"Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku berusaha kalem, meski sedikit jengah. Aku memindai wajah wanita yang berdiri di depan pintu itu. Dia salah tingkah setelah aku tatap manik matanya. Kak Abian pun mengernyitkan dahinya, menatap Sintia dengan senyum ramah. Entah mengapa aku tak suka melihatnya seperti itu. Aku harus melakukan sesuatu."Aaa …." Aku membuka mulut lebar-lebar. Memberi kode pada suami agar mau menyuapi lagi, padahal sebenarnya aku sudah kenyang. Sengaja, ingin memperlihatkan kemesraan Kak Abian padaku di hadapan Sintia. Dengan cekatan kak Abian kembali menyuapi makanan ke dalam mulutku. Aku melirik ke arah Sintia. Sorot mata itu terlihat seolah tak suka ketika melihat kak seperti ini. Peduli amat. Dia suamiku, terserahkan mau ngapain.Aku semakin yakin ada sesuatu dengan wanita ini. "Maklum kami masih pengantin baru, biasa kalau saling menyuapi." Kak Abian merasa tidak enak dengan Sintia. Uhuk!!Sengaja aku pura-pura terbatuk.Apa-apaan Kak Abian ini. Mengapa dia merasa
Dia berdiri kemudian menarik tanganku. Tak pelak aku pun ikut berdiri. Tubuhku ditariknya dalam dekapan. "Sayang, Kakak bahagia sekali kamu cemburu seperti ini. Itu artinya istriku sangat sayang dan cinta denganku. Percayalah hati ini sudah seratus persen milikmu. Tidak ada nama orang lain di hati ini selain namamu. Silvia sudah menempati seluruh ruangan itu. Ia tidak menyisakan tempat sedikit untuk orang lain." Lagi-lagi lelaki itu mengecup keningku dalam.Aku percaya dengan ucapan Kak Abian. Bagaimana tidak, dia jatuh bangun mengejar dan melamar aku berkali-kali. Bahkan selalu melindungi aku meski saat itu aku istri orang lain. Namun, aku tetap harus waspada. Bukankah perselingkuhan itu sering terjadi karena kedekatan dengan lawan jenis. Mungkin, kak Abian menganggap Sintia hanya masa lalu yang tidak ada artinya. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka CLBK kalau sering ketemu dan sama-sama mengenang masa lalu. Aku segera melepaskan diri dari pelukan suami. "Saat ini aku percaya
"Bukankah ini sudah waktunya pulang, Mbak?" tanyanya dengan wajah datar. Aku mengernyitkan dahi. Siapa yang mau pulang? "Pulang? Mbak Sintia mau pulang? Silakan. Nanti saya pulang sama suami," kataku sembari melirik arloji. "Bukan saya yang mau pulang tapi Mbak Silvia. Kalau saya mah betah di sini. La wong …," ucapnya menggantung."La wong apa, Mbak?" cecarku. Aku semakin curiga dengannya. "La wong … la wong pulang gimana gajinya, masa kerja sebentar langsung mau pulang. Bisa dipecat nanti gue. Kecuali kalau bosku itu suamiku. Eh, maaf bercanda." Jawabannya sengaja diplesetkan. Dia cengengesan tidak jelas saat aku mendelik ke arahnya.Aiza yang berdiri tidak jauh dari kami pun ikut mengerutkan kening. Pasti dia juga heran dengan omongan wanita yang satu ini. Dia itu sopir tapi lancang! "Memangnya, Mbak Sintia mau punya suami seperti kak Abian?" tanyaku sesantai mungkin, padahal kepala ini rasanya sudah mau mendidih. Aku masih di tempat dengan kedua tangan melipat di dada menanti
"Ehm … kalau boleh saya mau nebeng. Kan kontrakan saya tidak terlalu jauh dari tempat Pak Abian," ucapnya malu-malu, tapi matanya menatap ke arah suamiku tanpa berkedip sedikitpun. Entah karena terpesona atau sedang mengharapkan belas kasihan.Kak Abian memandangku, aku bergeming. Seharusnya ia peka aku tak suka ada dia di antara kami. "Ayo, kami antarkan ke rumahmu." Kata-kata Kak Abian sukses membuatku meradang. Aku segera masuk ke mobil, duduk di depan samping sopir tanpa kata. Kak Abian berusaha meraih tanganku tapi segera aku tepis. Aku membuang muka ke arah luar jendela mulai dari toko."Pak, terima kasih, ya, sudah mengantarkan saya. Sebenarnya ingin naik ojek tapi jujur uangku pas-pasan hanya untuk makan dan jajan anak-anak," kata Sintia setelah mobil berhenti tepat di depan kontrakannya. "Nggak papa. Tunggu sebentar jangan dulu kelur," kata Kak Abian. Lelaki yang duduk di sampingku langsung mengambil dompetnya dari tas kecil di atas dashboard. Kak Abian mengeluarkan uang
Mataku membeliak sempurna saat membuka isinya. Berbeda dengan lelaki di depanku. Dia tersenyum jahil.Kaget bukan kepalang saat mataku menatap baju dalam bungkusan tas kertas tersebut. Ya, lingerie berwarna maroon adalah barang yang diberikan kak Abian padaku.Pria yang telah menjadi suamiku masuk ke dalam kamar dengan membawa tas kecil. Ya, baju ganti untuk kami berdua yang tadi sempat diantarkan oleh tukang ojek di dekat rumah."Apa ini, Kak?" tanyaku pura-pura polos. Padahal degup jantungku sangat tak normal. Seolah mau keluar dari tempatnya saat membayangkan memakai pakaian dinas malam ini. Ngeri-ngeri sedap. "Baju dinas malam, buat memanjakan mata kakak, Sayang. Mau kan membuat suamimu ini bahagia?" tanyanya sambil Mengerlingkan mata. Idih ganjen. Dasar Lelaki egois, enak sekali suruh aku memanjakan setelah dia membuatku kesal karena Sintia. Tidak merasa bersalah sama sekali malah menuntut untuk menyenangkan. Seharusnya dia buat aku senang dulu, dong! Aku menarik napas panjang
Kak Abian segera melangkah menuju pintu. Mereka berbasa-basi terlebih dahulu di ambang pintu. Aku sendiri memilih masuk ke kamar. Aku dengar Kak Abian menyuruhnya masuk. Kini mereka sedang ngobrol di ruang tamu."Sayang, sini!" Suara lelaki itu memanggilku. Aku pun segera menemui mereka setelah menyimpan paper bag di atas nakas."Kenalkan ini istri saya." Kak Abian merangkul pundakku, setelah aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum ramah pada perempuan yang ada di hadapan kami sambil mengulurkan tangan."Oh ini istrinya. Cantik, pantas saja dia tidak tertarik dengan gadis kampung sini. Eh, kenalkan saya Aini," ujarnya sambil tersenyum dan menerima uluran tanganku. "Silvia," balasku. Tak kuhiraukan ucapannya tadi tentang kakak Abian yang tidak tertarik dengan gadis sini. Toh, tidak ada gunanya juga aku menangapinya."Aini adalah orang yang merawat dan mengurus rumah ini, Sayang," beber kak Abian. Aku hanya mengangguk kecil sebagai tanda paham."Apa itu, Mbak?" Mataku menyorot pada bar
"Apa karena kamu tidak menyukai Sintia?" Lelaki itu merubah posisinya yang semula tiduran dengan pahaku sebagai bantalnya kini duduk dan menatapku dengan lekat.Seharusnya tanpa aku jelaskan dia paham? Bukankah sedari tadi aku sudah memberikan pengertian padanya? Mengapa dia tidak peka dengan semua ini?"Kenapa kakak begitu ingin dia bekerja di tempat kita?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan sesaknya dada. "Kamu jangan seperti anak kecil, Silvia! Dia itu seorang janda yang memiliki dua anak kecil. Mereka masih butuh biaya. Oke, aku turuti kemauan kamu untuk tidak sering-sering berinteraksi dengannya. Bahkan aku sudah berjanji padamu untuk tidak pernah mengantarkan dia pulang. Namun, bukan berarti harus memecatnya. Aku tidak bisa melakukan itu." Aku tertegun dengan jawaban pria di depanku. Dia bahkan berani merubah panggilannya padaku. Setelah menikah tak pernah sekalipun ia memanggil namaku tapi kali ini dia menyebut Silvia. Sebegitu pedulikah ia dengan Sintia? Mataku mema
POV Author Silvia benar-benar terpejam dan segera berkeliling ke dunia mimpi setelah Abian beranjak dari sisinya. Bahkan ia pun tak menyadari saat dirinya dipindah oleh Abian ke kamar. "Maafkan kakak yang telah membuatmu marah. Kakak hanya kasihan dengan Sintia itu saja tidak lebih. Cinta dan hatiku sepenuhnya itu memilikimu, Sayang," ucap Abian sambil mengecup kening istrinya. Sayangnya, Silvia tidak mendengar itu. Dia terlalu lelap dalam buaian mimpi.****"Mbak Aini, di daerah sini ada janda?" tanya Silvia saat orang yang membantu di rumah itu sedang sibuk di dapur. Perempuan yang sedang membersihkan cabai rawit itu memicingkan mata saat menatap istrinya Abian. Heran dengan pertanyaan bosnya."Kenapa tanya begitu, Mbak?" Arini tidak mengerti maksud dan tujuan Silvia bertanya seperti itu. "Saya punya rencana akan membuka lowongan kerja bagi para janda," ungkap wanita yang baru selesai mandi itu. "Oh begitu, ada banyak, Mbak. Di sini kalau tidak salah ada delapan atau sembilan