"Banyak omong kamu!" ucap Satria bareng dengan pipiku yang terasa sakit.Satu tinjuan tangan lelaki itu mendarat di pipiku karena aku tidak berhasil menghindarinya. Aku meringis sembari mengusap darah yang keluar dari bibir. Tak menunggu waktu lagi Satria kembali melayangkan tinjunya ke arah perutku. Bertubi-tubi! Lagi-lagi aku tidak bisa menghindar. Sial! Gara-gara tidak bisa ilmu bela diri jadi begini. Ibu menjerit histeris saat melihatku roboh di tanah. Beliau pun turun dari mobil. Diikuti oleh Silvia."Puas kamu telah menghajar mas Abian? Kamu pikir setelah membuat dia babak belur aku akan menyerah dan kembali sama kamu? Itu tidak akan mungkin!" Sorot mata Silvia mengarah pada lelaki di depannya. "Mas, maafkan aku." Silvia menatapku sembari jongkok di dekatku. Aku melihat wajah sendu di sana."Kenapa kamu ratapi lelaki itu? Aku ini suami kamu!" Satria menarik tangan Silvia. Sehingga perempuan itu berdiri meski terpaksa. Duh kenapa Silvia harus keluar dari mobil segala? Kalau
"Seharusnya biarkan saja dia mendekam di penjara sekian waktu biar ada efek jeranya?" tanya saat itu setelah orang tuanya Satria meninggalkan rumah mas Abian."Aku tidak tega melihat ibunya menghiba begitu. Lagian, aku pikir dia sudah sedikit jera setelah berurusan dengan kantor polisi. Aku hanya ingin melihatmu segera bebas dari Satria. Bisa saja ibunya akan tetap membebaskan Satria dengan cara yang lain. Setelah itu dia justru akan mempersulit proses perceraian kalian. Aku tidak mau itu terjadi." Saat itu aku tertegun dengan jawaban mas Abian. Dia tidak memikirkan dirinya sendiri. Padahal lelaki itu korban dan berhak menjebloskan Satria. Namun, ia lagi-lagi memikirkan aku. "Ibu setuju dengan pendapat Abian. Orang tuanya Satria pasti akan melakukan apa pun untuk membebaskan anaknya. Lebih baik kita yang mencabut laporannya dengan sedikit menekan mereka," timpal ibu pada saat itu.Itu sebabnya proses perceraian kami itu tidak berbelit dan terhitung cepat karena Satria tidak pernah
****"Bi. Bibi tidak perlu khawatir dengan tanah yang dihibahkan pada Silvia. Saya tidak akan menerimanya," ucapku saat duduk berdua di kamar bibi. Ibu dan mas Abian menunggu di ruang tamu. Aku tidak mau dimusuhi oleh istrinya paman terus menerus. Semua ini harus segera diselesaikan. Toh, tanpa harta hibah itu selama ini aku bisa hidup. "Memang sudah seharusnya kamu tidak menerimanya!" Jawaban bibi sangat ketus. Tetapi tak apa, toh yang terpenting aku sudah memberitahukannya. "Kamu itu sudah aku urusi dari dulu. Sudah banyak makan biaya dari kami. Bahkan kami pun turut membiayai kuliahmu!" Bibi kembali bersungut-sungut. Biaya kuliah? Semuanya itu ditanggung oleh ibunya mas Abian. Mengapa dia merasa mengeluarkan biaya untukku? "Aku tidak pernah membiayai kuliahnya Silvia. Semua itu sudah ditanggung oleh ibunya Abian," bantah paman Gozali.Bi Baidah membuang muka ke arah tembok saat aku dan paman menatapnya. "Paman memang tak seharusnya Silvia menerima tanah itu. Jujur Silvia tida
"Waalaikummussallam. Mari, Bu, Mbak, masuk!" Aku membuka pintu kamar dengan lebar. Mempersilakan kedua wanita cantik itu untuk masuk ke dalam tempat tinggalku. "Silvia, kenalkan ini anak ibu namanya Nanda." Ibu kos-an memperkenalkan putrinya padaku. Aku pun menerima uluran tangan gadis cantik di depanku. Aku menatap wajah gadis itu dengan penuh ketakjuban. Hidung bangir, pipi mulus bak porselen, mata bulat, dagu lancip, lesung di kedua sisi pipinya. Alis hitam tanpa dilukis, bulu mata yang lentik. Satu kata untuknya, sempurna! Betapa indah ciptaan Allah di hadapanku ini. Sebagai seorang wanita aku merasa minder seketika."Nanda. Kamu bisa bertanya banyak hal tentang Abian pada Silvia. Dia ini anak angkatnya Bu Anis. Atau adik angkatnya Abian. Bunda yakin dia bisa menjadi sumber rujukan yang baik dalam mendapatkan informasi tentang calon imammu itu," tutur Bu Minda. Calon imam? Apa ini Nanda yang waktu itu disebutkan oleh ibu saat di rumah sakit? Apa memang mas Abian akan dijodohkan
Terima kasih banyak ya atas informasinya. Semoga kedepannya kita bisa semakin akrab. Aku berharap kamu akan membantu kedekatan kami." Tangan halus itu meremas kedua telapak tanganku. Wajah cantiknya menatapku dengan penuh permohonan. Aku hanya bisa mengangguk pasrah."Aku akan mencoba membantumu sebisa mungkin. Semoga mas Abian mau membuka hati untukmu," balasku. Lagi-lagi antara hati dan ucapan tidak sejalan. Jahatnya hatiku karena tidak mengamini ucapanku sendiri. Munafiknya diri ini! Sungguh aku tak menyukai ini!Mbak, bukankah di Jogja banyak lelaki yang lebih dari mas Abian tetapi mengapa memilih ingin kenal dengan kakak angkatku itu? Mbak Nanda cantik pasti banyak yang ingin melamarnya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Aku sudah tidak tahan menyimpan dalam kepala."Dia lelaki pilihan ibu. Aku hanya mau menikah dengan pilihan beliau. Memang benar sudah ada beberapa pria yang melamarku tapi semua ditolak oleh ibu. Beliau bilang tidak ada yang cocok untukku. Namun,
"Bian. Kamu harus pulang sebelum jam makan siang," ucap ibu melalui sambungan telepon. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam setengah sebelas siang. "Ada apa memangnya, Bu?" Tumben-tumbenan ibu menyuruhku pulang di saat jam kerja begini. Sesuatu yang langka terjadi. "Pokoknya harus pulang! Ibu tidak bisa membicarakan ini di telepon!" Suara ibu terdengar tak mau dibantah. Aku terpaksa harus mengiyakan. Aku pun hanya sanggup mengatakan ia sebelum membalas salam dan mengakhiri telepon ibu.Hal penting apa yang membuat ibu harus menelpon aku seperti ini? Biasanya beliau akan menunggu aku pulang bila ada apa-apa.Mungkin sangat darurat dan harus selesaikan sekarang. Baiklah karena ini yang meminta ibu maka aku tidak boleh menolaknya.****"Bian." Ibu memandang wajahku dengan seksama. Saat ini aku sudah berada di rumah. Kami berbincang di ruang keluarga. Ibu terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan bicaranya. Semakin membuatku penasaran. Apa yang ingin beliau sampaikan? "Ta
Ya Allah semoga Engkau bukakan pintu hati Silvia sehingga mau menerima hamba-Mu yang banyak dosa ini sebagai suaminya. Ya Rabb ... izinkan dan ridhoi hamba yang berkubang dosa ini menikah dengan Silvia kembali. Hamba ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Doa di dalam hati terpaksa diberhentikan saat mendengar orang mengucapkan salam. Suaranya sangat familiar di telinga ini. Aku mematung beberapa detik saat menatapnya yang baru muncul di hadapanku. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Namun, kali ini jantungku berdetak abnormal dari biasanya. Ada apa ini? Apa mungkin aku akan melamarnya? "Sini, Nak!" Ibu menepuk kursi di sampingnya setelah memeluk dan mencium wajah ayu yang selalu aku rindukan itu.Silvia terlihat bingung. Mungkin dia pun merasa aneh dengan undang ini. Terlebih saat mata kami bertemu pandang. Dia terlihat gugup. Apa dia tahu kalau aku akan melamarnya? "Bian. Ibu mau menyiapkan makanan siang. Kalian ngobrol dulu. Nanti kalau sudah siap ibu panggil."
"Kalau paman Gozali setuju Silvia manut saja," jawabnya lirih sambil menunduk dan memilin ujung jilbab segi empatnya itu."Alhamdulillah." Aku dan ibu mengucapkan secara bersamaan.Aku lega, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Lebih lega lagi, aku akan dipaksa ibu untuk menemani lamaran Nanda."Besok kita akan mengunjungi rumah paman," kataku antusias. Calon istriku mengangguk. Begitu pun dengan ibu. "Bagaimana dengan Nanda, Bu?" tanyaku setelah Silvia pergi ke belakang untuk meneruskan pekerjaan ibu yang belum selesai tadi. Ternyata ibu tidak benar-benar mempersiapkan makanan di meja tapi hanya pura-pura pergi agar aku segera melamar Silvia. Buktinya, setelah itu ibu meminta Silvia untuk melanjutkan pekerjaannya. "Itu urusan gampang. Ibu tinggal bilang kamu sudah memiliki calon istri sehingga tidak bisa menerima lamarannya." Ibu menyakinkan aku."Apa semudah itu, Bu? Bagaimana kalau mereka marah?" Ada rasa bersalah yang hinggap di dadaku."Apa kamu mau menerima lamaran itu?" T