"Ada ucapan kamu yang saya sesalkan hingga saat ini." Ucapan Bu Minda sukses membuatku kaget. "Ucapan yang mana, Bu?" tanyaku penasaran."Kenapa kamu membesarkan hati anak saya kalau ternyata kamu sendiri yang akan menikah dengan Abian? Kenapa kamu mengatakan anak saya cocok dengannya padahal ucapan itu hanya pemanis buatan. Kamu tidak sadar ucapanmu itulah yang membuat Nanda melambung tinggi kemudian dia merasa terhempas ke jurang yang paling dalam saat Bian menolak lamaran kami dan memilih melamar kamu. Secara tidak langsung kamulah yang menyebabkan anak saya begini! Sekarang saya minta kamu bertanggung jawab!" Benarkah aku yang menyebabkan Nanda menjadi begini? Benarkah semua itu salahku? Seketika rasa bersalah terus menghatui pikiranku.Ucapan Bu Minda terus terngiang di telinga. Aku pun memutuskan untuk menghubungi mas Abian. Aku rela mundur kalau memang itu bisa mengembalikan ke kondisi Nanda. Aku rela tidak bersama dengan orang yang aku cintai. Mungkin ini memang takdir ya
Aku terdiam beberapa saat. Mencoba memahami ucapan ibu.Kami berhenti di depan pintu. Kami menunggu mbok Nur membukakan pintu. Aku memandang ibu dengan penuh tanda tanya."Tapi, Bu, kami ini belum menikah bagaimana mungkin akan tinggal satu atap. Pastinya nanti akan timbul fitnah." bantahku dengan hati-hati takut menyakiti hati beliau.Ibu malah mengusap puncak kerudungku dengan lembut. Beliau tersenyum ke arahku. "Tidak akan ada fitnah lagi di antara kalian. Tidak ada yang akan berani mengusik kalian lagi," ucap ibu. Aku mengerutkan dahi dan menatap ibu serta anaknya itu secara bergantian. Meminta penjelasan pada mereka. Aku tidak benar-benar semakin tak mengerti maksudnya. "Kita akan menikah besok sore, Silvia." Lelaki yang berdiri di hadapanku itu mengerlingkan matanya. Genit."Menikah besok sore, Mas? Bukankah kita akan menikah satu bulan setengah lagi? Persiapan kita pun baru berapa persen?" tanyaku. Aku kaget sekaligus senang.Kaget ternyata secepat itu dan mengapa tidak ber
"Sah!""Sah!"Ha? Aku sangat dah sah menjadi istri mas Abian kembali. Kami tidak mendengar proses ijab kabul karena keasyikan ngobrol. Aku meneteskan air mata, bahagia. Aiza memelukku."Selamat, ya. Akhirnya … kamu menikah dengan lelaki yang mencintaimu, Silvia. Aku ikut bahagia. Semoga setelah ini tidak ada lagi air mata kesedihan." Aiza menggenggam pundakku."Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Aiza. Semoga kamu pun segera menyusul mendapatkan lelaki terbaik." Aku membalas pelukannya, erat. Aku dan Aiza duduk berdua di kamar yang biasa aku tempati. Aku sengaja menunggu ijab qobul dari sini. "Yuk kita keluar. Temui suami kamu." Aku bangkit dari duduk dan menggandeng tangan Aiza menuju ruang tamu. Semua mata menatap ke arahku. Detak jantungku semakin tidak berirama. ***Acara telah usai. Keluarga besar ibu telah pulang. Mereka sengaja tidak menginap. Katanya, nanti saja ketika resepsi kami. Keluargaku pun telah kembali pulang. Sebenarnya aku dan ibu melarang mereka pulang, tapi
"Oh itu, ya tadi memintamu untuk merubah panggilan dari mas menjadi kakak. Oke, Sayang." "Oh… kirain," jawabku setelah menghembuskan napas ringan. Lega, ternyata dugaan tidak benar sama sekali. Ketakutanku saja. "Kirain apa, Sayang?" Wajahnya serius sambil menurunkan kedua tangganya. Aku menunduk. Malu dengan pikiranku sendiri yang sudah berprasangka buruk pada suami."Aku pikir tadi kakak mau meminta izin menikahi Nanda," ucapku malu-malu."Ya Allah ...Sayang. Ini malam pertama kita, mana mungkin aku akan merusak suasana ini dengan permintaan konyol itu." Apa itu artinya mas eh, kak Abian tidak akan pernah menikahi Nanda. "Sayang, kenapa kamu beranggapan aku akan meminta izin menikahi Nanda?" tanyanya dengan wajah yang serius."Aku nggak tahu, Kak. Habisnya, kemarin aku merasa aneh kenapa kakak tiba-tiba meminta kita cepat-cepat menikah setelah ke luar dari rumah Bu Minda. Takut-takut kalau setelah menikahi aku kakak akan menikahi Nanda." Suaraku lirih. Lelaki itu kembali memba
"Sayang, nanti di antar oleh sopir, ya." Pesan kak Abian yang baru saja masuk ke handphoneku.Jadi ini sopir baru untukku? Aku pergi ke ruko diantara oleh sopir pribadi. Kak Abian sengaja mencari sopir perempuan untuk mengantarkan aku ke mana saja. Dia tidak mau aku hanya satu mobil berdua dengan lelaki lain, meski itu seorang sopir. Ah, aku merasa menjadi menjadi wanita yang paling beruntung di dunia dicintai sedemikian oleh suami."Mbak. Sudah lama menikah dengan pak Abian?" tanya perempuan di balik kemudi, ketika kami dalam perjalanan ke ruko."Belum, Mbak. Baru satu Minggu. Kenapa?" tanyaku pada perempuan yang aku tahu bernama Sintia itu. Mungkin dia berusaha memecahkan keheningan. Namun, menurutku terlalu berani bertanya begitu apa istri bosnya, mengingat ini hari pertama ia bekerja. "Ah, nggak. Wajar kalau belum ada anak." Wanita itu menatapku dari kaca spion.Aku hanya menanggapi dengan senyuman atas celotehannya. "Eh, tapi Mbak meskipun masih baru nikah jangan senang dan te
"Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku berusaha kalem, meski sedikit jengah. Aku memindai wajah wanita yang berdiri di depan pintu itu. Dia salah tingkah setelah aku tatap manik matanya. Kak Abian pun mengernyitkan dahinya, menatap Sintia dengan senyum ramah. Entah mengapa aku tak suka melihatnya seperti itu. Aku harus melakukan sesuatu."Aaa …." Aku membuka mulut lebar-lebar. Memberi kode pada suami agar mau menyuapi lagi, padahal sebenarnya aku sudah kenyang. Sengaja, ingin memperlihatkan kemesraan Kak Abian padaku di hadapan Sintia. Dengan cekatan kak Abian kembali menyuapi makanan ke dalam mulutku. Aku melirik ke arah Sintia. Sorot mata itu terlihat seolah tak suka ketika melihat kak seperti ini. Peduli amat. Dia suamiku, terserahkan mau ngapain.Aku semakin yakin ada sesuatu dengan wanita ini. "Maklum kami masih pengantin baru, biasa kalau saling menyuapi." Kak Abian merasa tidak enak dengan Sintia. Uhuk!!Sengaja aku pura-pura terbatuk.Apa-apaan Kak Abian ini. Mengapa dia merasa
Dia berdiri kemudian menarik tanganku. Tak pelak aku pun ikut berdiri. Tubuhku ditariknya dalam dekapan. "Sayang, Kakak bahagia sekali kamu cemburu seperti ini. Itu artinya istriku sangat sayang dan cinta denganku. Percayalah hati ini sudah seratus persen milikmu. Tidak ada nama orang lain di hati ini selain namamu. Silvia sudah menempati seluruh ruangan itu. Ia tidak menyisakan tempat sedikit untuk orang lain." Lagi-lagi lelaki itu mengecup keningku dalam.Aku percaya dengan ucapan Kak Abian. Bagaimana tidak, dia jatuh bangun mengejar dan melamar aku berkali-kali. Bahkan selalu melindungi aku meski saat itu aku istri orang lain. Namun, aku tetap harus waspada. Bukankah perselingkuhan itu sering terjadi karena kedekatan dengan lawan jenis. Mungkin, kak Abian menganggap Sintia hanya masa lalu yang tidak ada artinya. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka CLBK kalau sering ketemu dan sama-sama mengenang masa lalu. Aku segera melepaskan diri dari pelukan suami. "Saat ini aku percaya
"Bukankah ini sudah waktunya pulang, Mbak?" tanyanya dengan wajah datar. Aku mengernyitkan dahi. Siapa yang mau pulang? "Pulang? Mbak Sintia mau pulang? Silakan. Nanti saya pulang sama suami," kataku sembari melirik arloji. "Bukan saya yang mau pulang tapi Mbak Silvia. Kalau saya mah betah di sini. La wong …," ucapnya menggantung."La wong apa, Mbak?" cecarku. Aku semakin curiga dengannya. "La wong … la wong pulang gimana gajinya, masa kerja sebentar langsung mau pulang. Bisa dipecat nanti gue. Kecuali kalau bosku itu suamiku. Eh, maaf bercanda." Jawabannya sengaja diplesetkan. Dia cengengesan tidak jelas saat aku mendelik ke arahnya.Aiza yang berdiri tidak jauh dari kami pun ikut mengerutkan kening. Pasti dia juga heran dengan omongan wanita yang satu ini. Dia itu sopir tapi lancang! "Memangnya, Mbak Sintia mau punya suami seperti kak Abian?" tanyaku sesantai mungkin, padahal kepala ini rasanya sudah mau mendidih. Aku masih di tempat dengan kedua tangan melipat di dada menanti