Bu Minda. Wanita yang kini ikut membuka toko baju di dekat ruko milikku."Kasihan sekali hidup kalian. Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Kemarin rukonya yang kebakaran sekarang ibunya yang terkapar di rumah sakit. Tetapi, aku tidak heran sih kalau semua ini terjadi dalam hidup kalian. Wajar dan memang seharusnya mendapatkan semua ini." "Maksud, Ibu, apa?" Aku segera menyerangnya. Ingin rasanya aku membantah ucapannya. Namun, semua kuurungkan. Aku harus pura-pura tidak tahu, bahwa dialah dalang dari pembakaran ruko milik kami. Silvia tersenyum melihat aku berada di sampingnya."Ini semua karma atas pernikahan kalian." "Aku tidak pernah merasa memiliki salah, Bu. Memangnya salah kami apa?" Aku sengaja mengajaknya ngobrol di depan ruang rawat inap Ibu, guna mengulur waktu hingga polisi datang."Kalian berbahagia di atas penderitaan anak saya." Dengan angkuhnya perempuan bergamis mahal itu memandang kami dengan penuh kebencian. "Baik, bisa jadi memang seperti itu. Saya mohon maaf s
"Memang apa salah saya, Pak?" Perempuan itu memasang wajah tanpa dosa. Seolah ia tak pernah melakukan kesalahan fatal yang akan berujung masuk bui. "Salah Bu Minda adalah menyuruh orang untuk membakar ruko milikku." "Kurang ajar kamu, Abian. Berarti ini semua kamu yang melaporkan?" "Bukan, tetapi dua pria bayaran Bu Minda lah yang memberikan kesaksian." Aku menatapnya dengan tenang. "Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu menyesal telah menjebloskan aku ke dalam penjara." Ucapan terakhir sebelum akhirnya polisi mengiring perempuan yang banyak gaya itu."Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan padaku." Silvia menatapku dengan penuh rasa penasaran.Aku segera menceritakan alasan Bu Minda ditangkap. Motifnya tidak hanya tentang bisnis saja, tapi disertai rasa sakit hati karena anaknya aku tolak secara terang-terangan."Aku tidak menyangka Bu Minda tega melakukan hal sekejam itu. Kok dia tega melakukan itu pada keluarga kita. Terlebih, katanya dia sahabat ibu. Teman macam apa yang
"Ibu kenapa, Bu Martini?" Aku sangat penasaran dengan keadaan di rumah."Pokoknya, Bapak pulang sekarang! Saya tidak bisa memberitahu ditelepon. Mohon maaf telah lancang memerintahkan, Bapak." Bu Martini menutup sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam. Meninggalkan sejuta tanda tanya di kepala ini. Sebenarnya ingin marah karena dia berani memerintah aku seperti itu. Tetapi, aku yakin ini sangat penting dan serius sehingga dia berani mendikteku seperti itu.Tak ingin berspekulasi sendiri, kucoba menghubungi nomor Silvia. Berdering tapi tak diangkat. Tidak diangkatnya panggilanku menambah daftar kekhawatiran diri ini. Sedang apa dia? Tidak seperti biasanya. Sibukkah ia? Atau mau melahirkan? Seharusnya ini menjadi berita bahagia buatku.Tak mau dihantui rasa penasaran yang tinggi. Lekas, kuhubungi Aiza. Aku akan memintanys untuk datang ke rumah. Melihat apa yang sebenarnya terjadi dan mengabarinya padaku. Namun, nihil. Lagi-lagi nomornya aktif tapi tak diangkat. Sedang apa sih
Aku akan berusaha mengikhlaskannya semua ini. Namun, aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Beliau meninggal kami semua tanpa ada firasat apapun padaku. Jamaah yang ikut menyolatkan ibu pun cukup ramai. Hingga dua kloter, meski kami menyolatkan ibu di masjid dekat rumah. Hampir seluruh teman-teman kajian ibu datang, rekan-rekan bisnisnya pun tak ketinggalan. Belum lagi warga sekitar sini yang sedari tadi datang silih berganti. Keluarga besar kami pun semua datang untuk bertakziah. Menampung jamaah hingga dua ratus orang. Namun, tak cukup muat bila semua ikut salat sekaligus. Aku akui teman-teman ibu itu tak terhitung jumlahnya karena beliau pun aktif di beberapa kajian organisasi. Bahkan kalau tidak salah beliau itu salah satu pengurus di organisasi tersebut. Sehingga wajar kalau pelayat cukup banyak. Ini sesuatu yang sangat Masya Allah. Aku tak mampu berkata-kata lagi.Ucapan bela sungkawa dan doa-doa terbaik untuk kami semua tak henti-hentinya aku terima dari handai
Assalamualaikum." Kami mengetuk pintu kantor yayasan tersebut. "Waalaikummussallam." Suara seorang perempuan dari balik pintu. Aku tersentak kaget saat mata kami bersirobok. Mataku tertuju pada sosok wanita yang sedang berbadan dua. "Abian, Silvia. Mari masuk." Wanita dengan jilbab lebar itu mempersilakan kami.Tak ada rasa canggung, dua wanita di hadapanku saling berpelukan dan mencium pipi kiri dan kanan. "Apa kabar kalian?" tanyanya sesaat setelah mempersilakan kami berdua duduk di sofa, dekat meja kerjanya."Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri apa kabar? Berapa usia kandunganmu?" Silvia bertanya dengan tulus. Tak tampak dendam sedikit pun dari tatapan wanitaku untuk lawan bicaranya. "Seperti yang kamu lihat, Silvia. Kami baik." Perempuan itu kembali tersenyum seraya mengelus perutnya yang tak kalah buncit dari istriku."Kamu sudah lama di sini, Anggraini?" Silvia melontarkan pertanyaan pada wanita di depannya."Kurang lebih enam bulan yang lalu." "Oh … pantes. Dulu aku sering m
POV Anggraini Pernikahanku dengan Mas Dion Wibisono ternyata tak bisa berjalan sesuai impian ku. Aku kira menikah dengan seorang duda dan seorang pendidik akan membuatmu hari-hariku bahagia. Nyatanya itu hanya anganku belaka.Lelaki yang aku cintai setelah menikah itu tidak pernah memberikan cinta untukku. Semua kebaikan yang ia lakukan hanya untuk menuruti kemauan ibunya. Wanita yang telah menjodohkan kami.Ya, aku dan mas Dion menikah karena perjodohan. Ibu mertuaku yang merasa memiliki hutang budi padaku meminta anak yang duda untuk menikahi aku. Dion Wibisono pun tak bisa menolak permintaan ibunya. Pernikahan yang kami awali tanpa cinta itu berjalan sebagaimana mestinya. Pria yang sudah memiliki anak itu memperlakukan aku dengan baik. Tidak pernah berkata kasar dan berusaha menyenangkan aku. Namun, itu semua hanya berlangsung kurang lebih dua tahun saja. Setelah ibunya mas Dion berpulang, semua tak lagi sama. Lelaki yang bergelar suamiku itu rela membagi hati dan tubuhnya pada
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa