"Bian. Kamu harus pulang sebelum jam makan siang," ucap ibu melalui sambungan telepon. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam setengah sebelas siang. "Ada apa memangnya, Bu?" Tumben-tumbenan ibu menyuruhku pulang di saat jam kerja begini. Sesuatu yang langka terjadi. "Pokoknya harus pulang! Ibu tidak bisa membicarakan ini di telepon!" Suara ibu terdengar tak mau dibantah. Aku terpaksa harus mengiyakan. Aku pun hanya sanggup mengatakan ia sebelum membalas salam dan mengakhiri telepon ibu.Hal penting apa yang membuat ibu harus menelpon aku seperti ini? Biasanya beliau akan menunggu aku pulang bila ada apa-apa.Mungkin sangat darurat dan harus selesaikan sekarang. Baiklah karena ini yang meminta ibu maka aku tidak boleh menolaknya.****"Bian." Ibu memandang wajahku dengan seksama. Saat ini aku sudah berada di rumah. Kami berbincang di ruang keluarga. Ibu terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan bicaranya. Semakin membuatku penasaran. Apa yang ingin beliau sampaikan? "Ta
Ya Allah semoga Engkau bukakan pintu hati Silvia sehingga mau menerima hamba-Mu yang banyak dosa ini sebagai suaminya. Ya Rabb ... izinkan dan ridhoi hamba yang berkubang dosa ini menikah dengan Silvia kembali. Hamba ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Doa di dalam hati terpaksa diberhentikan saat mendengar orang mengucapkan salam. Suaranya sangat familiar di telinga ini. Aku mematung beberapa detik saat menatapnya yang baru muncul di hadapanku. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Namun, kali ini jantungku berdetak abnormal dari biasanya. Ada apa ini? Apa mungkin aku akan melamarnya? "Sini, Nak!" Ibu menepuk kursi di sampingnya setelah memeluk dan mencium wajah ayu yang selalu aku rindukan itu.Silvia terlihat bingung. Mungkin dia pun merasa aneh dengan undang ini. Terlebih saat mata kami bertemu pandang. Dia terlihat gugup. Apa dia tahu kalau aku akan melamarnya? "Bian. Ibu mau menyiapkan makanan siang. Kalian ngobrol dulu. Nanti kalau sudah siap ibu panggil."
"Kalau paman Gozali setuju Silvia manut saja," jawabnya lirih sambil menunduk dan memilin ujung jilbab segi empatnya itu."Alhamdulillah." Aku dan ibu mengucapkan secara bersamaan.Aku lega, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Lebih lega lagi, aku akan dipaksa ibu untuk menemani lamaran Nanda."Besok kita akan mengunjungi rumah paman," kataku antusias. Calon istriku mengangguk. Begitu pun dengan ibu. "Bagaimana dengan Nanda, Bu?" tanyaku setelah Silvia pergi ke belakang untuk meneruskan pekerjaan ibu yang belum selesai tadi. Ternyata ibu tidak benar-benar mempersiapkan makanan di meja tapi hanya pura-pura pergi agar aku segera melamar Silvia. Buktinya, setelah itu ibu meminta Silvia untuk melanjutkan pekerjaannya. "Itu urusan gampang. Ibu tinggal bilang kamu sudah memiliki calon istri sehingga tidak bisa menerima lamarannya." Ibu menyakinkan aku."Apa semudah itu, Bu? Bagaimana kalau mereka marah?" Ada rasa bersalah yang hinggap di dadaku."Apa kamu mau menerima lamaran itu?" T
"Aiza. Aku pulang dulu, ya. Tolong diawasi semuanya," ucapku setelah turun dari tangga. Teman sekaligus sepupu mantan suaminya Silvia mengangguk."Nggak balik lagi, Pak Bian?" tanyanya sambil menatapku setelah memasukan baju ke manekin. Dia profesional, di tempat kerja memanggilku dengan sebutan Pak. Meski di luar kembali menyapaku dengan nama asli."Nggak tahu. Kita lihat situasinya dulu. Nanti aku kabarin kalau memang tidak bisa balik lagi ke sini," kataku sebelum benar-benar melenggang meninggalkan toko.Kini dia menjadi orang kepercayaanku. Aku tahu orangnya jujur dan tidak banyak tingkah. Ya, sesuai dengan janjiku dulu padanya karena telah membantu Silvia ke luar dari Satria. Kini aku mempekerjakan Aiza di toko baju pusat milikku ini. Kebetulan salah satu karyawanku ada yang resign, katanya mau menjadi ibu rumah tangga secara full. Bukan istri paruh waktu. Itu sih pilihan. Sebagai seorang atasan aku tak punya hak untuk melarang karyawan berhenti. Aku pun nanti menginginkan is
"Nanda depresi, Mas." "Terus hubungannya dengan pernikahan kita apa?" "Bu Minda memohon dengan sangat padaku agar merelakan mas Abian menikah dengan anaknya. Dia seperti itu karena mas Abian, katanya." Ibu menarik napas dalam-dalam. "Ibu tidak menyangka dia begitu terluka atas penolakanmu, Bian. Ibu pikir tidak ada masalah lagi setelah memberikan jawaban pada Minda waktu itu." Tatapan ibu menerawang. "Mas, Bu. Silvia rela membatalkan pernikahan ini demi Nanda. Mas pasti akan bahagia menikah dengannya. Dia sampai depresi seperti itu karena terlalu mencintai mas Abian." "Omong kosong macam apa ini, Silvia? Demi orang lain kamu mengorbankan diri sendiri. Kamu pikir semua ini kesalahanku? Dia depresi karena aku? Sehingga aku harus bertanggung jawab atas semua ini. Itu tidak akan pernah terjadi!" Aku berdiri dan hendak meninggalkan mereka. "Mas …." Aku menghentikan langkah tanpa menoleh ke arahnya barang sebentar pun. "Mas, kamu tidak akan ngomong seperti itu kalau tahu dan melihat
"Ada ucapan kamu yang saya sesalkan hingga saat ini." Ucapan Bu Minda sukses membuatku kaget. "Ucapan yang mana, Bu?" tanyaku penasaran."Kenapa kamu membesarkan hati anak saya kalau ternyata kamu sendiri yang akan menikah dengan Abian? Kenapa kamu mengatakan anak saya cocok dengannya padahal ucapan itu hanya pemanis buatan. Kamu tidak sadar ucapanmu itulah yang membuat Nanda melambung tinggi kemudian dia merasa terhempas ke jurang yang paling dalam saat Bian menolak lamaran kami dan memilih melamar kamu. Secara tidak langsung kamulah yang menyebabkan anak saya begini! Sekarang saya minta kamu bertanggung jawab!" Benarkah aku yang menyebabkan Nanda menjadi begini? Benarkah semua itu salahku? Seketika rasa bersalah terus menghatui pikiranku.Ucapan Bu Minda terus terngiang di telinga. Aku pun memutuskan untuk menghubungi mas Abian. Aku rela mundur kalau memang itu bisa mengembalikan ke kondisi Nanda. Aku rela tidak bersama dengan orang yang aku cintai. Mungkin ini memang takdir ya
Aku terdiam beberapa saat. Mencoba memahami ucapan ibu.Kami berhenti di depan pintu. Kami menunggu mbok Nur membukakan pintu. Aku memandang ibu dengan penuh tanda tanya."Tapi, Bu, kami ini belum menikah bagaimana mungkin akan tinggal satu atap. Pastinya nanti akan timbul fitnah." bantahku dengan hati-hati takut menyakiti hati beliau.Ibu malah mengusap puncak kerudungku dengan lembut. Beliau tersenyum ke arahku. "Tidak akan ada fitnah lagi di antara kalian. Tidak ada yang akan berani mengusik kalian lagi," ucap ibu. Aku mengerutkan dahi dan menatap ibu serta anaknya itu secara bergantian. Meminta penjelasan pada mereka. Aku tidak benar-benar semakin tak mengerti maksudnya. "Kita akan menikah besok sore, Silvia." Lelaki yang berdiri di hadapanku itu mengerlingkan matanya. Genit."Menikah besok sore, Mas? Bukankah kita akan menikah satu bulan setengah lagi? Persiapan kita pun baru berapa persen?" tanyaku. Aku kaget sekaligus senang.Kaget ternyata secepat itu dan mengapa tidak ber
"Sah!""Sah!"Ha? Aku sangat dah sah menjadi istri mas Abian kembali. Kami tidak mendengar proses ijab kabul karena keasyikan ngobrol. Aku meneteskan air mata, bahagia. Aiza memelukku."Selamat, ya. Akhirnya … kamu menikah dengan lelaki yang mencintaimu, Silvia. Aku ikut bahagia. Semoga setelah ini tidak ada lagi air mata kesedihan." Aiza menggenggam pundakku."Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Aiza. Semoga kamu pun segera menyusul mendapatkan lelaki terbaik." Aku membalas pelukannya, erat. Aku dan Aiza duduk berdua di kamar yang biasa aku tempati. Aku sengaja menunggu ijab qobul dari sini. "Yuk kita keluar. Temui suami kamu." Aku bangkit dari duduk dan menggandeng tangan Aiza menuju ruang tamu. Semua mata menatap ke arahku. Detak jantungku semakin tidak berirama. ***Acara telah usai. Keluarga besar ibu telah pulang. Mereka sengaja tidak menginap. Katanya, nanti saja ketika resepsi kami. Keluargaku pun telah kembali pulang. Sebenarnya aku dan ibu melarang mereka pulang, tapi