"Sayang." Aku mengusap lembut punggung istriku. Namun, wanitaku tidak bergerak sedikitpun. Apalagi membuka mata. Sekali lagi aku menggoyangkan pundaknya, tapi masih saja bergeming dalam posisi meringkuk di bawah selimut.Baiklah, sepertinya aku harus pergi tanpa pamit dia terlebih dahulu. Semoga saja aku sudah kembali ketika dia bagun nanti, agar tidak khawatir.Aku segera mengambil jaket dari gantungan lemari setelah mencuci muka. Gegas, ke luar kamar setelah mendapatkan kunci motor. Kali ini aku harus membawa motor saja agar lebih cepat."Mau ke mana, Bian? Kok tumben bawa motor? Silvia pengen makanan?" tanya ibu di ambang pintu depan. Rupanya beliau masih terjaga. Ibu terlihat memindai penampilanku yang tidak seperti biasanya. Ya, jaket adalah pakaian yang jarang sekali aku kenakan. Saat ini aku sudah mengeluarkan motor."Mau ke ruko, Bu. Tadi satpam bilang ada kebakaran di sana. Doakan, ya, Bu, semoga masih ada yang bisa diselamatkan," ucapku sembari memanaskan mesin motor sebelum
"Bukan mahalnya yang aku inginkan, Kak, tetapi fungsinya. Apa gunanya membeli barang mahal kalau suatu saat nanti hanya akan menjadi sebuah rongsokan? Bagiku lebih baik murah tetapi bermanfaatnya." Begitulah jawabannya waktu itu.Pernah juga waktu itu aku tawarin untuk membeli gamis-gamis agar banyak koleksi bajunya. Namun, lagi-lagi dia menolaknya."Kak, baju di lemariku itu masih banyak. Buat apa beli lagi? Aku takut akan memperberat pertanggung jawabanku di hadapan Allah. Takut kalau mengoleksi baju-baju bagus. Aku takut menjadi pelit dan tidak mau memberikan baju itu pada orang lain," ungkapnya waktu itu."Namun, kakak ingin kamu ganti baju, Sayangku. Jangan hanya yang ada di lemari itu saja. Suamimu ini banyak uang lho, mampu beli apa saja. Masa baju istrinya hanya sebatas yang ada di lemari," bantahku saat itu."Baiklah kalau begitu. Aku mau dibelikan baju setelah baju-baju dalam lemari di sumbangkan. Besok antarkan aku ke rumah orang yang sekiranya layak menerima baju bekasku.
"Apa yang terjadi dengan ibu, Sayang?" Sekali lagi aku ulang pertanyaan itu. Silvia tidak bisa langsung menjawab, hanya suara isakannya yang terdengar. Aku semakin khawatir dengan keadaan ibu. Ada apa dengan ibuku? Satu tanganku memegang handphone, sedang yang satunya lagi merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjaku, sembari mendengarkan kelanjutan cerita istriku. "Ibu … ibu jatuh dari kamar mandi, Kak. Sekarang kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," ucapnya disela isakannya. Tangis wanitaku semakin menjadi. Innalillahi. Hanya itu kata-kata yang mampu aku ucapkan saat ini. Aku menatap ke langit-langit gedung ruang kerja setelah sambungan telepon kami putus. Aku berusaha untuk menghalau tetesan air mata, meskipun cairan bening itu sudah ada di pelupuk. Robb … hikmah apa yang hendak Engkau tunjukkan pada kami? Hamba yakin di setiap musibah selalu ada hikmah. "Pak, saya titipkan karyawan, ya. Tolong diawasi mereka. Saya harap semua karyawan bekerja dengan benar
"Ibu sedang diperiksa dokter, Kak. Beliau tadi pingsan di kamar mandi. Sejak tadi tidak sadarkan diri." Allah … aku mengerjapkan mata berulang kali. Aku tidak mau menangis di depan istri. Aku harus kuat di saat dia sedang lemah seperti ini. "Aku takut, Kak. Takut ibu kenapa-kenapa." Tangisnya kembali pecah. Aku melepaskan pelukannya. Menuntunnya untuk duduk di kursi tunggu. "Kita berdoa semoga beliau tidak apa-apa. Semoga ibu panjang umur dan bisa melihat cucunya lahir ke dunia ini. Bisa bermain dengan Silvia kecil dan Bian junior," ucapku seraya mengelus perut istri yang masih datar.Bibir ini bisa menghibur wanitaku. Namun, aku sendiri butuh orang lain yang bisa menguatkan hati ini.Aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibu seperti ini? Sepanjang ingatan, aku selalu meminta mbok Nur untuk membersihkan kamar mandi. Aku tidak ingin tempat membuang hajat dan tempat mandi itu licin yang akhirnya menyebabkan orang jatuh. "Kak, kenapa akhir-akhir ini banyak musibah yang menimpa kita,
"Mbok, minta tolong siapkan baju istri saya." "Baik, Mas. Memangnya Mbak Silvia mau menginap di rumah sakit?" Orang yang sehari-hari membantu bekerja di rumah ini bertanya. Rasa penasaran jelas tergambar dari mimiknya."Untuk malam ini saja. Besok-besok istriku hanya akan menunggu ibu di siang hari. Kasihan, dia harus banyak istirahat." Aku mengamati wajah setengah umur itu. Ia terlihat menyinggungkan senyum samar setelah mendengar jawabanku. Ada apa? "Mbok, boleh saya pinjam handphonenya? Punya saya kehabisan daya." Aku menunjukkan layar telpon pintarku. Gelap. Mati sedari tadi karena belum sempat diisi baterai. "Tapi telepon mbok kan jadul, Mas. Tidak bisa buat WA atau internetan. Hanya bisa buat nelpon dan SMSan." Wanita seumuran ibu itu seolah sedang menolak untuk meminjamkan. Entah mengapa ia seolah keberatan. Apa mungkin ada yang ia sembunyikan?Padahal tidak perlu dijabarkan aku pun tahu bahwa benda yang ada dalam genggamannya itu hanya bisa digunakan untuk menelpon dan men
Pagi hari, aku pulang ke rumah di saat mbok Nur pergi ke pasar. Kini saatnya kupasang CCTV di beberapa tempat. Kemarin, sebelum kembali ke rumah sakit sengaja mampir untuk membeli alat ini. Agar aku bisa mengawasi pergerakan wanita berumur itu.Aku tersenyum simpul setelah acara pemasangan kamera pengintai itu usai. Suara salam dari mbok Nur pun terdengar. Ia sudah kembali dari pasar. Untung semuanya sudah beres. "Waalaikummussallam." Aku pun membantu membawakan tas belanjaannya. Ia amat kerepotan. Biasanya wanita itu belanja ditemani oleh Silvia. "Mas Abian mau dimasakin apa?" Perempuan itu menatapku sekilas sebelum akhirnya melanjutkan pergerakan tangannya. Memasukkan sayuran ke dalam lemari pendingin."Oh, jadi lupa, Mbok. stri saya sedang ingin dimasakin ayam lada hitam. Itu sebabnya saya tadi pulang. Tadi Mbok beli daging ayam kan?" "Beli, Mas. Nanti mbok buatkan untuk Mbak Silvia." Wanita yang telah selesai memasukan sayuran ke dalam kulkas kini mulai sibuk membersihkan ayam.
Kecurigaanku tidak bisa dipatahkan begitu saja. Perempuan ini terlihat lihai dalam berbohong. Aku sudah kehilangan kepercayaan saat ia bilang tidak mengenal suara Sintia, padahal mereka sering berkomunikasi melalui telepon. Bantahannya sudah cukup membuktikan kalau ia memang pendusta ulung. Satu kebohongan akan menuntut kebohongan yang lain.Sayangnya, selama ini ibu terlalu mempercayai wanita itu. Wajah itu terlihat terperangah seketika. Mungkin dia tidak menyangka aku akan mengetahui semua ini secepatnya. "Simbok itu sudah tua, tapi terlihat tidak cerdas!" Aku berkata sambil tersenyum sinis ke arah perempuan itu. Aku berjalan ke arah meja makan. Menarik salah satu kursi. Benda mati yang berfungsi sebagai tempat duduk itu aku arahkan membelakangi meja. Aku duduk menghadap wajah wanita yang bernama lengkap Nuriyah tersebut. Aku duduk dengan kaki kiri ditumpahkan ke kaki kanan. "Sekarang mau jujur di hadapan saya atau mau dibawa ke kantor polisi?" Mataku tak lepas dari wanita yang
POV Mbok Nur.Aku kaget bukan kepalang saat anaknya mas Lukman itu mendengar obrolanku dengan Sintia, perempuan yang bernasib sama denganku. Mencintai suami orang.Aku mulai ketar-ketir saat pemuda itu mencuri dengar obrolan kami. Namun, aku segera menguasai keadaan. Aku tidak mau dia curiga padahal rencanaku belum dijalankan semuanya. Aku semakin tak tenang saat Abian meminjam handphone jadul milikku. Aku takut dia akan mengetahui siapa lawan bicaraku. Namun, aku menjadi lega setelah melihat sikap anaknya mas Lukman begitu tenang. Tidak terlihat marah ataupun tak suka padaku. Aku pun pura-pura mengkhawatirkan keadaan perempuan perebut mas Lukman. Ya, Anis adalah wanita yang dulu berhasil merebut mas Lukman dariku. Lelaki yang telah datang ke desa kami sebagai pemilik rumah makan termewah pada saat itu. Aku yang kenal lebih dahulu dengan pria tampan tersebut. Kami sangat akrab dan dekat karena sebagai atasan dan karyawan. Tetapi, tiba-tiba Anis, seorang wanita yang katanya menjadi