"Bukankah ini sudah waktunya pulang, Mbak?" tanyanya dengan wajah datar. Aku mengernyitkan dahi. Siapa yang mau pulang? "Pulang? Mbak Sintia mau pulang? Silakan. Nanti saya pulang sama suami," kataku sembari melirik arloji. "Bukan saya yang mau pulang tapi Mbak Silvia. Kalau saya mah betah di sini. La wong …," ucapnya menggantung."La wong apa, Mbak?" cecarku. Aku semakin curiga dengannya. "La wong … la wong pulang gimana gajinya, masa kerja sebentar langsung mau pulang. Bisa dipecat nanti gue. Kecuali kalau bosku itu suamiku. Eh, maaf bercanda." Jawabannya sengaja diplesetkan. Dia cengengesan tidak jelas saat aku mendelik ke arahnya.Aiza yang berdiri tidak jauh dari kami pun ikut mengerutkan kening. Pasti dia juga heran dengan omongan wanita yang satu ini. Dia itu sopir tapi lancang! "Memangnya, Mbak Sintia mau punya suami seperti kak Abian?" tanyaku sesantai mungkin, padahal kepala ini rasanya sudah mau mendidih. Aku masih di tempat dengan kedua tangan melipat di dada menanti
"Ehm … kalau boleh saya mau nebeng. Kan kontrakan saya tidak terlalu jauh dari tempat Pak Abian," ucapnya malu-malu, tapi matanya menatap ke arah suamiku tanpa berkedip sedikitpun. Entah karena terpesona atau sedang mengharapkan belas kasihan.Kak Abian memandangku, aku bergeming. Seharusnya ia peka aku tak suka ada dia di antara kami. "Ayo, kami antarkan ke rumahmu." Kata-kata Kak Abian sukses membuatku meradang. Aku segera masuk ke mobil, duduk di depan samping sopir tanpa kata. Kak Abian berusaha meraih tanganku tapi segera aku tepis. Aku membuang muka ke arah luar jendela mulai dari toko."Pak, terima kasih, ya, sudah mengantarkan saya. Sebenarnya ingin naik ojek tapi jujur uangku pas-pasan hanya untuk makan dan jajan anak-anak," kata Sintia setelah mobil berhenti tepat di depan kontrakannya. "Nggak papa. Tunggu sebentar jangan dulu kelur," kata Kak Abian. Lelaki yang duduk di sampingku langsung mengambil dompetnya dari tas kecil di atas dashboard. Kak Abian mengeluarkan uang
Mataku membeliak sempurna saat membuka isinya. Berbeda dengan lelaki di depanku. Dia tersenyum jahil.Kaget bukan kepalang saat mataku menatap baju dalam bungkusan tas kertas tersebut. Ya, lingerie berwarna maroon adalah barang yang diberikan kak Abian padaku.Pria yang telah menjadi suamiku masuk ke dalam kamar dengan membawa tas kecil. Ya, baju ganti untuk kami berdua yang tadi sempat diantarkan oleh tukang ojek di dekat rumah."Apa ini, Kak?" tanyaku pura-pura polos. Padahal degup jantungku sangat tak normal. Seolah mau keluar dari tempatnya saat membayangkan memakai pakaian dinas malam ini. Ngeri-ngeri sedap. "Baju dinas malam, buat memanjakan mata kakak, Sayang. Mau kan membuat suamimu ini bahagia?" tanyanya sambil Mengerlingkan mata. Idih ganjen. Dasar Lelaki egois, enak sekali suruh aku memanjakan setelah dia membuatku kesal karena Sintia. Tidak merasa bersalah sama sekali malah menuntut untuk menyenangkan. Seharusnya dia buat aku senang dulu, dong! Aku menarik napas panjang
Kak Abian segera melangkah menuju pintu. Mereka berbasa-basi terlebih dahulu di ambang pintu. Aku sendiri memilih masuk ke kamar. Aku dengar Kak Abian menyuruhnya masuk. Kini mereka sedang ngobrol di ruang tamu."Sayang, sini!" Suara lelaki itu memanggilku. Aku pun segera menemui mereka setelah menyimpan paper bag di atas nakas."Kenalkan ini istri saya." Kak Abian merangkul pundakku, setelah aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum ramah pada perempuan yang ada di hadapan kami sambil mengulurkan tangan."Oh ini istrinya. Cantik, pantas saja dia tidak tertarik dengan gadis kampung sini. Eh, kenalkan saya Aini," ujarnya sambil tersenyum dan menerima uluran tanganku. "Silvia," balasku. Tak kuhiraukan ucapannya tadi tentang kakak Abian yang tidak tertarik dengan gadis sini. Toh, tidak ada gunanya juga aku menangapinya."Aini adalah orang yang merawat dan mengurus rumah ini, Sayang," beber kak Abian. Aku hanya mengangguk kecil sebagai tanda paham."Apa itu, Mbak?" Mataku menyorot pada bar
"Apa karena kamu tidak menyukai Sintia?" Lelaki itu merubah posisinya yang semula tiduran dengan pahaku sebagai bantalnya kini duduk dan menatapku dengan lekat.Seharusnya tanpa aku jelaskan dia paham? Bukankah sedari tadi aku sudah memberikan pengertian padanya? Mengapa dia tidak peka dengan semua ini?"Kenapa kakak begitu ingin dia bekerja di tempat kita?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan sesaknya dada. "Kamu jangan seperti anak kecil, Silvia! Dia itu seorang janda yang memiliki dua anak kecil. Mereka masih butuh biaya. Oke, aku turuti kemauan kamu untuk tidak sering-sering berinteraksi dengannya. Bahkan aku sudah berjanji padamu untuk tidak pernah mengantarkan dia pulang. Namun, bukan berarti harus memecatnya. Aku tidak bisa melakukan itu." Aku tertegun dengan jawaban pria di depanku. Dia bahkan berani merubah panggilannya padaku. Setelah menikah tak pernah sekalipun ia memanggil namaku tapi kali ini dia menyebut Silvia. Sebegitu pedulikah ia dengan Sintia? Mataku mema
POV Author Silvia benar-benar terpejam dan segera berkeliling ke dunia mimpi setelah Abian beranjak dari sisinya. Bahkan ia pun tak menyadari saat dirinya dipindah oleh Abian ke kamar. "Maafkan kakak yang telah membuatmu marah. Kakak hanya kasihan dengan Sintia itu saja tidak lebih. Cinta dan hatiku sepenuhnya itu memilikimu, Sayang," ucap Abian sambil mengecup kening istrinya. Sayangnya, Silvia tidak mendengar itu. Dia terlalu lelap dalam buaian mimpi.****"Mbak Aini, di daerah sini ada janda?" tanya Silvia saat orang yang membantu di rumah itu sedang sibuk di dapur. Perempuan yang sedang membersihkan cabai rawit itu memicingkan mata saat menatap istrinya Abian. Heran dengan pertanyaan bosnya."Kenapa tanya begitu, Mbak?" Arini tidak mengerti maksud dan tujuan Silvia bertanya seperti itu. "Saya punya rencana akan membuka lowongan kerja bagi para janda," ungkap wanita yang baru selesai mandi itu. "Oh begitu, ada banyak, Mbak. Di sini kalau tidak salah ada delapan atau sembilan
"Oke, siapa takut. Kakak akan membuka konveksi sendiri agar tidak selaku belanja pada orang lain. Kakak akan menghadirkan seorang tenaga ahli yang akan mengajarkan mereka menjahit." Kini Abian berbicara dengan penuh semangat. "Terima kasih, Sayang. Cemburu mu membawa terobosan baru yang belum pernah kakak pikiran sebelumnya. Cemburumu membawa manfaat ternyata, Sayang. Jadi makin cinta, deh." Abian menangkup wajah istrinya dengan mata berbinar.Silvia memasang wajah datar meski hatinya menghangat oleh ucapan suaminya."Apa artinya kakak akan selalu membuatku cemburu?" sindir wanita bergamis hijau muda itu.Abian tersenyum kecil mendengar pertanyaan istrinya."Tidak ada niat sedikitpun untuk membuat istriku cemburu." Abian mengengam tangan Silvia Kemudian mengecup punggungnya. "Cemburu saja membawa manfaat, ya? Apalagi kalau tidak cemburu." Lagi-lagi ucapan Silvia membuat Abian salah tingkah."Terima kasih sudah cemburu. Artinya istriku benar-benar cinta sama aku."Terpaksa karena sud
Mereka sudah mendatangi dua tempat catering tetapi belum ada yang cocok. Makanannya tidak menarik di mata mereka berdua.Setelah berputar-putar akhirnya mereka menemukan masakan yang pas dengan lidah mereka berdua. Yaitu di tempat catering dengan nama 'Mandala Wangi'. Mereka pun sudah deal dengan harga yang ditentukan."Bu Anis," sapa seorang wanita yang baru masuk ke tempat catering tersebut."Assalamualaikum, Bu." Bu Anis menjabat tangan orang tersebut dan mencium pipi kanan dan kiri teman lamanya itu."Sedang mencari catering juga?" tanya perempuan bertubuh sedikit subur tersebut."Iya, untuk resepsi anak- menantu saya nanti." "Ohh, Bu Anis sudah punya menantu? Atau baru calon?" tanya perempuan yang bernama Bariyah itu."Mereka sudah menikah. Nah, itu dia menantu saya." Bu Anis menunjuk ke arah Silvia yang baru saja luar dari toilet.Mata Bariyah pun mengikuti pandangan Bu Anis yang menujuk ke arah Silvia. "Itu menantu Bu Anis? Tidak salah?" tanya Bariyah dengan senyum sinis."Ti
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka