Terima kasih banyak ya atas informasinya. Semoga kedepannya kita bisa semakin akrab. Aku berharap kamu akan membantu kedekatan kami." Tangan halus itu meremas kedua telapak tanganku. Wajah cantiknya menatapku dengan penuh permohonan. Aku hanya bisa mengangguk pasrah."Aku akan mencoba membantumu sebisa mungkin. Semoga mas Abian mau membuka hati untukmu," balasku. Lagi-lagi antara hati dan ucapan tidak sejalan. Jahatnya hatiku karena tidak mengamini ucapanku sendiri. Munafiknya diri ini! Sungguh aku tak menyukai ini!Mbak, bukankah di Jogja banyak lelaki yang lebih dari mas Abian tetapi mengapa memilih ingin kenal dengan kakak angkatku itu? Mbak Nanda cantik pasti banyak yang ingin melamarnya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Aku sudah tidak tahan menyimpan dalam kepala."Dia lelaki pilihan ibu. Aku hanya mau menikah dengan pilihan beliau. Memang benar sudah ada beberapa pria yang melamarku tapi semua ditolak oleh ibu. Beliau bilang tidak ada yang cocok untukku. Namun,
"Bian. Kamu harus pulang sebelum jam makan siang," ucap ibu melalui sambungan telepon. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam setengah sebelas siang. "Ada apa memangnya, Bu?" Tumben-tumbenan ibu menyuruhku pulang di saat jam kerja begini. Sesuatu yang langka terjadi. "Pokoknya harus pulang! Ibu tidak bisa membicarakan ini di telepon!" Suara ibu terdengar tak mau dibantah. Aku terpaksa harus mengiyakan. Aku pun hanya sanggup mengatakan ia sebelum membalas salam dan mengakhiri telepon ibu.Hal penting apa yang membuat ibu harus menelpon aku seperti ini? Biasanya beliau akan menunggu aku pulang bila ada apa-apa.Mungkin sangat darurat dan harus selesaikan sekarang. Baiklah karena ini yang meminta ibu maka aku tidak boleh menolaknya.****"Bian." Ibu memandang wajahku dengan seksama. Saat ini aku sudah berada di rumah. Kami berbincang di ruang keluarga. Ibu terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan bicaranya. Semakin membuatku penasaran. Apa yang ingin beliau sampaikan? "Ta
Ya Allah semoga Engkau bukakan pintu hati Silvia sehingga mau menerima hamba-Mu yang banyak dosa ini sebagai suaminya. Ya Rabb ... izinkan dan ridhoi hamba yang berkubang dosa ini menikah dengan Silvia kembali. Hamba ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Doa di dalam hati terpaksa diberhentikan saat mendengar orang mengucapkan salam. Suaranya sangat familiar di telinga ini. Aku mematung beberapa detik saat menatapnya yang baru muncul di hadapanku. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Namun, kali ini jantungku berdetak abnormal dari biasanya. Ada apa ini? Apa mungkin aku akan melamarnya? "Sini, Nak!" Ibu menepuk kursi di sampingnya setelah memeluk dan mencium wajah ayu yang selalu aku rindukan itu.Silvia terlihat bingung. Mungkin dia pun merasa aneh dengan undang ini. Terlebih saat mata kami bertemu pandang. Dia terlihat gugup. Apa dia tahu kalau aku akan melamarnya? "Bian. Ibu mau menyiapkan makanan siang. Kalian ngobrol dulu. Nanti kalau sudah siap ibu panggil."
"Kalau paman Gozali setuju Silvia manut saja," jawabnya lirih sambil menunduk dan memilin ujung jilbab segi empatnya itu."Alhamdulillah." Aku dan ibu mengucapkan secara bersamaan.Aku lega, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Lebih lega lagi, aku akan dipaksa ibu untuk menemani lamaran Nanda."Besok kita akan mengunjungi rumah paman," kataku antusias. Calon istriku mengangguk. Begitu pun dengan ibu. "Bagaimana dengan Nanda, Bu?" tanyaku setelah Silvia pergi ke belakang untuk meneruskan pekerjaan ibu yang belum selesai tadi. Ternyata ibu tidak benar-benar mempersiapkan makanan di meja tapi hanya pura-pura pergi agar aku segera melamar Silvia. Buktinya, setelah itu ibu meminta Silvia untuk melanjutkan pekerjaannya. "Itu urusan gampang. Ibu tinggal bilang kamu sudah memiliki calon istri sehingga tidak bisa menerima lamarannya." Ibu menyakinkan aku."Apa semudah itu, Bu? Bagaimana kalau mereka marah?" Ada rasa bersalah yang hinggap di dadaku."Apa kamu mau menerima lamaran itu?" T
"Aiza. Aku pulang dulu, ya. Tolong diawasi semuanya," ucapku setelah turun dari tangga. Teman sekaligus sepupu mantan suaminya Silvia mengangguk."Nggak balik lagi, Pak Bian?" tanyanya sambil menatapku setelah memasukan baju ke manekin. Dia profesional, di tempat kerja memanggilku dengan sebutan Pak. Meski di luar kembali menyapaku dengan nama asli."Nggak tahu. Kita lihat situasinya dulu. Nanti aku kabarin kalau memang tidak bisa balik lagi ke sini," kataku sebelum benar-benar melenggang meninggalkan toko.Kini dia menjadi orang kepercayaanku. Aku tahu orangnya jujur dan tidak banyak tingkah. Ya, sesuai dengan janjiku dulu padanya karena telah membantu Silvia ke luar dari Satria. Kini aku mempekerjakan Aiza di toko baju pusat milikku ini. Kebetulan salah satu karyawanku ada yang resign, katanya mau menjadi ibu rumah tangga secara full. Bukan istri paruh waktu. Itu sih pilihan. Sebagai seorang atasan aku tak punya hak untuk melarang karyawan berhenti. Aku pun nanti menginginkan is
"Nanda depresi, Mas." "Terus hubungannya dengan pernikahan kita apa?" "Bu Minda memohon dengan sangat padaku agar merelakan mas Abian menikah dengan anaknya. Dia seperti itu karena mas Abian, katanya." Ibu menarik napas dalam-dalam. "Ibu tidak menyangka dia begitu terluka atas penolakanmu, Bian. Ibu pikir tidak ada masalah lagi setelah memberikan jawaban pada Minda waktu itu." Tatapan ibu menerawang. "Mas, Bu. Silvia rela membatalkan pernikahan ini demi Nanda. Mas pasti akan bahagia menikah dengannya. Dia sampai depresi seperti itu karena terlalu mencintai mas Abian." "Omong kosong macam apa ini, Silvia? Demi orang lain kamu mengorbankan diri sendiri. Kamu pikir semua ini kesalahanku? Dia depresi karena aku? Sehingga aku harus bertanggung jawab atas semua ini. Itu tidak akan pernah terjadi!" Aku berdiri dan hendak meninggalkan mereka. "Mas …." Aku menghentikan langkah tanpa menoleh ke arahnya barang sebentar pun. "Mas, kamu tidak akan ngomong seperti itu kalau tahu dan melihat
"Ada ucapan kamu yang saya sesalkan hingga saat ini." Ucapan Bu Minda sukses membuatku kaget. "Ucapan yang mana, Bu?" tanyaku penasaran."Kenapa kamu membesarkan hati anak saya kalau ternyata kamu sendiri yang akan menikah dengan Abian? Kenapa kamu mengatakan anak saya cocok dengannya padahal ucapan itu hanya pemanis buatan. Kamu tidak sadar ucapanmu itulah yang membuat Nanda melambung tinggi kemudian dia merasa terhempas ke jurang yang paling dalam saat Bian menolak lamaran kami dan memilih melamar kamu. Secara tidak langsung kamulah yang menyebabkan anak saya begini! Sekarang saya minta kamu bertanggung jawab!" Benarkah aku yang menyebabkan Nanda menjadi begini? Benarkah semua itu salahku? Seketika rasa bersalah terus menghatui pikiranku.Ucapan Bu Minda terus terngiang di telinga. Aku pun memutuskan untuk menghubungi mas Abian. Aku rela mundur kalau memang itu bisa mengembalikan ke kondisi Nanda. Aku rela tidak bersama dengan orang yang aku cintai. Mungkin ini memang takdir ya
Aku terdiam beberapa saat. Mencoba memahami ucapan ibu.Kami berhenti di depan pintu. Kami menunggu mbok Nur membukakan pintu. Aku memandang ibu dengan penuh tanda tanya."Tapi, Bu, kami ini belum menikah bagaimana mungkin akan tinggal satu atap. Pastinya nanti akan timbul fitnah." bantahku dengan hati-hati takut menyakiti hati beliau.Ibu malah mengusap puncak kerudungku dengan lembut. Beliau tersenyum ke arahku. "Tidak akan ada fitnah lagi di antara kalian. Tidak ada yang akan berani mengusik kalian lagi," ucap ibu. Aku mengerutkan dahi dan menatap ibu serta anaknya itu secara bergantian. Meminta penjelasan pada mereka. Aku tidak benar-benar semakin tak mengerti maksudnya. "Kita akan menikah besok sore, Silvia." Lelaki yang berdiri di hadapanku itu mengerlingkan matanya. Genit."Menikah besok sore, Mas? Bukankah kita akan menikah satu bulan setengah lagi? Persiapan kita pun baru berapa persen?" tanyaku. Aku kaget sekaligus senang.Kaget ternyata secepat itu dan mengapa tidak ber
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka