"Ehm … kalau boleh saya mau nebeng. Kan kontrakan saya tidak terlalu jauh dari tempat Pak Abian," ucapnya malu-malu, tapi matanya menatap ke arah suamiku tanpa berkedip sedikitpun. Entah karena terpesona atau sedang mengharapkan belas kasihan.Kak Abian memandangku, aku bergeming. Seharusnya ia peka aku tak suka ada dia di antara kami. "Ayo, kami antarkan ke rumahmu." Kata-kata Kak Abian sukses membuatku meradang. Aku segera masuk ke mobil, duduk di depan samping sopir tanpa kata. Kak Abian berusaha meraih tanganku tapi segera aku tepis. Aku membuang muka ke arah luar jendela mulai dari toko."Pak, terima kasih, ya, sudah mengantarkan saya. Sebenarnya ingin naik ojek tapi jujur uangku pas-pasan hanya untuk makan dan jajan anak-anak," kata Sintia setelah mobil berhenti tepat di depan kontrakannya. "Nggak papa. Tunggu sebentar jangan dulu kelur," kata Kak Abian. Lelaki yang duduk di sampingku langsung mengambil dompetnya dari tas kecil di atas dashboard. Kak Abian mengeluarkan uang
Mataku membeliak sempurna saat membuka isinya. Berbeda dengan lelaki di depanku. Dia tersenyum jahil.Kaget bukan kepalang saat mataku menatap baju dalam bungkusan tas kertas tersebut. Ya, lingerie berwarna maroon adalah barang yang diberikan kak Abian padaku.Pria yang telah menjadi suamiku masuk ke dalam kamar dengan membawa tas kecil. Ya, baju ganti untuk kami berdua yang tadi sempat diantarkan oleh tukang ojek di dekat rumah."Apa ini, Kak?" tanyaku pura-pura polos. Padahal degup jantungku sangat tak normal. Seolah mau keluar dari tempatnya saat membayangkan memakai pakaian dinas malam ini. Ngeri-ngeri sedap. "Baju dinas malam, buat memanjakan mata kakak, Sayang. Mau kan membuat suamimu ini bahagia?" tanyanya sambil Mengerlingkan mata. Idih ganjen. Dasar Lelaki egois, enak sekali suruh aku memanjakan setelah dia membuatku kesal karena Sintia. Tidak merasa bersalah sama sekali malah menuntut untuk menyenangkan. Seharusnya dia buat aku senang dulu, dong! Aku menarik napas panjang
Kak Abian segera melangkah menuju pintu. Mereka berbasa-basi terlebih dahulu di ambang pintu. Aku sendiri memilih masuk ke kamar. Aku dengar Kak Abian menyuruhnya masuk. Kini mereka sedang ngobrol di ruang tamu."Sayang, sini!" Suara lelaki itu memanggilku. Aku pun segera menemui mereka setelah menyimpan paper bag di atas nakas."Kenalkan ini istri saya." Kak Abian merangkul pundakku, setelah aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum ramah pada perempuan yang ada di hadapan kami sambil mengulurkan tangan."Oh ini istrinya. Cantik, pantas saja dia tidak tertarik dengan gadis kampung sini. Eh, kenalkan saya Aini," ujarnya sambil tersenyum dan menerima uluran tanganku. "Silvia," balasku. Tak kuhiraukan ucapannya tadi tentang kakak Abian yang tidak tertarik dengan gadis sini. Toh, tidak ada gunanya juga aku menangapinya."Aini adalah orang yang merawat dan mengurus rumah ini, Sayang," beber kak Abian. Aku hanya mengangguk kecil sebagai tanda paham."Apa itu, Mbak?" Mataku menyorot pada bar
"Apa karena kamu tidak menyukai Sintia?" Lelaki itu merubah posisinya yang semula tiduran dengan pahaku sebagai bantalnya kini duduk dan menatapku dengan lekat.Seharusnya tanpa aku jelaskan dia paham? Bukankah sedari tadi aku sudah memberikan pengertian padanya? Mengapa dia tidak peka dengan semua ini?"Kenapa kakak begitu ingin dia bekerja di tempat kita?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan sesaknya dada. "Kamu jangan seperti anak kecil, Silvia! Dia itu seorang janda yang memiliki dua anak kecil. Mereka masih butuh biaya. Oke, aku turuti kemauan kamu untuk tidak sering-sering berinteraksi dengannya. Bahkan aku sudah berjanji padamu untuk tidak pernah mengantarkan dia pulang. Namun, bukan berarti harus memecatnya. Aku tidak bisa melakukan itu." Aku tertegun dengan jawaban pria di depanku. Dia bahkan berani merubah panggilannya padaku. Setelah menikah tak pernah sekalipun ia memanggil namaku tapi kali ini dia menyebut Silvia. Sebegitu pedulikah ia dengan Sintia? Mataku mema
POV Author Silvia benar-benar terpejam dan segera berkeliling ke dunia mimpi setelah Abian beranjak dari sisinya. Bahkan ia pun tak menyadari saat dirinya dipindah oleh Abian ke kamar. "Maafkan kakak yang telah membuatmu marah. Kakak hanya kasihan dengan Sintia itu saja tidak lebih. Cinta dan hatiku sepenuhnya itu memilikimu, Sayang," ucap Abian sambil mengecup kening istrinya. Sayangnya, Silvia tidak mendengar itu. Dia terlalu lelap dalam buaian mimpi.****"Mbak Aini, di daerah sini ada janda?" tanya Silvia saat orang yang membantu di rumah itu sedang sibuk di dapur. Perempuan yang sedang membersihkan cabai rawit itu memicingkan mata saat menatap istrinya Abian. Heran dengan pertanyaan bosnya."Kenapa tanya begitu, Mbak?" Arini tidak mengerti maksud dan tujuan Silvia bertanya seperti itu. "Saya punya rencana akan membuka lowongan kerja bagi para janda," ungkap wanita yang baru selesai mandi itu. "Oh begitu, ada banyak, Mbak. Di sini kalau tidak salah ada delapan atau sembilan
"Oke, siapa takut. Kakak akan membuka konveksi sendiri agar tidak selaku belanja pada orang lain. Kakak akan menghadirkan seorang tenaga ahli yang akan mengajarkan mereka menjahit." Kini Abian berbicara dengan penuh semangat. "Terima kasih, Sayang. Cemburu mu membawa terobosan baru yang belum pernah kakak pikiran sebelumnya. Cemburumu membawa manfaat ternyata, Sayang. Jadi makin cinta, deh." Abian menangkup wajah istrinya dengan mata berbinar.Silvia memasang wajah datar meski hatinya menghangat oleh ucapan suaminya."Apa artinya kakak akan selalu membuatku cemburu?" sindir wanita bergamis hijau muda itu.Abian tersenyum kecil mendengar pertanyaan istrinya."Tidak ada niat sedikitpun untuk membuat istriku cemburu." Abian mengengam tangan Silvia Kemudian mengecup punggungnya. "Cemburu saja membawa manfaat, ya? Apalagi kalau tidak cemburu." Lagi-lagi ucapan Silvia membuat Abian salah tingkah."Terima kasih sudah cemburu. Artinya istriku benar-benar cinta sama aku."Terpaksa karena sud
Mereka sudah mendatangi dua tempat catering tetapi belum ada yang cocok. Makanannya tidak menarik di mata mereka berdua.Setelah berputar-putar akhirnya mereka menemukan masakan yang pas dengan lidah mereka berdua. Yaitu di tempat catering dengan nama 'Mandala Wangi'. Mereka pun sudah deal dengan harga yang ditentukan."Bu Anis," sapa seorang wanita yang baru masuk ke tempat catering tersebut."Assalamualaikum, Bu." Bu Anis menjabat tangan orang tersebut dan mencium pipi kanan dan kiri teman lamanya itu."Sedang mencari catering juga?" tanya perempuan bertubuh sedikit subur tersebut."Iya, untuk resepsi anak- menantu saya nanti." "Ohh, Bu Anis sudah punya menantu? Atau baru calon?" tanya perempuan yang bernama Bariyah itu."Mereka sudah menikah. Nah, itu dia menantu saya." Bu Anis menunjuk ke arah Silvia yang baru saja luar dari toilet.Mata Bariyah pun mengikuti pandangan Bu Anis yang menujuk ke arah Silvia. "Itu menantu Bu Anis? Tidak salah?" tanya Bariyah dengan senyum sinis."Ti
Aku terdiam sesaat. Meneguk air liur yang tiba-tiba susah ditelan. Menata kata-kata yang mudah dicerna oleh mereka."Bunda terpaksa berbohong demi kebaikan kita. Boleh, kok, berbohong demi kebaikan," ujarku berbohong. Tak apalah sedikit berbohong agar aku bisa mendapatkan banyak keuntungan. Aku tahu persis bahwa Abian itu orangnya tidak tegaan. Buktinya kemarin aku saat bilang tidak mau naik angkot karena tak punya uang, lelaki itu tanpa banyak kata langsung mengeluarkan uang tiga lembar berwarna merah. Maka dari itu aku akan berakting lagi malam ini di depannya. Aku harus bekerja sama dengan melibatkan beberapa orang. Termasuk anak-anakku agar semua kelihatan sungguhan dan tidak dibuat-buat."Bunda kenapa harus berbohong segala, sih?" Pertanyaan polos diajukan oleh Alya."Kalian pengen banyak uang dan punya bapak baru, nggak?" Selama ini mereka selalu merindukan bapaknya.Mereka terdiam dan saling pandang. "Jadi teman bunda ini orangnya baik, dia akan memberikan apa pun pada orang