"Apa yang terjadi dengan ibu, Sayang?" Sekali lagi aku ulang pertanyaan itu. Silvia tidak bisa langsung menjawab, hanya suara isakannya yang terdengar. Aku semakin khawatir dengan keadaan ibu. Ada apa dengan ibuku? Satu tanganku memegang handphone, sedang yang satunya lagi merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjaku, sembari mendengarkan kelanjutan cerita istriku. "Ibu … ibu jatuh dari kamar mandi, Kak. Sekarang kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," ucapnya disela isakannya. Tangis wanitaku semakin menjadi. Innalillahi. Hanya itu kata-kata yang mampu aku ucapkan saat ini. Aku menatap ke langit-langit gedung ruang kerja setelah sambungan telepon kami putus. Aku berusaha untuk menghalau tetesan air mata, meskipun cairan bening itu sudah ada di pelupuk. Robb … hikmah apa yang hendak Engkau tunjukkan pada kami? Hamba yakin di setiap musibah selalu ada hikmah. "Pak, saya titipkan karyawan, ya. Tolong diawasi mereka. Saya harap semua karyawan bekerja dengan benar
"Ibu sedang diperiksa dokter, Kak. Beliau tadi pingsan di kamar mandi. Sejak tadi tidak sadarkan diri." Allah … aku mengerjapkan mata berulang kali. Aku tidak mau menangis di depan istri. Aku harus kuat di saat dia sedang lemah seperti ini. "Aku takut, Kak. Takut ibu kenapa-kenapa." Tangisnya kembali pecah. Aku melepaskan pelukannya. Menuntunnya untuk duduk di kursi tunggu. "Kita berdoa semoga beliau tidak apa-apa. Semoga ibu panjang umur dan bisa melihat cucunya lahir ke dunia ini. Bisa bermain dengan Silvia kecil dan Bian junior," ucapku seraya mengelus perut istri yang masih datar.Bibir ini bisa menghibur wanitaku. Namun, aku sendiri butuh orang lain yang bisa menguatkan hati ini.Aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibu seperti ini? Sepanjang ingatan, aku selalu meminta mbok Nur untuk membersihkan kamar mandi. Aku tidak ingin tempat membuang hajat dan tempat mandi itu licin yang akhirnya menyebabkan orang jatuh. "Kak, kenapa akhir-akhir ini banyak musibah yang menimpa kita,
"Mbok, minta tolong siapkan baju istri saya." "Baik, Mas. Memangnya Mbak Silvia mau menginap di rumah sakit?" Orang yang sehari-hari membantu bekerja di rumah ini bertanya. Rasa penasaran jelas tergambar dari mimiknya."Untuk malam ini saja. Besok-besok istriku hanya akan menunggu ibu di siang hari. Kasihan, dia harus banyak istirahat." Aku mengamati wajah setengah umur itu. Ia terlihat menyinggungkan senyum samar setelah mendengar jawabanku. Ada apa? "Mbok, boleh saya pinjam handphonenya? Punya saya kehabisan daya." Aku menunjukkan layar telpon pintarku. Gelap. Mati sedari tadi karena belum sempat diisi baterai. "Tapi telepon mbok kan jadul, Mas. Tidak bisa buat WA atau internetan. Hanya bisa buat nelpon dan SMSan." Wanita seumuran ibu itu seolah sedang menolak untuk meminjamkan. Entah mengapa ia seolah keberatan. Apa mungkin ada yang ia sembunyikan?Padahal tidak perlu dijabarkan aku pun tahu bahwa benda yang ada dalam genggamannya itu hanya bisa digunakan untuk menelpon dan men
Pagi hari, aku pulang ke rumah di saat mbok Nur pergi ke pasar. Kini saatnya kupasang CCTV di beberapa tempat. Kemarin, sebelum kembali ke rumah sakit sengaja mampir untuk membeli alat ini. Agar aku bisa mengawasi pergerakan wanita berumur itu.Aku tersenyum simpul setelah acara pemasangan kamera pengintai itu usai. Suara salam dari mbok Nur pun terdengar. Ia sudah kembali dari pasar. Untung semuanya sudah beres. "Waalaikummussallam." Aku pun membantu membawakan tas belanjaannya. Ia amat kerepotan. Biasanya wanita itu belanja ditemani oleh Silvia. "Mas Abian mau dimasakin apa?" Perempuan itu menatapku sekilas sebelum akhirnya melanjutkan pergerakan tangannya. Memasukkan sayuran ke dalam lemari pendingin."Oh, jadi lupa, Mbok. stri saya sedang ingin dimasakin ayam lada hitam. Itu sebabnya saya tadi pulang. Tadi Mbok beli daging ayam kan?" "Beli, Mas. Nanti mbok buatkan untuk Mbak Silvia." Wanita yang telah selesai memasukan sayuran ke dalam kulkas kini mulai sibuk membersihkan ayam.
Kecurigaanku tidak bisa dipatahkan begitu saja. Perempuan ini terlihat lihai dalam berbohong. Aku sudah kehilangan kepercayaan saat ia bilang tidak mengenal suara Sintia, padahal mereka sering berkomunikasi melalui telepon. Bantahannya sudah cukup membuktikan kalau ia memang pendusta ulung. Satu kebohongan akan menuntut kebohongan yang lain.Sayangnya, selama ini ibu terlalu mempercayai wanita itu. Wajah itu terlihat terperangah seketika. Mungkin dia tidak menyangka aku akan mengetahui semua ini secepatnya. "Simbok itu sudah tua, tapi terlihat tidak cerdas!" Aku berkata sambil tersenyum sinis ke arah perempuan itu. Aku berjalan ke arah meja makan. Menarik salah satu kursi. Benda mati yang berfungsi sebagai tempat duduk itu aku arahkan membelakangi meja. Aku duduk menghadap wajah wanita yang bernama lengkap Nuriyah tersebut. Aku duduk dengan kaki kiri ditumpahkan ke kaki kanan. "Sekarang mau jujur di hadapan saya atau mau dibawa ke kantor polisi?" Mataku tak lepas dari wanita yang
POV Mbok Nur.Aku kaget bukan kepalang saat anaknya mas Lukman itu mendengar obrolanku dengan Sintia, perempuan yang bernasib sama denganku. Mencintai suami orang.Aku mulai ketar-ketir saat pemuda itu mencuri dengar obrolan kami. Namun, aku segera menguasai keadaan. Aku tidak mau dia curiga padahal rencanaku belum dijalankan semuanya. Aku semakin tak tenang saat Abian meminjam handphone jadul milikku. Aku takut dia akan mengetahui siapa lawan bicaraku. Namun, aku menjadi lega setelah melihat sikap anaknya mas Lukman begitu tenang. Tidak terlihat marah ataupun tak suka padaku. Aku pun pura-pura mengkhawatirkan keadaan perempuan perebut mas Lukman. Ya, Anis adalah wanita yang dulu berhasil merebut mas Lukman dariku. Lelaki yang telah datang ke desa kami sebagai pemilik rumah makan termewah pada saat itu. Aku yang kenal lebih dahulu dengan pria tampan tersebut. Kami sangat akrab dan dekat karena sebagai atasan dan karyawan. Tetapi, tiba-tiba Anis, seorang wanita yang katanya menjadi
"Mbok, jangan mengeluarkan suara selama saya menelpon! Berani bersuara berarti siap kehilangan nyawa." Aku sedikit mengancam wanita yang duduk di kursi tengah. Wanita yang tangan dan kakinya sedang aku ikat itu hanya mengangguk. Rupanya wanita itu takut dengan gertakan yang aku berikan. Buktinya wajahnya terlihat tegang. Nyalinya menciut.Atau dia ngeri melihat wajah sangar milikku? Ah, entahlah. Aku tadi memang mengertaknya disertai dengan wajah yang garang.Namun, dalam hati aku tertawa geli melihat ekspresinya. Perempuan itu terlihat takut-takut. Barangkali dia pikir aku akan benar-benar menghabisi nyawanya? Iya kali aku akan melakukan itu.Aku segera menghubungi nomor kontak yang diberi nama 'Kekasihku'.Sekali lagi aku menoleh ke arah belakang sembari meletakkan jari telunjuk ke bibir ini. Kode pada mbok Nur agar dia tidak mengeluarkan bunyi yang akan menimbulkan curiga dan tanda tanya pada orang yang aku telepon. "Sayang, kamu makan siangnya beli saja, ya. Sepertinya kakak aka
"Katakan, siapa orang yang menyuruh kalian membakar ruko milikku?" Aku menatap lekat dua wajah lelaki yang sedang duduk di kursi kayu. Aku menemui mereka di lantai dua. Sedang mbok Nur, aku simpan di lantai satu. Ruko yang selama ini aku tinggalkan kini difungsikan untuk menyekap orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka masih bergeming dengan posisi kaki dan tangan terikat di belakangnya. Aku memutari meja yang ada di hadapan mereka. Mereka tersentak kaget saat aku menggebrak meja. "Baik, silakan kalian diam seribu bahasa dan jangan ada yang berbicara. Aku akan membakar gedung ini dan membiarkan kalian mati di dalamnya. Mau?" Mataku mendelik ke arah mereka berdua. Tangan sebelah kananku memainkan korek api. Siap mematikkan apinya. Tangan yang satu siap menyiramkan cairan bahan bakar yang berada dalam botol air mineral dengan ukuran satu liter setengah itu. Sengaja menakuti mereka. "Ka — kami hanya disuruh. Ka — kami hanya menjalankan perintah." Lelaki dengan tompel di pip
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka