Aku terdiam sesaat. Meneguk air liur yang tiba-tiba susah ditelan. Menata kata-kata yang mudah dicerna oleh mereka."Bunda terpaksa berbohong demi kebaikan kita. Boleh, kok, berbohong demi kebaikan," ujarku berbohong. Tak apalah sedikit berbohong agar aku bisa mendapatkan banyak keuntungan. Aku tahu persis bahwa Abian itu orangnya tidak tegaan. Buktinya kemarin aku saat bilang tidak mau naik angkot karena tak punya uang, lelaki itu tanpa banyak kata langsung mengeluarkan uang tiga lembar berwarna merah. Maka dari itu aku akan berakting lagi malam ini di depannya. Aku harus bekerja sama dengan melibatkan beberapa orang. Termasuk anak-anakku agar semua kelihatan sungguhan dan tidak dibuat-buat."Bunda kenapa harus berbohong segala, sih?" Pertanyaan polos diajukan oleh Alya."Kalian pengen banyak uang dan punya bapak baru, nggak?" Selama ini mereka selalu merindukan bapaknya.Mereka terdiam dan saling pandang. "Jadi teman bunda ini orangnya baik, dia akan memberikan apa pun pada orang
"Maaf, ini aku masih menyetir dalam perjalanan. Aku akan segera ke sana. Tunggu!" Mendengar suara Abian aku sedikit lega. Artinya cowok itu akan benar-benar kemari. Yes! Itu suara mang Maman. Aku segera membukakan pintu depan setelah mendengar ucapan salam dari luar. "Masuk, Mang." Aku membukakan pintu untuk lelaki yang sudah rapi dengan setelan jaket dan celana jeans serta sepatu karet itu. Mang Maman terlihat gagah untuk ukuran tukang tagih."Ada pekerjaan apa, Bu?" tanyanya sambil duduk di sofa."Nanti kalau ada lelaki ke sini pura-pura menjadi penagih kontrakan yang galak dan tak punya hati. Jangan lupa bilang kalau saya sudah molor pembayaran selama tiga bulan dari jatuh temponya. Ingat! Mang Maman harus tegas, kalau perlu ancam akan membawa barang-barang yang ada di rumah ini. Paham?" Lelaki itu menatapku dengan seksama. Sepertinya dia masih berusaha keras mencerna ucapanku. Buktinya dia mengerutkan keningnya, banyak."Kenapa harus begitu, Bu?" "Nanti saya jelaskan. Pokoknya
POV Sintia.Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Dari bangun tidur aku sudah bersemangat. Bagaimana tidak, aku diundang Abian ke rumahnya. Semoga ini sebuah keberuntungan.Lekas, aku membuatkan sarapan untuk si kembar. Setelah itu aku akan bersiap-siap sendiri.Pagi-pagi sekali aku sudah dandan. Tidak kupedulikan keadaan rumah yang masih berantakan. Lagian aku tinggal di rumah sendiri sehingga tidak perlu khawatir akan omelan mertua.Cantik! Aku memuji diri sendiri di depan cermin, karena tampilan yang berbeda. Hari ini aku sengaja dandan lebih simpel dari biasanya tapi tetap terlihat cantik tak lupa mengenakan kerudung. Aku akan mengambil hatinya Abian di mulai dari penampilanku. Istri dan ibunya berkerudung, aku akan mengikuti mereka.Hari ini aku akan tampil apa adanya saja.Tidak mungkin aku berdandan yang menor di saat pura-pura sedang ada masalah. Aku harus terlihat sedang banyak masalah agar bisa menyakinkan mereka, terutama Abian. Aku yakin dia akan merasa kasihan da
Sabar Sintia! Kini kesempatan kamu untuk cari simpati pada ibunya Abian. Tidak ada anaknya, emaknya pun jadi. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.Aku yang sejak tadi hanya menunduk dan diam, seolah sedang memikirkan banyak masalah rupanya menjadi perhatian ibunya Abian."Sepertinya kamu sedang banyak masalah. Sudah sarapan?" tanya orang tuanya Abian. Yes, mulai masuk perangkap. Aku segera mendongak dan memberikan senyum tipis."Saya kalau sedang banyak masalah tidak nafsu makan, Bu," jawabku dengan memasang wajah lesu. "Yang sabar, ya, semoga masalahnya cepat selesai. Kalau tidak keberatan boleh cerita sama saya. Barangkali saya bisa membantu," ucap wanita di hadapanku. Yes, sepertinya rautku sangat menyakinkan. Aih, seharusnya aku jadi pemain sinetron saja kalau begini."Terima kasih banyak, Bu." Aku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya masalah saya adalah … men — menunggak membayar kontrakan." Aku kembali menunduk sambil memilin ujung jilbab pashmina yang aku juntaikan ke ba
Aku tidak tahu apa isi otak suamiku saat tangannya melepaskan genggaman kami dan sorot matanya tak berkedip menatap Silvia. Semakin tak nyaman saat ia dan ibu berharap aku segera hamil. Aku memang menginginkan pecel karena itu salah satu makanan favoritku, bukan karena bawaan bayi. Makanya aku hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Aku sengaja segera ke dapur karena tak ingin hatiku semakin panas. Sikap kak Abian itu plin-plan. Membuatku jengah dengan semua ini. Aku kira dia benar-benar mencintai dengan tulus. Buktinya baru dihadapkan pada kecantikan Sintia dia sudah berpaling dari aku. Sakit! Sakit sekali aku diperlakukan seperti tadi. Sesak sekali dada ini rasanya. Tes! Tanpa terasa air mata meluncur begitu saja dari sudut mataku."Mbak Silvia mengapa menangis?" tanya mbok Nur saat melihatku."Ah, nggak, Mbok. Ini hanya kelipan semata. Aku mau mandi dulu, Mbok. Itu nanti terserah mau dimasak apa," ucapku seraya menunjuk pada tumpukan sayuran di samping westafel yang aku bawa da
"Aauu …"pekik Silvia dari dalam. Suaranya seperti ada di balik pintu."Sayang, kamu kenapa? Buka pintunya, Sayang!" Aku sangat khawatir. Takut terjadi apa-apa dengan wanitaku.Allah, apa yang terjadi dengan istriku? Sekali lagi aku mencoba menggedor pintu. Namun, pintaku tak direspon oleh wanita yang sedang marah itu. Pintunya masih tertutup. Apakah hatinya pun tertutup untukku? "Sakit …." Suaranya melemah. Aku semakin panik. Aku pun terus memanggil dan meminta untuk dibukakan pintu. Akhirnya suara handle pintu dibuka."Sayang kamu kenapa?" Aku sangat cemas saat melihat dia meringis sambil memegangi perutnya. Aku memeluk tubuhnya yang sedang bersandar di tembok. Namun, Silvia segera melepaskan diri dari rengkuhanku. Tatapannya sangat tajam."Maafkan kakak, Sayang. Itu semua tidak seperti apa yang kamu lihat. Sintia tadi tersandung dan hampir terjatuh refleks kakak membantunya," ucapku jujur sembari mengambil tangannya. Lagi-lagi ditepis oleh istriku."Aku jijik dengan tangan dan tub
"Kenapa, Bu?" Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. "Temui dokternya terlebih dahulu." Aku mengangguk setelah mendengar ucapan ibu. "Ibu tunggu di sini. Setelah kembali dari ruangan dokter tolong segera kembali dan selesaikan masalah kalian berdua." Ibu menepuk pundakku dengan lembut.Aku mengangguk sebelum berjalan meninggalkan beliau.Gegas, aku berjalan ke arah ruangan dokter Mia. Dokter yang memeriksa istriku. Sepanjang lorong aku melewati wajah-wajah yang sendu dan penuh kekhawatiran, dari orang-orang yang sedang duduk di kursi depan kamar-kamar pasien. Namun, pemandangan itu tidak mampu mengusir dan mengalihkan tanda tanya besar dalam kepala ini.Berbagai macam pertanyaan bersarang dalam kepalaku. Bagaimana keadaan istri dan anakku? Mengapa ibu terlihat murung begitu? Apa yang sebenarnya terjadi? *****Setelah menemui dokter aku kembali menemui ibu di depan ruangan Silvia. "Apa kata dokter?" Ibu terlihat sangat penasaran. "Alhamdulillah kandungannya baik-baik saja
Di rumah sederhana ini Silvia disambut dengan penuh suka cita oleh paman dan bibinya. Istri paman Gozali benar-benar telah berubah menjadi baik lagi dengan istriku. "Kak, aku ingin degan di depan rumah ini," pinta Silvia saat aku hendak berbaring di sisinya. "Apa nggak bisa besok, Sayang?" Aku berharap wanitaku merubah pikiran. "Maunya sekarang. Bagaimana dong?"Gila jam setengah sepuluh malam suruh manjat pohon kelapa. "Sayang kita beli saja, ya? Kakak kan nggak bisa manjat pohon, Sayang," aku terus bernegosiasi dengan ibu negara."Nanti mau anakmu ileran?" Aku menggelengkan kepala. Beringsut dari ranjang kayu jati. Tempat tidur yang sengaja aku beli untuk kamar kami bilang sedang bermalam di sini."Aku ikut," ucap Silvia saat aku akan membuka pintu."Kalian mau pada ke mana?" tanya Paman saat aku membuka pintu depan."Mau ngambil degan, Paman. Silvia minta degan malam-malam begini," ucapku jujur.Paman malah tersenyum sendiri."Turuti saja dari anaknya ileran," ujar paman yang