Sabar Sintia! Kini kesempatan kamu untuk cari simpati pada ibunya Abian. Tidak ada anaknya, emaknya pun jadi. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.Aku yang sejak tadi hanya menunduk dan diam, seolah sedang memikirkan banyak masalah rupanya menjadi perhatian ibunya Abian."Sepertinya kamu sedang banyak masalah. Sudah sarapan?" tanya orang tuanya Abian. Yes, mulai masuk perangkap. Aku segera mendongak dan memberikan senyum tipis."Saya kalau sedang banyak masalah tidak nafsu makan, Bu," jawabku dengan memasang wajah lesu. "Yang sabar, ya, semoga masalahnya cepat selesai. Kalau tidak keberatan boleh cerita sama saya. Barangkali saya bisa membantu," ucap wanita di hadapanku. Yes, sepertinya rautku sangat menyakinkan. Aih, seharusnya aku jadi pemain sinetron saja kalau begini."Terima kasih banyak, Bu." Aku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya masalah saya adalah … men — menunggak membayar kontrakan." Aku kembali menunduk sambil memilin ujung jilbab pashmina yang aku juntaikan ke ba
Aku tidak tahu apa isi otak suamiku saat tangannya melepaskan genggaman kami dan sorot matanya tak berkedip menatap Silvia. Semakin tak nyaman saat ia dan ibu berharap aku segera hamil. Aku memang menginginkan pecel karena itu salah satu makanan favoritku, bukan karena bawaan bayi. Makanya aku hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Aku sengaja segera ke dapur karena tak ingin hatiku semakin panas. Sikap kak Abian itu plin-plan. Membuatku jengah dengan semua ini. Aku kira dia benar-benar mencintai dengan tulus. Buktinya baru dihadapkan pada kecantikan Sintia dia sudah berpaling dari aku. Sakit! Sakit sekali aku diperlakukan seperti tadi. Sesak sekali dada ini rasanya. Tes! Tanpa terasa air mata meluncur begitu saja dari sudut mataku."Mbak Silvia mengapa menangis?" tanya mbok Nur saat melihatku."Ah, nggak, Mbok. Ini hanya kelipan semata. Aku mau mandi dulu, Mbok. Itu nanti terserah mau dimasak apa," ucapku seraya menunjuk pada tumpukan sayuran di samping westafel yang aku bawa da
"Aauu …"pekik Silvia dari dalam. Suaranya seperti ada di balik pintu."Sayang, kamu kenapa? Buka pintunya, Sayang!" Aku sangat khawatir. Takut terjadi apa-apa dengan wanitaku.Allah, apa yang terjadi dengan istriku? Sekali lagi aku mencoba menggedor pintu. Namun, pintaku tak direspon oleh wanita yang sedang marah itu. Pintunya masih tertutup. Apakah hatinya pun tertutup untukku? "Sakit …." Suaranya melemah. Aku semakin panik. Aku pun terus memanggil dan meminta untuk dibukakan pintu. Akhirnya suara handle pintu dibuka."Sayang kamu kenapa?" Aku sangat cemas saat melihat dia meringis sambil memegangi perutnya. Aku memeluk tubuhnya yang sedang bersandar di tembok. Namun, Silvia segera melepaskan diri dari rengkuhanku. Tatapannya sangat tajam."Maafkan kakak, Sayang. Itu semua tidak seperti apa yang kamu lihat. Sintia tadi tersandung dan hampir terjatuh refleks kakak membantunya," ucapku jujur sembari mengambil tangannya. Lagi-lagi ditepis oleh istriku."Aku jijik dengan tangan dan tub
"Kenapa, Bu?" Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. "Temui dokternya terlebih dahulu." Aku mengangguk setelah mendengar ucapan ibu. "Ibu tunggu di sini. Setelah kembali dari ruangan dokter tolong segera kembali dan selesaikan masalah kalian berdua." Ibu menepuk pundakku dengan lembut.Aku mengangguk sebelum berjalan meninggalkan beliau.Gegas, aku berjalan ke arah ruangan dokter Mia. Dokter yang memeriksa istriku. Sepanjang lorong aku melewati wajah-wajah yang sendu dan penuh kekhawatiran, dari orang-orang yang sedang duduk di kursi depan kamar-kamar pasien. Namun, pemandangan itu tidak mampu mengusir dan mengalihkan tanda tanya besar dalam kepala ini.Berbagai macam pertanyaan bersarang dalam kepalaku. Bagaimana keadaan istri dan anakku? Mengapa ibu terlihat murung begitu? Apa yang sebenarnya terjadi? *****Setelah menemui dokter aku kembali menemui ibu di depan ruangan Silvia. "Apa kata dokter?" Ibu terlihat sangat penasaran. "Alhamdulillah kandungannya baik-baik saja
Di rumah sederhana ini Silvia disambut dengan penuh suka cita oleh paman dan bibinya. Istri paman Gozali benar-benar telah berubah menjadi baik lagi dengan istriku. "Kak, aku ingin degan di depan rumah ini," pinta Silvia saat aku hendak berbaring di sisinya. "Apa nggak bisa besok, Sayang?" Aku berharap wanitaku merubah pikiran. "Maunya sekarang. Bagaimana dong?"Gila jam setengah sepuluh malam suruh manjat pohon kelapa. "Sayang kita beli saja, ya? Kakak kan nggak bisa manjat pohon, Sayang," aku terus bernegosiasi dengan ibu negara."Nanti mau anakmu ileran?" Aku menggelengkan kepala. Beringsut dari ranjang kayu jati. Tempat tidur yang sengaja aku beli untuk kamar kami bilang sedang bermalam di sini."Aku ikut," ucap Silvia saat aku akan membuka pintu."Kalian mau pada ke mana?" tanya Paman saat aku membuka pintu depan."Mau ngambil degan, Paman. Silvia minta degan malam-malam begini," ucapku jujur.Paman malah tersenyum sendiri."Turuti saja dari anaknya ileran," ujar paman yang
POV Sintia. Aku masih merasa sakit hati oleh perlakuan Abian. Bisa-bisa ia memecatku tanpa bekas kasihan. Memang, sih sebenarnya aku tidak terlalu membutuhkan gaji dari Abian karena tanpa bekerja pun mertuaku setiap bulan mengirimkan uang yang cukup untuk kebutuhan kami bertiga. Dengan dipecat begitu aku kehilangan kesempatan untuk mendekati Abian.Dia sudah berhasil mempermalukan aku di rumah sakit. Sekarang ia pun harus berani menanggung resiko dari perbuatannya itu.Aku sengaja membuka gudang belakang untuk mencari sesuatu. Akhirnya yang aku butuhkan ketemu jua. Surat cinta yang ditulis tangan oleh seorang Abian. Cowok tampan pada masanya. Untung surat itu tidak dimakan rayap karena disimpan dalam lemari kaca.Tidak sia-sia aku memiliki hobi mengumpulkan barang-barang pemberian mantan. Di dalam lemari ini ada berbagai macam barang dari para lelaki yang pernah menjadi pacarku. Ha ha ha. Tawaku membahana setelah memposting status di FB. Aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri
"Sama sekali kakak nggak tahu?" Kak Abian menggelengkan kepala."Tunggu. Berarti itu benar-benar pak Abian yang memeluk Sintia?" tanya Aiza. Aku menang belum cerita sama perempuan yang sedikit tomboy itu."Benar, Aiza. Tetapi, bukan tanpa alasan aku melakukan semua itu," ungkap lelaki yang menjadi ayah dari anakku. Aiza tampak serius, keningnya dilipat berkali-kali.Kak Abian pun menceritakan kenapa ia bisa memeluk Sintia di rumah kami. "Benar-benar gila perempuan itu!" ujar Aiza setelah mendengar penjelasan suamiku."Berarti ada yang mengabadikan saat kalian berpelukan saat itu. Tetapi siapa?" Aiza pun mengajukan pertanyaan yang sama denganku.Kami diam sesaat. Larut dalam pikiran masing-masing."Saya akan membantah status itu, Pak Abian, Silvia, kalian tentang saja." Aiza tampak geram. Tangannya pun dengan lincah menari di atas keyboard handphonenya. Aku masih berpikir siapa pelaku yang sudah mengambil foto mereka berdua? "Ini sudah kirim balasan untuk Sintia. Aku menggunakan ak
"Apaan, sih, Sayang. Anggraini itu sudah menikah satu tahun yang lalu. Jadi kamu tidak perlu khawatir aku akan kepincut dengan kecantikannya. Toh, tetap tidak akan berpengaruh seandainya dia belum menikah. Hati dan pikiranku saat ini hanya tertuju padamu," ungkapku sembari menyetir mobil. Wanita yang sedang hamil muda itu sepertinya tak percaya dengan ucapanku. Dia hanya mencebik. Aku kembali fokus ke arah jalan. Masih tak ada tanda-tanda dia akan merespon ucapanku. Tuhan … bukakan jalan pikirannya untuk bisa menerima penjelasanku. Aku akan menjelaskan sekali lagi. Kalau masih saja tidak didengarkan lebih baik aku diam saja. Biar dia tahu kalau aku pun bisa ngambek."Setahun yang lalu kakak dapat undangan dari Anggraini, Sayang. Dia menikah dengan seorang guru. Makanya tadi kakak tanya di sana sama siapa? Barangkali ia mau memperkenalkan suaminya pada kita," beberku tanpa ditanya terlebih dahulu. Aku menatap sekilas perempuan yang sedang membuang pandangannya ke luar jendela itu.