Beranda / Pernikahan / Istri hanya Status / 117. Pengakuan Mbok Nur.

Share

117. Pengakuan Mbok Nur.

Penulis: Farid-ha Channel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aku tidak mengenal mereka, Abian!" Suara cempreng Sintia terdengar memekakkan telinga.

"Aku sedang tidak bertanya padamu. Jadi tolong diam. Nanti ada giliranmu untuk berbicara. Paham!" Aku menatap wajah wanita yang sengaja dipaksa untuk memakai masker tersebut.

Aku sengaja menyuruhnya memakai masker agar para lelaki tahanan itu mengenalinya.

"Kami tidak mengenal mereka, Pak." Si tompel memberikan kesaksiannya.

"Kamu yakin? Saya tidak akan segan-segan membakar tempat ini bila tahu kalian berempat berbohong padaku." Mataku menatap nyalang pada wajah mereka secara bergantian.

"Sangat yakin, Pak. Karena kami benar-benar tidak mengenal mereka berdua." Lelaki berjambang pun memberikan suaranya. Menguatkan alasan yang dikemukakan oleh temannya, tompel.

"Bian, lepaskan aku, bukakan masker ini. Pengap tahu!" Suara Sintia kembali menguasai ruangan ini.

Aku segera mengangkat dagu ke arah Fauzi. Memberi kode padanya. Lelaki itu dengan cekatan membuka masker penutup wajah Sintia dan mbok Nur.

"K
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Istri hanya Status    118. Membawa ke Kantor Polisi.

    Perempuan tua itu ucapannya sama sekali tidak bisa dipegang. "Lagian, di dalam perjanjian, tidak ada untuk mengembalikan uang tersebut sekalipun rencana kita tidak berhasil." Mbok Nur tak terima ditagih uangnya."Mbok kamu itu aku suruh mencelakai Silvia dan anaknya, tapi kamu malah salah sasaran. Akhirnya calon mertuaku kan yang kena." Percaya diri sekali Sintia sehingga menganggap ibuku adalah calon mertuanya. Prok … prok … prok….Aku bertepuk tangan ketika turun dari tangga. Mereka berdua kaget mengetahui aku sudah ada di hadapan mereka. "Kalian luar biasa. Bekerjasama dengan sangat apik. Aku tidak menyangka kamu rela menghabiskan tabungan kedua anakmu untuk menghabisi nyawa istri dan anakku. Begitu besar cintamu padaku. Kau buat aku terharu, Sintia." Aku mendekati wajah perempuan dulu sempat memakai kerudung, kini lepas kembali. "Se — sejak kapan kamu ada di situ Abian?" Sintia terlihat ketakutan dan juga tegang. "Sejak kalian membongkar rahasia besar." "Fauzi, Bowo tolong

  • Istri hanya Status    119. Bu Minda.

    Bu Minda. Wanita yang kini ikut membuka toko baju di dekat ruko milikku."Kasihan sekali hidup kalian. Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Kemarin rukonya yang kebakaran sekarang ibunya yang terkapar di rumah sakit. Tetapi, aku tidak heran sih kalau semua ini terjadi dalam hidup kalian. Wajar dan memang seharusnya mendapatkan semua ini." "Maksud, Ibu, apa?" Aku segera menyerangnya. Ingin rasanya aku membantah ucapannya. Namun, semua kuurungkan. Aku harus pura-pura tidak tahu, bahwa dialah dalang dari pembakaran ruko milik kami. Silvia tersenyum melihat aku berada di sampingnya."Ini semua karma atas pernikahan kalian." "Aku tidak pernah merasa memiliki salah, Bu. Memangnya salah kami apa?" Aku sengaja mengajaknya ngobrol di depan ruang rawat inap Ibu, guna mengulur waktu hingga polisi datang."Kalian berbahagia di atas penderitaan anak saya." Dengan angkuhnya perempuan bergamis mahal itu memandang kami dengan penuh kebencian. "Baik, bisa jadi memang seperti itu. Saya mohon maaf s

  • Istri hanya Status    120. Ibu, Siapa?

    "Memang apa salah saya, Pak?" Perempuan itu memasang wajah tanpa dosa. Seolah ia tak pernah melakukan kesalahan fatal yang akan berujung masuk bui. "Salah Bu Minda adalah menyuruh orang untuk membakar ruko milikku." "Kurang ajar kamu, Abian. Berarti ini semua kamu yang melaporkan?" "Bukan, tetapi dua pria bayaran Bu Minda lah yang memberikan kesaksian." Aku menatapnya dengan tenang. "Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu menyesal telah menjebloskan aku ke dalam penjara." Ucapan terakhir sebelum akhirnya polisi mengiring perempuan yang banyak gaya itu."Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan padaku." Silvia menatapku dengan penuh rasa penasaran.Aku segera menceritakan alasan Bu Minda ditangkap. Motifnya tidak hanya tentang bisnis saja, tapi disertai rasa sakit hati karena anaknya aku tolak secara terang-terangan."Aku tidak menyangka Bu Minda tega melakukan hal sekejam itu. Kok dia tega melakukan itu pada keluarga kita. Terlebih, katanya dia sahabat ibu. Teman macam apa yang

  • Istri hanya Status    121. Kehilangan.

    "Ibu kenapa, Bu Martini?" Aku sangat penasaran dengan keadaan di rumah."Pokoknya, Bapak pulang sekarang! Saya tidak bisa memberitahu ditelepon. Mohon maaf telah lancang memerintahkan, Bapak." Bu Martini menutup sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam. Meninggalkan sejuta tanda tanya di kepala ini. Sebenarnya ingin marah karena dia berani memerintah aku seperti itu. Tetapi, aku yakin ini sangat penting dan serius sehingga dia berani mendikteku seperti itu.Tak ingin berspekulasi sendiri, kucoba menghubungi nomor Silvia. Berdering tapi tak diangkat. Tidak diangkatnya panggilanku menambah daftar kekhawatiran diri ini. Sedang apa dia? Tidak seperti biasanya. Sibukkah ia? Atau mau melahirkan? Seharusnya ini menjadi berita bahagia buatku.Tak mau dihantui rasa penasaran yang tinggi. Lekas, kuhubungi Aiza. Aku akan memintanys untuk datang ke rumah. Melihat apa yang sebenarnya terjadi dan mengabarinya padaku. Namun, nihil. Lagi-lagi nomornya aktif tapi tak diangkat. Sedang apa sih

  • Istri hanya Status    122. Dia...

    Aku akan berusaha mengikhlaskannya semua ini. Namun, aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Beliau meninggal kami semua tanpa ada firasat apapun padaku. Jamaah yang ikut menyolatkan ibu pun cukup ramai. Hingga dua kloter, meski kami menyolatkan ibu di masjid dekat rumah. Hampir seluruh teman-teman kajian ibu datang, rekan-rekan bisnisnya pun tak ketinggalan. Belum lagi warga sekitar sini yang sedari tadi datang silih berganti. Keluarga besar kami pun semua datang untuk bertakziah. Menampung jamaah hingga dua ratus orang. Namun, tak cukup muat bila semua ikut salat sekaligus. Aku akui teman-teman ibu itu tak terhitung jumlahnya karena beliau pun aktif di beberapa kajian organisasi. Bahkan kalau tidak salah beliau itu salah satu pengurus di organisasi tersebut. Sehingga wajar kalau pelayat cukup banyak. Ini sesuatu yang sangat Masya Allah. Aku tak mampu berkata-kata lagi.Ucapan bela sungkawa dan doa-doa terbaik untuk kami semua tak henti-hentinya aku terima dari handai

  • Istri hanya Status    123. Permintaan Maaf.

    Assalamualaikum." Kami mengetuk pintu kantor yayasan tersebut. "Waalaikummussallam." Suara seorang perempuan dari balik pintu. Aku tersentak kaget saat mata kami bersirobok. Mataku tertuju pada sosok wanita yang sedang berbadan dua. "Abian, Silvia. Mari masuk." Wanita dengan jilbab lebar itu mempersilakan kami.Tak ada rasa canggung, dua wanita di hadapanku saling berpelukan dan mencium pipi kiri dan kanan. "Apa kabar kalian?" tanyanya sesaat setelah mempersilakan kami berdua duduk di sofa, dekat meja kerjanya."Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri apa kabar? Berapa usia kandunganmu?" Silvia bertanya dengan tulus. Tak tampak dendam sedikit pun dari tatapan wanitaku untuk lawan bicaranya. "Seperti yang kamu lihat, Silvia. Kami baik." Perempuan itu kembali tersenyum seraya mengelus perutnya yang tak kalah buncit dari istriku."Kamu sudah lama di sini, Anggraini?" Silvia melontarkan pertanyaan pada wanita di depannya."Kurang lebih enam bulan yang lalu." "Oh … pantes. Dulu aku sering m

  • Istri hanya Status    124. POV Anggraini.

    POV Anggraini Pernikahanku dengan Mas Dion Wibisono ternyata tak bisa berjalan sesuai impian ku. Aku kira menikah dengan seorang duda dan seorang pendidik akan membuatmu hari-hariku bahagia. Nyatanya itu hanya anganku belaka.Lelaki yang aku cintai setelah menikah itu tidak pernah memberikan cinta untukku. Semua kebaikan yang ia lakukan hanya untuk menuruti kemauan ibunya. Wanita yang telah menjodohkan kami.Ya, aku dan mas Dion menikah karena perjodohan. Ibu mertuaku yang merasa memiliki hutang budi padaku meminta anak yang duda untuk menikahi aku. Dion Wibisono pun tak bisa menolak permintaan ibunya. Pernikahan yang kami awali tanpa cinta itu berjalan sebagaimana mestinya. Pria yang sudah memiliki anak itu memperlakukan aku dengan baik. Tidak pernah berkata kasar dan berusaha menyenangkan aku. Namun, itu semua hanya berlangsung kurang lebih dua tahun saja. Setelah ibunya mas Dion berpulang, semua tak lagi sama. Lelaki yang bergelar suamiku itu rela membagi hati dan tubuhnya pada

  • Istri hanya Status    125. POV Silvia.

    POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka

Bab terbaru

  • Istri hanya Status    Akhirnya.

    Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol

  • Istri hanya Status    132. Kembali Harmonis

    Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it

  • Istri hanya Status    131. Kekecewaan Abian.

    Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b

  • Istri hanya Status    130. Garis Dua.

    Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han

  • Istri hanya Status    129. Kehadiran Eyang.

    "Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya

  • Istri hanya Status    128. Nina.

    Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu

  • Istri hanya Status    127. Siapa?

    "Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya

  • Istri hanya Status    126. Bertemu Devia.

    Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa

  • Istri hanya Status    125. POV Silvia.

    POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka

DMCA.com Protection Status