"Sah!""Sah!"Ha? Aku sangat dah sah menjadi istri mas Abian kembali. Kami tidak mendengar proses ijab kabul karena keasyikan ngobrol. Aku meneteskan air mata, bahagia. Aiza memelukku."Selamat, ya. Akhirnya … kamu menikah dengan lelaki yang mencintaimu, Silvia. Aku ikut bahagia. Semoga setelah ini tidak ada lagi air mata kesedihan." Aiza menggenggam pundakku."Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Aiza. Semoga kamu pun segera menyusul mendapatkan lelaki terbaik." Aku membalas pelukannya, erat. Aku dan Aiza duduk berdua di kamar yang biasa aku tempati. Aku sengaja menunggu ijab qobul dari sini. "Yuk kita keluar. Temui suami kamu." Aku bangkit dari duduk dan menggandeng tangan Aiza menuju ruang tamu. Semua mata menatap ke arahku. Detak jantungku semakin tidak berirama. ***Acara telah usai. Keluarga besar ibu telah pulang. Mereka sengaja tidak menginap. Katanya, nanti saja ketika resepsi kami. Keluargaku pun telah kembali pulang. Sebenarnya aku dan ibu melarang mereka pulang, tapi
"Oh itu, ya tadi memintamu untuk merubah panggilan dari mas menjadi kakak. Oke, Sayang." "Oh… kirain," jawabku setelah menghembuskan napas ringan. Lega, ternyata dugaan tidak benar sama sekali. Ketakutanku saja. "Kirain apa, Sayang?" Wajahnya serius sambil menurunkan kedua tangganya. Aku menunduk. Malu dengan pikiranku sendiri yang sudah berprasangka buruk pada suami."Aku pikir tadi kakak mau meminta izin menikahi Nanda," ucapku malu-malu."Ya Allah ...Sayang. Ini malam pertama kita, mana mungkin aku akan merusak suasana ini dengan permintaan konyol itu." Apa itu artinya mas eh, kak Abian tidak akan pernah menikahi Nanda. "Sayang, kenapa kamu beranggapan aku akan meminta izin menikahi Nanda?" tanyanya dengan wajah yang serius."Aku nggak tahu, Kak. Habisnya, kemarin aku merasa aneh kenapa kakak tiba-tiba meminta kita cepat-cepat menikah setelah ke luar dari rumah Bu Minda. Takut-takut kalau setelah menikahi aku kakak akan menikahi Nanda." Suaraku lirih. Lelaki itu kembali memba
"Sayang, nanti di antar oleh sopir, ya." Pesan kak Abian yang baru saja masuk ke handphoneku.Jadi ini sopir baru untukku? Aku pergi ke ruko diantara oleh sopir pribadi. Kak Abian sengaja mencari sopir perempuan untuk mengantarkan aku ke mana saja. Dia tidak mau aku hanya satu mobil berdua dengan lelaki lain, meski itu seorang sopir. Ah, aku merasa menjadi menjadi wanita yang paling beruntung di dunia dicintai sedemikian oleh suami."Mbak. Sudah lama menikah dengan pak Abian?" tanya perempuan di balik kemudi, ketika kami dalam perjalanan ke ruko."Belum, Mbak. Baru satu Minggu. Kenapa?" tanyaku pada perempuan yang aku tahu bernama Sintia itu. Mungkin dia berusaha memecahkan keheningan. Namun, menurutku terlalu berani bertanya begitu apa istri bosnya, mengingat ini hari pertama ia bekerja. "Ah, nggak. Wajar kalau belum ada anak." Wanita itu menatapku dari kaca spion.Aku hanya menanggapi dengan senyuman atas celotehannya. "Eh, tapi Mbak meskipun masih baru nikah jangan senang dan te
"Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku berusaha kalem, meski sedikit jengah. Aku memindai wajah wanita yang berdiri di depan pintu itu. Dia salah tingkah setelah aku tatap manik matanya. Kak Abian pun mengernyitkan dahinya, menatap Sintia dengan senyum ramah. Entah mengapa aku tak suka melihatnya seperti itu. Aku harus melakukan sesuatu."Aaa …." Aku membuka mulut lebar-lebar. Memberi kode pada suami agar mau menyuapi lagi, padahal sebenarnya aku sudah kenyang. Sengaja, ingin memperlihatkan kemesraan Kak Abian padaku di hadapan Sintia. Dengan cekatan kak Abian kembali menyuapi makanan ke dalam mulutku. Aku melirik ke arah Sintia. Sorot mata itu terlihat seolah tak suka ketika melihat kak seperti ini. Peduli amat. Dia suamiku, terserahkan mau ngapain.Aku semakin yakin ada sesuatu dengan wanita ini. "Maklum kami masih pengantin baru, biasa kalau saling menyuapi." Kak Abian merasa tidak enak dengan Sintia. Uhuk!!Sengaja aku pura-pura terbatuk.Apa-apaan Kak Abian ini. Mengapa dia merasa
Dia berdiri kemudian menarik tanganku. Tak pelak aku pun ikut berdiri. Tubuhku ditariknya dalam dekapan. "Sayang, Kakak bahagia sekali kamu cemburu seperti ini. Itu artinya istriku sangat sayang dan cinta denganku. Percayalah hati ini sudah seratus persen milikmu. Tidak ada nama orang lain di hati ini selain namamu. Silvia sudah menempati seluruh ruangan itu. Ia tidak menyisakan tempat sedikit untuk orang lain." Lagi-lagi lelaki itu mengecup keningku dalam.Aku percaya dengan ucapan Kak Abian. Bagaimana tidak, dia jatuh bangun mengejar dan melamar aku berkali-kali. Bahkan selalu melindungi aku meski saat itu aku istri orang lain. Namun, aku tetap harus waspada. Bukankah perselingkuhan itu sering terjadi karena kedekatan dengan lawan jenis. Mungkin, kak Abian menganggap Sintia hanya masa lalu yang tidak ada artinya. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka CLBK kalau sering ketemu dan sama-sama mengenang masa lalu. Aku segera melepaskan diri dari pelukan suami. "Saat ini aku percaya
"Bukankah ini sudah waktunya pulang, Mbak?" tanyanya dengan wajah datar. Aku mengernyitkan dahi. Siapa yang mau pulang? "Pulang? Mbak Sintia mau pulang? Silakan. Nanti saya pulang sama suami," kataku sembari melirik arloji. "Bukan saya yang mau pulang tapi Mbak Silvia. Kalau saya mah betah di sini. La wong …," ucapnya menggantung."La wong apa, Mbak?" cecarku. Aku semakin curiga dengannya. "La wong … la wong pulang gimana gajinya, masa kerja sebentar langsung mau pulang. Bisa dipecat nanti gue. Kecuali kalau bosku itu suamiku. Eh, maaf bercanda." Jawabannya sengaja diplesetkan. Dia cengengesan tidak jelas saat aku mendelik ke arahnya.Aiza yang berdiri tidak jauh dari kami pun ikut mengerutkan kening. Pasti dia juga heran dengan omongan wanita yang satu ini. Dia itu sopir tapi lancang! "Memangnya, Mbak Sintia mau punya suami seperti kak Abian?" tanyaku sesantai mungkin, padahal kepala ini rasanya sudah mau mendidih. Aku masih di tempat dengan kedua tangan melipat di dada menanti
"Ehm … kalau boleh saya mau nebeng. Kan kontrakan saya tidak terlalu jauh dari tempat Pak Abian," ucapnya malu-malu, tapi matanya menatap ke arah suamiku tanpa berkedip sedikitpun. Entah karena terpesona atau sedang mengharapkan belas kasihan.Kak Abian memandangku, aku bergeming. Seharusnya ia peka aku tak suka ada dia di antara kami. "Ayo, kami antarkan ke rumahmu." Kata-kata Kak Abian sukses membuatku meradang. Aku segera masuk ke mobil, duduk di depan samping sopir tanpa kata. Kak Abian berusaha meraih tanganku tapi segera aku tepis. Aku membuang muka ke arah luar jendela mulai dari toko."Pak, terima kasih, ya, sudah mengantarkan saya. Sebenarnya ingin naik ojek tapi jujur uangku pas-pasan hanya untuk makan dan jajan anak-anak," kata Sintia setelah mobil berhenti tepat di depan kontrakannya. "Nggak papa. Tunggu sebentar jangan dulu kelur," kata Kak Abian. Lelaki yang duduk di sampingku langsung mengambil dompetnya dari tas kecil di atas dashboard. Kak Abian mengeluarkan uang
Mataku membeliak sempurna saat membuka isinya. Berbeda dengan lelaki di depanku. Dia tersenyum jahil.Kaget bukan kepalang saat mataku menatap baju dalam bungkusan tas kertas tersebut. Ya, lingerie berwarna maroon adalah barang yang diberikan kak Abian padaku.Pria yang telah menjadi suamiku masuk ke dalam kamar dengan membawa tas kecil. Ya, baju ganti untuk kami berdua yang tadi sempat diantarkan oleh tukang ojek di dekat rumah."Apa ini, Kak?" tanyaku pura-pura polos. Padahal degup jantungku sangat tak normal. Seolah mau keluar dari tempatnya saat membayangkan memakai pakaian dinas malam ini. Ngeri-ngeri sedap. "Baju dinas malam, buat memanjakan mata kakak, Sayang. Mau kan membuat suamimu ini bahagia?" tanyanya sambil Mengerlingkan mata. Idih ganjen. Dasar Lelaki egois, enak sekali suruh aku memanjakan setelah dia membuatku kesal karena Sintia. Tidak merasa bersalah sama sekali malah menuntut untuk menyenangkan. Seharusnya dia buat aku senang dulu, dong! Aku menarik napas panjang