"Ibu sedang diperiksa dokter, Kak. Beliau tadi pingsan di kamar mandi. Sejak tadi tidak sadarkan diri." Allah … aku mengerjapkan mata berulang kali. Aku tidak mau menangis di depan istri. Aku harus kuat di saat dia sedang lemah seperti ini. "Aku takut, Kak. Takut ibu kenapa-kenapa." Tangisnya kembali pecah. Aku melepaskan pelukannya. Menuntunnya untuk duduk di kursi tunggu. "Kita berdoa semoga beliau tidak apa-apa. Semoga ibu panjang umur dan bisa melihat cucunya lahir ke dunia ini. Bisa bermain dengan Silvia kecil dan Bian junior," ucapku seraya mengelus perut istri yang masih datar.Bibir ini bisa menghibur wanitaku. Namun, aku sendiri butuh orang lain yang bisa menguatkan hati ini.Aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibu seperti ini? Sepanjang ingatan, aku selalu meminta mbok Nur untuk membersihkan kamar mandi. Aku tidak ingin tempat membuang hajat dan tempat mandi itu licin yang akhirnya menyebabkan orang jatuh. "Kak, kenapa akhir-akhir ini banyak musibah yang menimpa kita,
"Mbok, minta tolong siapkan baju istri saya." "Baik, Mas. Memangnya Mbak Silvia mau menginap di rumah sakit?" Orang yang sehari-hari membantu bekerja di rumah ini bertanya. Rasa penasaran jelas tergambar dari mimiknya."Untuk malam ini saja. Besok-besok istriku hanya akan menunggu ibu di siang hari. Kasihan, dia harus banyak istirahat." Aku mengamati wajah setengah umur itu. Ia terlihat menyinggungkan senyum samar setelah mendengar jawabanku. Ada apa? "Mbok, boleh saya pinjam handphonenya? Punya saya kehabisan daya." Aku menunjukkan layar telpon pintarku. Gelap. Mati sedari tadi karena belum sempat diisi baterai. "Tapi telepon mbok kan jadul, Mas. Tidak bisa buat WA atau internetan. Hanya bisa buat nelpon dan SMSan." Wanita seumuran ibu itu seolah sedang menolak untuk meminjamkan. Entah mengapa ia seolah keberatan. Apa mungkin ada yang ia sembunyikan?Padahal tidak perlu dijabarkan aku pun tahu bahwa benda yang ada dalam genggamannya itu hanya bisa digunakan untuk menelpon dan men
Pagi hari, aku pulang ke rumah di saat mbok Nur pergi ke pasar. Kini saatnya kupasang CCTV di beberapa tempat. Kemarin, sebelum kembali ke rumah sakit sengaja mampir untuk membeli alat ini. Agar aku bisa mengawasi pergerakan wanita berumur itu.Aku tersenyum simpul setelah acara pemasangan kamera pengintai itu usai. Suara salam dari mbok Nur pun terdengar. Ia sudah kembali dari pasar. Untung semuanya sudah beres. "Waalaikummussallam." Aku pun membantu membawakan tas belanjaannya. Ia amat kerepotan. Biasanya wanita itu belanja ditemani oleh Silvia. "Mas Abian mau dimasakin apa?" Perempuan itu menatapku sekilas sebelum akhirnya melanjutkan pergerakan tangannya. Memasukkan sayuran ke dalam lemari pendingin."Oh, jadi lupa, Mbok. stri saya sedang ingin dimasakin ayam lada hitam. Itu sebabnya saya tadi pulang. Tadi Mbok beli daging ayam kan?" "Beli, Mas. Nanti mbok buatkan untuk Mbak Silvia." Wanita yang telah selesai memasukan sayuran ke dalam kulkas kini mulai sibuk membersihkan ayam.
Kecurigaanku tidak bisa dipatahkan begitu saja. Perempuan ini terlihat lihai dalam berbohong. Aku sudah kehilangan kepercayaan saat ia bilang tidak mengenal suara Sintia, padahal mereka sering berkomunikasi melalui telepon. Bantahannya sudah cukup membuktikan kalau ia memang pendusta ulung. Satu kebohongan akan menuntut kebohongan yang lain.Sayangnya, selama ini ibu terlalu mempercayai wanita itu. Wajah itu terlihat terperangah seketika. Mungkin dia tidak menyangka aku akan mengetahui semua ini secepatnya. "Simbok itu sudah tua, tapi terlihat tidak cerdas!" Aku berkata sambil tersenyum sinis ke arah perempuan itu. Aku berjalan ke arah meja makan. Menarik salah satu kursi. Benda mati yang berfungsi sebagai tempat duduk itu aku arahkan membelakangi meja. Aku duduk menghadap wajah wanita yang bernama lengkap Nuriyah tersebut. Aku duduk dengan kaki kiri ditumpahkan ke kaki kanan. "Sekarang mau jujur di hadapan saya atau mau dibawa ke kantor polisi?" Mataku tak lepas dari wanita yang
POV Mbok Nur.Aku kaget bukan kepalang saat anaknya mas Lukman itu mendengar obrolanku dengan Sintia, perempuan yang bernasib sama denganku. Mencintai suami orang.Aku mulai ketar-ketir saat pemuda itu mencuri dengar obrolan kami. Namun, aku segera menguasai keadaan. Aku tidak mau dia curiga padahal rencanaku belum dijalankan semuanya. Aku semakin tak tenang saat Abian meminjam handphone jadul milikku. Aku takut dia akan mengetahui siapa lawan bicaraku. Namun, aku menjadi lega setelah melihat sikap anaknya mas Lukman begitu tenang. Tidak terlihat marah ataupun tak suka padaku. Aku pun pura-pura mengkhawatirkan keadaan perempuan perebut mas Lukman. Ya, Anis adalah wanita yang dulu berhasil merebut mas Lukman dariku. Lelaki yang telah datang ke desa kami sebagai pemilik rumah makan termewah pada saat itu. Aku yang kenal lebih dahulu dengan pria tampan tersebut. Kami sangat akrab dan dekat karena sebagai atasan dan karyawan. Tetapi, tiba-tiba Anis, seorang wanita yang katanya menjadi
"Mbok, jangan mengeluarkan suara selama saya menelpon! Berani bersuara berarti siap kehilangan nyawa." Aku sedikit mengancam wanita yang duduk di kursi tengah. Wanita yang tangan dan kakinya sedang aku ikat itu hanya mengangguk. Rupanya wanita itu takut dengan gertakan yang aku berikan. Buktinya wajahnya terlihat tegang. Nyalinya menciut.Atau dia ngeri melihat wajah sangar milikku? Ah, entahlah. Aku tadi memang mengertaknya disertai dengan wajah yang garang.Namun, dalam hati aku tertawa geli melihat ekspresinya. Perempuan itu terlihat takut-takut. Barangkali dia pikir aku akan benar-benar menghabisi nyawanya? Iya kali aku akan melakukan itu.Aku segera menghubungi nomor kontak yang diberi nama 'Kekasihku'.Sekali lagi aku menoleh ke arah belakang sembari meletakkan jari telunjuk ke bibir ini. Kode pada mbok Nur agar dia tidak mengeluarkan bunyi yang akan menimbulkan curiga dan tanda tanya pada orang yang aku telepon. "Sayang, kamu makan siangnya beli saja, ya. Sepertinya kakak aka
"Katakan, siapa orang yang menyuruh kalian membakar ruko milikku?" Aku menatap lekat dua wajah lelaki yang sedang duduk di kursi kayu. Aku menemui mereka di lantai dua. Sedang mbok Nur, aku simpan di lantai satu. Ruko yang selama ini aku tinggalkan kini difungsikan untuk menyekap orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka masih bergeming dengan posisi kaki dan tangan terikat di belakangnya. Aku memutari meja yang ada di hadapan mereka. Mereka tersentak kaget saat aku menggebrak meja. "Baik, silakan kalian diam seribu bahasa dan jangan ada yang berbicara. Aku akan membakar gedung ini dan membiarkan kalian mati di dalamnya. Mau?" Mataku mendelik ke arah mereka berdua. Tangan sebelah kananku memainkan korek api. Siap mematikkan apinya. Tangan yang satu siap menyiramkan cairan bahan bakar yang berada dalam botol air mineral dengan ukuran satu liter setengah itu. Sengaja menakuti mereka. "Ka — kami hanya disuruh. Ka — kami hanya menjalankan perintah." Lelaki dengan tompel di pip
"Aku tidak mengenal mereka, Abian!" Suara cempreng Sintia terdengar memekakkan telinga."Aku sedang tidak bertanya padamu. Jadi tolong diam. Nanti ada giliranmu untuk berbicara. Paham!" Aku menatap wajah wanita yang sengaja dipaksa untuk memakai masker tersebut. Aku sengaja menyuruhnya memakai masker agar para lelaki tahanan itu mengenalinya."Kami tidak mengenal mereka, Pak." Si tompel memberikan kesaksiannya."Kamu yakin? Saya tidak akan segan-segan membakar tempat ini bila tahu kalian berempat berbohong padaku." Mataku menatap nyalang pada wajah mereka secara bergantian."Sangat yakin, Pak. Karena kami benar-benar tidak mengenal mereka berdua." Lelaki berjambang pun memberikan suaranya. Menguatkan alasan yang dikemukakan oleh temannya, tompel."Bian, lepaskan aku, bukakan masker ini. Pengap tahu!" Suara Sintia kembali menguasai ruangan ini.Aku segera mengangkat dagu ke arah Fauzi. Memberi kode padanya. Lelaki itu dengan cekatan membuka masker penutup wajah Sintia dan mbok Nur."K