Hati Livia hancur sejadinya mendengar perkataan Rajendra. Bukan hal seperti ini yang ingin didengarnya."Katakan, Livia, kamu hamil anak siapa? Duda kesepian itu atau si brengsek langit?" Tatapan Rajendra semakin tajam seolah ingin membelah tubuh Livia.Livia merasakan seolah dunia runtuh di sekitarnya. Dipejamkannya mata, berusaha menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Perkataan Rajendra yang tajam terus menggema di kepalanya.Setelah kekuatannya untuk bicara kembali terkumpul Livia kemudian berkata, "Bagaimana mungkin kamu berpikiran seperti itu? Saya ini istrimu, Ndra. Dan saya sedang mengandung anakmu."Rajendra menyikapi dengan tawa miring. "Apa kamu bilang? Istri? Apa kamu lupa aku menikahimu karena terpaksa? Dan aku nggak pernah menganggapmu sebagai istri. Jangan pernah kamu lupakan itu.""Saya tahu tapi bukan berarti kamu nggak pernah menyentuh saya. Ingat, Ndra, kita sudah menikah selama dua tahun lebih.""Oh ya? Kalau memang begitu kenapa baru sekarang kamu hamil? Kenapa
Livia menatap pantulan dirinya di kaca. Matanya merah dan sembap. Terlalu sulit untuk menutupinya. Orang-orang akan tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.Rajendra sudah pergi sejak satu jam yang lalu setelah meninggalkan kata-kata yang menyakiti perasaan Livia."Gugurkan anak itu atau aku akan membuat kamu lebih menderita."Livia kembali terisak mengingatnya. Ia tidak menyangka perkataan keji itu akan keluar dari mulut Rajendra. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin menggugurkan anak ini." Livia menggumam sendiri di tengah-tengah kesedihannya.Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana. Anugerah yang sudah bertahun-tahun dinantikannya.Tidak. Livia tidak akan membunuh anak itu."Bunda nggak akan sekejam itu, Sayang. Bunda akan selalu melindungi kamu. Kita berjuang sama-sama ya, Nak. Maafin Papa. Papa nggak jahat tapi dia hanya belum bisa menerima kenyataan." Livia mengelus perutnya begitu lama sambil mengajak bicara janin
Tubuh Livia mendadak tegang begitu ia mendengar perkataan Utary. Kata-kata itu begitu menusuk jauh sampai ke dalam relung hatinya.Mandul. Mandul. Mandul.Kata tersebut menggema di kepalanya. Diucapkan dengan santai tapi membuat sakit di hati Livia semakin dalam.Bukan hal yang baru Livia mendengar ada orang menghinanya dengan kata tersebut. Tapi mengingat saat ini dirinya sedang mengandung, Livia merasa tertantang untuk mengatakan pada orang-orang bahwa dirinya juga bisa hamil. Ia ingin membuktikannya.'Sabar, Liv, jangan sekarang. Akan ada waktunya.' Livia membatin sendiri menguatkan hatinya."Saya memang nggak sempurna tapi saya nggak butuh kehidupan yang sempurna seperti yang kamu bilang." Livia akhirnya membalas perkataan Utary tadi. "Dan mengenai Ryuga, dia memang orang yang baik. Tapi saya berhak atas hidup saya sendiri. Kalau menurut kamu hidup saya dengan Rajendra sangat buruk, mungkin iya. Tapi itu urusan saya. Saya akan memperjuangkan pernikahan ini sampai akhir. Bukan kare
Setelah menerima telepon dari Rajendra, Langit duduk di sofa apartemennya dengan dahi berkerut bingung. Ia tidak tahu kenapa Rajendra meneleponnya apalagi dengan marah-marah seperti tadi. Langit mengingat-ingat apa ada sesuatu hal baru-baru ini yang ia lakukan sehingga Rajendra tersinggung. Tapi rasanya tidak ada."Kenapa dia bisa semarah itu?" Langit bermonolog sendiri namun tetap tidak mendapat jawaban.Beberapa saat setelahnya terdengar ketukan pintu. Langit bangkit dari sofa lalu melangkah gontai menuju pintu. Setelah pintu terbuka ia menemukan Rajendra berdiri di hadapannya dengan wajah tegang dan mata menyala penuh emosi."Gue perlu bicara sama lo," ucap Rajendra sambil melangkah masuk sebelum Langit memberi izin."Ada apa, Ndra? Lo kenapa?" sikap Langit tetap tenang. Begitu kontras dengan Rajendra yang begitu terbakar emosi.Rajendra menatap tajam, bersiap meluncurkan serangan. "Lo pikir gua nggak tahu, hah?""Lo tahu apa?" Langit benar-benar kebingungan sekarang."Jangan pura-
Ryuga. Satu nama itu menjadi sasaran Rajendra berikutnya. Livia hanya dekat dengan Langit dan Ryuga. Maka karena Langit tidak mengaku, Ryuga tidak akan lagi bisa menghindar. Sayangnya Langit tidak tahu di mana alamat kantor lelaki itu. Jadi ia terpaksa mengulurkan niatnya untuk bertemu.Sementara itu di rumah Livia tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa walau keadaannya tidak baik-baik saja. Sedikit-sedikit mual. Sedikit-sedikit muntah. Ia ingin beristirahat namun masih banyak yang harus dilakukannya.Bunyi bel yang menggema memaksa Livia bergerak dari tempatnya. Perempuan itu melangkah terpincang-pincang untuk membukakan pintu. Ia sedikit terkejut melihat tamunya.Langit. Mengingat pertengkarannya tadi pagi tentang Rajendra yang menuduh Langit sebagai ayah biologis anaknya membuat Livia merasa tegang. Tapi untung saja Rajendra sudah berangkat ke kantor."Jadi aku nggak boleh masuk nih?" gurau Langit melihat Livia hanya membiarkannya berdiri di sisi pintu.Livia terkesiap lalu ter
Livia refleks terdiam mendengar perkataan suaminya yang sama sekali tidak pernah ia duga. Sorot matanya tampak begitu terluka. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh."Maaf, Ndra, saya nggak bisa," suara Livia begitu lirih. Lalu ia elus perutnya yang terlihat masih rata. "Anak ini nggak salah apa-apa. Kenapa harus digugurkan?"Rajendra berjalan menghampiri, memangkas jarak di antara mereka. Ditatapnya Livia dengan sorot penuh emosi. "Kamu pikir aku akan membiarkan anak yang bukan darah dagingku tinggal di rumah ini denganku?" "Ndra, saya nggak pernah minta kamu bertanggung jawab atas anak ini. Pernikahan kita adalah kesalahan saya. Tapi tolong jangan ingkari darah dagingmu sendiri. Jangan suruh saya menggugurkannya. Saya bisa pergi dari sini kalau itu yang kamu mau."Perkataan Livia membuat Rajendra tersentak. Arus emosi yang tidak ia pahami tiba-tiba muncul. Ia tidak ingin Livia pergi, tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya."Pergi kamu
Utary langsung menelepon Rajendra agar Rajendra semakin cepat mengusir Livia. Dengan tangan memegang pipi yang masih memerah ia menghubungi Rajendra dan memastikan suaranya terdengar pilu."Ndraaa, aku ditampar Livia," adunya penuh drama. Suaranya dibuat sedang menahan tangis.Rajendra yang saat ini berada di kantornya mengernyitkan dahi. "Kamu bilang apa, Tar? Livia menamparmu?"Utary memainkan perannya dengan sempurna. Wanita itu terisak di telepon. "Aku nggak tahu apa salahku. Awalnya aku cuma nanya tentang dia yang berubah akhir-akhir ini. Masalahnya dia kelihatan beda. Tapi dia malah emosi. Dia bilang aku nggak berhak bicara mengenai dia dan anak itu. Padahal aku nanyanya baik-baik.""Anak itu? Anak itu siapa maksudnya?" Rajendra terkesan bingung."Aku sudah tahu semuanya, Ndra. Aku tahu dia hamil. Dia bilang dia hamil anak kamu, padahal kita sama-sama tahu bahwa itu nggak akan mungkin. Aku cuma mau mengingatkan dia dan mau bantu kamu, Ndra, agar dia nggak menggunakan kehamilanny
Malam ini Livia sedang duduk di beranda samping rumah sendirian. Tangannya mengelus perut yang tertutup baju longgar berwarna coklat. Pikirannya menerawang ke mana-mana. Terutama pada perdebatan dengan Rajendra sore tadi. Kata-kata lelaki itu begitu melekat di benaknya dan menohok dengan sangat tajam di hatinya.'Aku bisa saja mengusirmu, tapi sayangnya rumah ini masih butuh pembantu. Randu juga butuh pengasuh'.Serendah itukah dia di mata suaminya sendiri?Livia menelan saliva, menahan perasaan yang terlalu menyakitkan. Tangannya turun meremas baju di bagian perutnya, berusaha meredam amarah yang bergejolak. Namun sesaat kemudian perasaannya sedikit lebih baik mengingat di dalam perutnya ada janin yang sedang tumbuh."Maafin Bunda, Sayang. Bunda terlalu lemah." Ia bergumam pelan. Perlahan air mata menetes membasahi pipinya namun tidak lama lantaran Livia buru-buru menghapusnya.Sambil terus mengelus-elus perutnya Livia menggumam sendiri. "Aku nggak akan kalah. Aku nggak akan membiark
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha
Rajendra membawa Livia dengan disupiri Geri setelah menitipkan anak-anak pada Bu Mimi. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak panik. Maklum saja, ini adalah untuk pertama kalinya Rajendra melewati semua momen kehamilan Livia, mulai dari morning sickness, masa-masa Livia tidak bisa makan apa pun, masa-masa betapa protektifnya Rajendra padanya, masa-masa kehamilan tua di mana Livia mulai merasa kesakitan di mana-mana dan tidak bisa tidur hingga saat ini tiba masanya untuk melahirkan."Sakit banget, Ndraaa ..." Livia merintih tidak tahan di atas pangkuan Rajendra."Iya, Sayang. Sabar sebentar ya. Nggak lama lagi kita nyampe di rumah sakit," kata Rajendra sambil mengelus-elus perut Livia. "Ger, lebih kencang lagi," suruh Rajendra pada Geri agar menaikkan kecepatan."Baik, Pak," jawab Geri sambil memandang melalui spion tengah kemudian menekan pedal gas lebih dalam.Selama dalam perjalanan ke rumah sakit Livia terus merintih. Melihat ringisan di wajahnya membuat Rajendra tidak tahan. Andai
Kehamilan ketiga ini tidak mudah bagi Livia. Kondisinya lebih lemah dari dua kehamilan sebelumnya. Livia yang sering mual dan muntah-muntah otomatis membuat anak-anak bertanya apa yang terjadi pada ibu mereka."Bang Randu, tahu nggak kenapa Bunda muntah-muntah terus?" tanya Gadis pada Randu ketika mereka akan berangkat sekolah pagi itu.Livia yang muntah setiap pagi dan Rajendra yang selalu memijit tengkuknya adalah pemandangan yang sering dilihat anak-anak belakangan ini.Randu mengangkat bahunya tidak tahu. "Entahlah. Abang juga nggak tahu, Dis.""Apa mungkin Bunda lagi sakit?" Gadis terlihat khawatir."Kita tanya aja langsung yuk," ajak Randu.Kedua anak itu menunggu Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang saat mendengar suara muntahan dari arah dalam sana.Beberapa menit kemudian Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi."Ngapain pada kumpul di sini?" tanya Rajendra."Adis dengar Bunda muntah-muntah terus setiap pagi, Pa. Bunda sakit apa, Pa?" tanya Gad
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a