"Nanda depresi, Mas." "Terus hubungannya dengan pernikahan kita apa?" "Bu Minda memohon dengan sangat padaku agar merelakan mas Abian menikah dengan anaknya. Dia seperti itu karena mas Abian, katanya." Ibu menarik napas dalam-dalam. "Ibu tidak menyangka dia begitu terluka atas penolakanmu, Bian. Ibu pikir tidak ada masalah lagi setelah memberikan jawaban pada Minda waktu itu." Tatapan ibu menerawang. "Mas, Bu. Silvia rela membatalkan pernikahan ini demi Nanda. Mas pasti akan bahagia menikah dengannya. Dia sampai depresi seperti itu karena terlalu mencintai mas Abian." "Omong kosong macam apa ini, Silvia? Demi orang lain kamu mengorbankan diri sendiri. Kamu pikir semua ini kesalahanku? Dia depresi karena aku? Sehingga aku harus bertanggung jawab atas semua ini. Itu tidak akan pernah terjadi!" Aku berdiri dan hendak meninggalkan mereka. "Mas …." Aku menghentikan langkah tanpa menoleh ke arahnya barang sebentar pun. "Mas, kamu tidak akan ngomong seperti itu kalau tahu dan melihat
"Ada ucapan kamu yang saya sesalkan hingga saat ini." Ucapan Bu Minda sukses membuatku kaget. "Ucapan yang mana, Bu?" tanyaku penasaran."Kenapa kamu membesarkan hati anak saya kalau ternyata kamu sendiri yang akan menikah dengan Abian? Kenapa kamu mengatakan anak saya cocok dengannya padahal ucapan itu hanya pemanis buatan. Kamu tidak sadar ucapanmu itulah yang membuat Nanda melambung tinggi kemudian dia merasa terhempas ke jurang yang paling dalam saat Bian menolak lamaran kami dan memilih melamar kamu. Secara tidak langsung kamulah yang menyebabkan anak saya begini! Sekarang saya minta kamu bertanggung jawab!" Benarkah aku yang menyebabkan Nanda menjadi begini? Benarkah semua itu salahku? Seketika rasa bersalah terus menghatui pikiranku.Ucapan Bu Minda terus terngiang di telinga. Aku pun memutuskan untuk menghubungi mas Abian. Aku rela mundur kalau memang itu bisa mengembalikan ke kondisi Nanda. Aku rela tidak bersama dengan orang yang aku cintai. Mungkin ini memang takdir ya
Aku terdiam beberapa saat. Mencoba memahami ucapan ibu.Kami berhenti di depan pintu. Kami menunggu mbok Nur membukakan pintu. Aku memandang ibu dengan penuh tanda tanya."Tapi, Bu, kami ini belum menikah bagaimana mungkin akan tinggal satu atap. Pastinya nanti akan timbul fitnah." bantahku dengan hati-hati takut menyakiti hati beliau.Ibu malah mengusap puncak kerudungku dengan lembut. Beliau tersenyum ke arahku. "Tidak akan ada fitnah lagi di antara kalian. Tidak ada yang akan berani mengusik kalian lagi," ucap ibu. Aku mengerutkan dahi dan menatap ibu serta anaknya itu secara bergantian. Meminta penjelasan pada mereka. Aku tidak benar-benar semakin tak mengerti maksudnya. "Kita akan menikah besok sore, Silvia." Lelaki yang berdiri di hadapanku itu mengerlingkan matanya. Genit."Menikah besok sore, Mas? Bukankah kita akan menikah satu bulan setengah lagi? Persiapan kita pun baru berapa persen?" tanyaku. Aku kaget sekaligus senang.Kaget ternyata secepat itu dan mengapa tidak ber
"Sah!""Sah!"Ha? Aku sangat dah sah menjadi istri mas Abian kembali. Kami tidak mendengar proses ijab kabul karena keasyikan ngobrol. Aku meneteskan air mata, bahagia. Aiza memelukku."Selamat, ya. Akhirnya … kamu menikah dengan lelaki yang mencintaimu, Silvia. Aku ikut bahagia. Semoga setelah ini tidak ada lagi air mata kesedihan." Aiza menggenggam pundakku."Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Aiza. Semoga kamu pun segera menyusul mendapatkan lelaki terbaik." Aku membalas pelukannya, erat. Aku dan Aiza duduk berdua di kamar yang biasa aku tempati. Aku sengaja menunggu ijab qobul dari sini. "Yuk kita keluar. Temui suami kamu." Aku bangkit dari duduk dan menggandeng tangan Aiza menuju ruang tamu. Semua mata menatap ke arahku. Detak jantungku semakin tidak berirama. ***Acara telah usai. Keluarga besar ibu telah pulang. Mereka sengaja tidak menginap. Katanya, nanti saja ketika resepsi kami. Keluargaku pun telah kembali pulang. Sebenarnya aku dan ibu melarang mereka pulang, tapi
"Oh itu, ya tadi memintamu untuk merubah panggilan dari mas menjadi kakak. Oke, Sayang." "Oh… kirain," jawabku setelah menghembuskan napas ringan. Lega, ternyata dugaan tidak benar sama sekali. Ketakutanku saja. "Kirain apa, Sayang?" Wajahnya serius sambil menurunkan kedua tangganya. Aku menunduk. Malu dengan pikiranku sendiri yang sudah berprasangka buruk pada suami."Aku pikir tadi kakak mau meminta izin menikahi Nanda," ucapku malu-malu."Ya Allah ...Sayang. Ini malam pertama kita, mana mungkin aku akan merusak suasana ini dengan permintaan konyol itu." Apa itu artinya mas eh, kak Abian tidak akan pernah menikahi Nanda. "Sayang, kenapa kamu beranggapan aku akan meminta izin menikahi Nanda?" tanyanya dengan wajah yang serius."Aku nggak tahu, Kak. Habisnya, kemarin aku merasa aneh kenapa kakak tiba-tiba meminta kita cepat-cepat menikah setelah ke luar dari rumah Bu Minda. Takut-takut kalau setelah menikahi aku kakak akan menikahi Nanda." Suaraku lirih. Lelaki itu kembali memba
"Sayang, nanti di antar oleh sopir, ya." Pesan kak Abian yang baru saja masuk ke handphoneku.Jadi ini sopir baru untukku? Aku pergi ke ruko diantara oleh sopir pribadi. Kak Abian sengaja mencari sopir perempuan untuk mengantarkan aku ke mana saja. Dia tidak mau aku hanya satu mobil berdua dengan lelaki lain, meski itu seorang sopir. Ah, aku merasa menjadi menjadi wanita yang paling beruntung di dunia dicintai sedemikian oleh suami."Mbak. Sudah lama menikah dengan pak Abian?" tanya perempuan di balik kemudi, ketika kami dalam perjalanan ke ruko."Belum, Mbak. Baru satu Minggu. Kenapa?" tanyaku pada perempuan yang aku tahu bernama Sintia itu. Mungkin dia berusaha memecahkan keheningan. Namun, menurutku terlalu berani bertanya begitu apa istri bosnya, mengingat ini hari pertama ia bekerja. "Ah, nggak. Wajar kalau belum ada anak." Wanita itu menatapku dari kaca spion.Aku hanya menanggapi dengan senyuman atas celotehannya. "Eh, tapi Mbak meskipun masih baru nikah jangan senang dan te
"Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku berusaha kalem, meski sedikit jengah. Aku memindai wajah wanita yang berdiri di depan pintu itu. Dia salah tingkah setelah aku tatap manik matanya. Kak Abian pun mengernyitkan dahinya, menatap Sintia dengan senyum ramah. Entah mengapa aku tak suka melihatnya seperti itu. Aku harus melakukan sesuatu."Aaa …." Aku membuka mulut lebar-lebar. Memberi kode pada suami agar mau menyuapi lagi, padahal sebenarnya aku sudah kenyang. Sengaja, ingin memperlihatkan kemesraan Kak Abian padaku di hadapan Sintia. Dengan cekatan kak Abian kembali menyuapi makanan ke dalam mulutku. Aku melirik ke arah Sintia. Sorot mata itu terlihat seolah tak suka ketika melihat kak seperti ini. Peduli amat. Dia suamiku, terserahkan mau ngapain.Aku semakin yakin ada sesuatu dengan wanita ini. "Maklum kami masih pengantin baru, biasa kalau saling menyuapi." Kak Abian merasa tidak enak dengan Sintia. Uhuk!!Sengaja aku pura-pura terbatuk.Apa-apaan Kak Abian ini. Mengapa dia merasa
Dia berdiri kemudian menarik tanganku. Tak pelak aku pun ikut berdiri. Tubuhku ditariknya dalam dekapan. "Sayang, Kakak bahagia sekali kamu cemburu seperti ini. Itu artinya istriku sangat sayang dan cinta denganku. Percayalah hati ini sudah seratus persen milikmu. Tidak ada nama orang lain di hati ini selain namamu. Silvia sudah menempati seluruh ruangan itu. Ia tidak menyisakan tempat sedikit untuk orang lain." Lagi-lagi lelaki itu mengecup keningku dalam.Aku percaya dengan ucapan Kak Abian. Bagaimana tidak, dia jatuh bangun mengejar dan melamar aku berkali-kali. Bahkan selalu melindungi aku meski saat itu aku istri orang lain. Namun, aku tetap harus waspada. Bukankah perselingkuhan itu sering terjadi karena kedekatan dengan lawan jenis. Mungkin, kak Abian menganggap Sintia hanya masa lalu yang tidak ada artinya. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka CLBK kalau sering ketemu dan sama-sama mengenang masa lalu. Aku segera melepaskan diri dari pelukan suami. "Saat ini aku percaya
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka