"Mbok, jangan mengeluarkan suara selama saya menelpon! Berani bersuara berarti siap kehilangan nyawa." Aku sedikit mengancam wanita yang duduk di kursi tengah. Wanita yang tangan dan kakinya sedang aku ikat itu hanya mengangguk. Rupanya wanita itu takut dengan gertakan yang aku berikan. Buktinya wajahnya terlihat tegang. Nyalinya menciut.Atau dia ngeri melihat wajah sangar milikku? Ah, entahlah. Aku tadi memang mengertaknya disertai dengan wajah yang garang.Namun, dalam hati aku tertawa geli melihat ekspresinya. Perempuan itu terlihat takut-takut. Barangkali dia pikir aku akan benar-benar menghabisi nyawanya? Iya kali aku akan melakukan itu.Aku segera menghubungi nomor kontak yang diberi nama 'Kekasihku'.Sekali lagi aku menoleh ke arah belakang sembari meletakkan jari telunjuk ke bibir ini. Kode pada mbok Nur agar dia tidak mengeluarkan bunyi yang akan menimbulkan curiga dan tanda tanya pada orang yang aku telepon. "Sayang, kamu makan siangnya beli saja, ya. Sepertinya kakak aka
"Katakan, siapa orang yang menyuruh kalian membakar ruko milikku?" Aku menatap lekat dua wajah lelaki yang sedang duduk di kursi kayu. Aku menemui mereka di lantai dua. Sedang mbok Nur, aku simpan di lantai satu. Ruko yang selama ini aku tinggalkan kini difungsikan untuk menyekap orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka masih bergeming dengan posisi kaki dan tangan terikat di belakangnya. Aku memutari meja yang ada di hadapan mereka. Mereka tersentak kaget saat aku menggebrak meja. "Baik, silakan kalian diam seribu bahasa dan jangan ada yang berbicara. Aku akan membakar gedung ini dan membiarkan kalian mati di dalamnya. Mau?" Mataku mendelik ke arah mereka berdua. Tangan sebelah kananku memainkan korek api. Siap mematikkan apinya. Tangan yang satu siap menyiramkan cairan bahan bakar yang berada dalam botol air mineral dengan ukuran satu liter setengah itu. Sengaja menakuti mereka. "Ka — kami hanya disuruh. Ka — kami hanya menjalankan perintah." Lelaki dengan tompel di pip
"Aku tidak mengenal mereka, Abian!" Suara cempreng Sintia terdengar memekakkan telinga."Aku sedang tidak bertanya padamu. Jadi tolong diam. Nanti ada giliranmu untuk berbicara. Paham!" Aku menatap wajah wanita yang sengaja dipaksa untuk memakai masker tersebut. Aku sengaja menyuruhnya memakai masker agar para lelaki tahanan itu mengenalinya."Kami tidak mengenal mereka, Pak." Si tompel memberikan kesaksiannya."Kamu yakin? Saya tidak akan segan-segan membakar tempat ini bila tahu kalian berempat berbohong padaku." Mataku menatap nyalang pada wajah mereka secara bergantian."Sangat yakin, Pak. Karena kami benar-benar tidak mengenal mereka berdua." Lelaki berjambang pun memberikan suaranya. Menguatkan alasan yang dikemukakan oleh temannya, tompel."Bian, lepaskan aku, bukakan masker ini. Pengap tahu!" Suara Sintia kembali menguasai ruangan ini.Aku segera mengangkat dagu ke arah Fauzi. Memberi kode padanya. Lelaki itu dengan cekatan membuka masker penutup wajah Sintia dan mbok Nur."K
Perempuan tua itu ucapannya sama sekali tidak bisa dipegang. "Lagian, di dalam perjanjian, tidak ada untuk mengembalikan uang tersebut sekalipun rencana kita tidak berhasil." Mbok Nur tak terima ditagih uangnya."Mbok kamu itu aku suruh mencelakai Silvia dan anaknya, tapi kamu malah salah sasaran. Akhirnya calon mertuaku kan yang kena." Percaya diri sekali Sintia sehingga menganggap ibuku adalah calon mertuanya. Prok … prok … prok….Aku bertepuk tangan ketika turun dari tangga. Mereka berdua kaget mengetahui aku sudah ada di hadapan mereka. "Kalian luar biasa. Bekerjasama dengan sangat apik. Aku tidak menyangka kamu rela menghabiskan tabungan kedua anakmu untuk menghabisi nyawa istri dan anakku. Begitu besar cintamu padaku. Kau buat aku terharu, Sintia." Aku mendekati wajah perempuan dulu sempat memakai kerudung, kini lepas kembali. "Se — sejak kapan kamu ada di situ Abian?" Sintia terlihat ketakutan dan juga tegang. "Sejak kalian membongkar rahasia besar." "Fauzi, Bowo tolong
Bu Minda. Wanita yang kini ikut membuka toko baju di dekat ruko milikku."Kasihan sekali hidup kalian. Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Kemarin rukonya yang kebakaran sekarang ibunya yang terkapar di rumah sakit. Tetapi, aku tidak heran sih kalau semua ini terjadi dalam hidup kalian. Wajar dan memang seharusnya mendapatkan semua ini." "Maksud, Ibu, apa?" Aku segera menyerangnya. Ingin rasanya aku membantah ucapannya. Namun, semua kuurungkan. Aku harus pura-pura tidak tahu, bahwa dialah dalang dari pembakaran ruko milik kami. Silvia tersenyum melihat aku berada di sampingnya."Ini semua karma atas pernikahan kalian." "Aku tidak pernah merasa memiliki salah, Bu. Memangnya salah kami apa?" Aku sengaja mengajaknya ngobrol di depan ruang rawat inap Ibu, guna mengulur waktu hingga polisi datang."Kalian berbahagia di atas penderitaan anak saya." Dengan angkuhnya perempuan bergamis mahal itu memandang kami dengan penuh kebencian. "Baik, bisa jadi memang seperti itu. Saya mohon maaf s
"Memang apa salah saya, Pak?" Perempuan itu memasang wajah tanpa dosa. Seolah ia tak pernah melakukan kesalahan fatal yang akan berujung masuk bui. "Salah Bu Minda adalah menyuruh orang untuk membakar ruko milikku." "Kurang ajar kamu, Abian. Berarti ini semua kamu yang melaporkan?" "Bukan, tetapi dua pria bayaran Bu Minda lah yang memberikan kesaksian." Aku menatapnya dengan tenang. "Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu menyesal telah menjebloskan aku ke dalam penjara." Ucapan terakhir sebelum akhirnya polisi mengiring perempuan yang banyak gaya itu."Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan padaku." Silvia menatapku dengan penuh rasa penasaran.Aku segera menceritakan alasan Bu Minda ditangkap. Motifnya tidak hanya tentang bisnis saja, tapi disertai rasa sakit hati karena anaknya aku tolak secara terang-terangan."Aku tidak menyangka Bu Minda tega melakukan hal sekejam itu. Kok dia tega melakukan itu pada keluarga kita. Terlebih, katanya dia sahabat ibu. Teman macam apa yang
"Ibu kenapa, Bu Martini?" Aku sangat penasaran dengan keadaan di rumah."Pokoknya, Bapak pulang sekarang! Saya tidak bisa memberitahu ditelepon. Mohon maaf telah lancang memerintahkan, Bapak." Bu Martini menutup sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam. Meninggalkan sejuta tanda tanya di kepala ini. Sebenarnya ingin marah karena dia berani memerintah aku seperti itu. Tetapi, aku yakin ini sangat penting dan serius sehingga dia berani mendikteku seperti itu.Tak ingin berspekulasi sendiri, kucoba menghubungi nomor Silvia. Berdering tapi tak diangkat. Tidak diangkatnya panggilanku menambah daftar kekhawatiran diri ini. Sedang apa dia? Tidak seperti biasanya. Sibukkah ia? Atau mau melahirkan? Seharusnya ini menjadi berita bahagia buatku.Tak mau dihantui rasa penasaran yang tinggi. Lekas, kuhubungi Aiza. Aku akan memintanys untuk datang ke rumah. Melihat apa yang sebenarnya terjadi dan mengabarinya padaku. Namun, nihil. Lagi-lagi nomornya aktif tapi tak diangkat. Sedang apa sih
Aku akan berusaha mengikhlaskannya semua ini. Namun, aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Beliau meninggal kami semua tanpa ada firasat apapun padaku. Jamaah yang ikut menyolatkan ibu pun cukup ramai. Hingga dua kloter, meski kami menyolatkan ibu di masjid dekat rumah. Hampir seluruh teman-teman kajian ibu datang, rekan-rekan bisnisnya pun tak ketinggalan. Belum lagi warga sekitar sini yang sedari tadi datang silih berganti. Keluarga besar kami pun semua datang untuk bertakziah. Menampung jamaah hingga dua ratus orang. Namun, tak cukup muat bila semua ikut salat sekaligus. Aku akui teman-teman ibu itu tak terhitung jumlahnya karena beliau pun aktif di beberapa kajian organisasi. Bahkan kalau tidak salah beliau itu salah satu pengurus di organisasi tersebut. Sehingga wajar kalau pelayat cukup banyak. Ini sesuatu yang sangat Masya Allah. Aku tak mampu berkata-kata lagi.Ucapan bela sungkawa dan doa-doa terbaik untuk kami semua tak henti-hentinya aku terima dari handai