkan Ratih membuat hati Rahma porak poranda. "Ratih. Bangun Ratih! Ratih!" Sakha menoleh ke arah Rahma dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu menyakiti Ratih! Bukankah kamu mau menolongnya biar bisa sembuh? Kamu memang sengaja mau melukainya, hah?!" "Mas. Maafkan aku! Aku