Livia menatap pantulan dirinya di kaca. Matanya merah dan sembap. Terlalu sulit untuk menutupinya. Orang-orang akan tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.Rajendra sudah pergi sejak satu jam yang lalu setelah meninggalkan kata-kata yang menyakiti perasaan Livia."Gugurkan anak itu atau aku akan membuat kamu lebih menderita."Livia kembali terisak mengingatnya. Ia tidak menyangka perkataan keji itu akan keluar dari mulut Rajendra. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin menggugurkan anak ini." Livia menggumam sendiri di tengah-tengah kesedihannya.Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana. Anugerah yang sudah bertahun-tahun dinantikannya.Tidak. Livia tidak akan membunuh anak itu."Bunda nggak akan sekejam itu, Sayang. Bunda akan selalu melindungi kamu. Kita berjuang sama-sama ya, Nak. Maafin Papa. Papa nggak jahat tapi dia hanya belum bisa menerima kenyataan." Livia mengelus perutnya begitu lama sambil mengajak bicara janin
Tubuh Livia mendadak tegang begitu ia mendengar perkataan Utary. Kata-kata itu begitu menusuk jauh sampai ke dalam relung hatinya.Mandul. Mandul. Mandul.Kata tersebut menggema di kepalanya. Diucapkan dengan santai tapi membuat sakit di hati Livia semakin dalam.Bukan hal yang baru Livia mendengar ada orang menghinanya dengan kata tersebut. Tapi mengingat saat ini dirinya sedang mengandung, Livia merasa tertantang untuk mengatakan pada orang-orang bahwa dirinya juga bisa hamil. Ia ingin membuktikannya.'Sabar, Liv, jangan sekarang. Akan ada waktunya.' Livia membatin sendiri menguatkan hatinya."Saya memang nggak sempurna tapi saya nggak butuh kehidupan yang sempurna seperti yang kamu bilang." Livia akhirnya membalas perkataan Utary tadi. "Dan mengenai Ryuga, dia memang orang yang baik. Tapi saya berhak atas hidup saya sendiri. Kalau menurut kamu hidup saya dengan Rajendra sangat buruk, mungkin iya. Tapi itu urusan saya. Saya akan memperjuangkan pernikahan ini sampai akhir. Bukan kare
Setelah menerima telepon dari Rajendra, Langit duduk di sofa apartemennya dengan dahi berkerut bingung. Ia tidak tahu kenapa Rajendra meneleponnya apalagi dengan marah-marah seperti tadi. Langit mengingat-ingat apa ada sesuatu hal baru-baru ini yang ia lakukan sehingga Rajendra tersinggung. Tapi rasanya tidak ada."Kenapa dia bisa semarah itu?" Langit bermonolog sendiri namun tetap tidak mendapat jawaban.Beberapa saat setelahnya terdengar ketukan pintu. Langit bangkit dari sofa lalu melangkah gontai menuju pintu. Setelah pintu terbuka ia menemukan Rajendra berdiri di hadapannya dengan wajah tegang dan mata menyala penuh emosi."Gue perlu bicara sama lo," ucap Rajendra sambil melangkah masuk sebelum Langit memberi izin."Ada apa, Ndra? Lo kenapa?" sikap Langit tetap tenang. Begitu kontras dengan Rajendra yang begitu terbakar emosi.Rajendra menatap tajam, bersiap meluncurkan serangan. "Lo pikir gua nggak tahu, hah?""Lo tahu apa?" Langit benar-benar kebingungan sekarang."Jangan pura-
Ryuga. Satu nama itu menjadi sasaran Rajendra berikutnya. Livia hanya dekat dengan Langit dan Ryuga. Maka karena Langit tidak mengaku, Ryuga tidak akan lagi bisa menghindar. Sayangnya Langit tidak tahu di mana alamat kantor lelaki itu. Jadi ia terpaksa mengulurkan niatnya untuk bertemu.Sementara itu di rumah Livia tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa walau keadaannya tidak baik-baik saja. Sedikit-sedikit mual. Sedikit-sedikit muntah. Ia ingin beristirahat namun masih banyak yang harus dilakukannya.Bunyi bel yang menggema memaksa Livia bergerak dari tempatnya. Perempuan itu melangkah terpincang-pincang untuk membukakan pintu. Ia sedikit terkejut melihat tamunya.Langit. Mengingat pertengkarannya tadi pagi tentang Rajendra yang menuduh Langit sebagai ayah biologis anaknya membuat Livia merasa tegang. Tapi untung saja Rajendra sudah berangkat ke kantor."Jadi aku nggak boleh masuk nih?" gurau Langit melihat Livia hanya membiarkannya berdiri di sisi pintu.Livia terkesiap lalu ter
Livia refleks terdiam mendengar perkataan suaminya yang sama sekali tidak pernah ia duga. Sorot matanya tampak begitu terluka. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh."Maaf, Ndra, saya nggak bisa," suara Livia begitu lirih. Lalu ia elus perutnya yang terlihat masih rata. "Anak ini nggak salah apa-apa. Kenapa harus digugurkan?"Rajendra berjalan menghampiri, memangkas jarak di antara mereka. Ditatapnya Livia dengan sorot penuh emosi. "Kamu pikir aku akan membiarkan anak yang bukan darah dagingku tinggal di rumah ini denganku?" "Ndra, saya nggak pernah minta kamu bertanggung jawab atas anak ini. Pernikahan kita adalah kesalahan saya. Tapi tolong jangan ingkari darah dagingmu sendiri. Jangan suruh saya menggugurkannya. Saya bisa pergi dari sini kalau itu yang kamu mau."Perkataan Livia membuat Rajendra tersentak. Arus emosi yang tidak ia pahami tiba-tiba muncul. Ia tidak ingin Livia pergi, tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya."Pergi kamu
Utary langsung menelepon Rajendra agar Rajendra semakin cepat mengusir Livia. Dengan tangan memegang pipi yang masih memerah ia menghubungi Rajendra dan memastikan suaranya terdengar pilu."Ndraaa, aku ditampar Livia," adunya penuh drama. Suaranya dibuat sedang menahan tangis.Rajendra yang saat ini berada di kantornya mengernyitkan dahi. "Kamu bilang apa, Tar? Livia menamparmu?"Utary memainkan perannya dengan sempurna. Wanita itu terisak di telepon. "Aku nggak tahu apa salahku. Awalnya aku cuma nanya tentang dia yang berubah akhir-akhir ini. Masalahnya dia kelihatan beda. Tapi dia malah emosi. Dia bilang aku nggak berhak bicara mengenai dia dan anak itu. Padahal aku nanyanya baik-baik.""Anak itu? Anak itu siapa maksudnya?" Rajendra terkesan bingung."Aku sudah tahu semuanya, Ndra. Aku tahu dia hamil. Dia bilang dia hamil anak kamu, padahal kita sama-sama tahu bahwa itu nggak akan mungkin. Aku cuma mau mengingatkan dia dan mau bantu kamu, Ndra, agar dia nggak menggunakan kehamilanny
Malam ini Livia sedang duduk di beranda samping rumah sendirian. Tangannya mengelus perut yang tertutup baju longgar berwarna coklat. Pikirannya menerawang ke mana-mana. Terutama pada perdebatan dengan Rajendra sore tadi. Kata-kata lelaki itu begitu melekat di benaknya dan menohok dengan sangat tajam di hatinya.'Aku bisa saja mengusirmu, tapi sayangnya rumah ini masih butuh pembantu. Randu juga butuh pengasuh'.Serendah itukah dia di mata suaminya sendiri?Livia menelan saliva, menahan perasaan yang terlalu menyakitkan. Tangannya turun meremas baju di bagian perutnya, berusaha meredam amarah yang bergejolak. Namun sesaat kemudian perasaannya sedikit lebih baik mengingat di dalam perutnya ada janin yang sedang tumbuh."Maafin Bunda, Sayang. Bunda terlalu lemah." Ia bergumam pelan. Perlahan air mata menetes membasahi pipinya namun tidak lama lantaran Livia buru-buru menghapusnya.Sambil terus mengelus-elus perutnya Livia menggumam sendiri. "Aku nggak akan kalah. Aku nggak akan membiark
Livia mencoba keras untuk menguatkan diri. Ditatapnya Lola dengan mata yang berusaha tenang. Namun bibirnya sulit untuk tidak gemetar.Belum Livia menjawab, terdengar langkah kaki mendekat dari ruang makan. Utary muncul dengan raut penuh percaya diri."Malam, Om, Tante, saya Utary," ia mengenalkan diri dengan nada ramah namun penuh kepalsuan. "Rajendra mengajak saya tinggal di sini. Maaf kalau suara saya tadi mengganggu."Dahi Lola berkerut dalam. Dipandanginya Utary dari ujung kepala hingga bawah kaki. "Rajendra mengajak kamu tinggal di sini? Untuk apa?"Tiba-tiba Rajendra muncul dari belakang Utary dan langsung menjelaskan. "Utary sedang ada masalah pribadi, Tante. Dan sebagai seorang teman aku hanya ingin membantu."Mendengar keterangan dari anak tirinya Lola memandang ke arah Rajendra dengan tajam. "Kamu udah gila apa gimana, Ndra? Kamu pikir pantas membawa wanita lain tinggal di rumah ini sementara istrimu ada di sini?"Rajendra akan menjawab pertanyaan tersebut namun gerakannya
Rajendra membeku di tempatnya. Sedangkan tangan dokter masih terulur di udara untuk memberi selamat padanya.Erwin menyikut tangan Rajendra. "Ndra, dokter ngasih selamat tuh."Barulah Rajendra menyambut tangan dokter."Terima kasih, Dok, tapi bagaimana bisa istri saya hamil, Dok?"Dokter tersenyum geli mendengar pertanyaan Rajendra yang terdengar tidak masuk akal. "Tentu saja karena hubungan suami istri, Pak Rajendra".Rajendra masih tampak syok sementara Erwin justru terkekeh. "Masa kamu lupa cara kerja kehamilan?" godanya."Bukan begitu, Pi." Rajendra menghela napas panjang, berusaha memahami situasi ini dengan kondisi Livia sekarang dengan amnesianya. Dokter kemudian menerangkan. "Kehamilan ini mungkin terjadi sebelum ingatannya terganggu, Pak. Dan saya pikir itu juga bisa menjadi faktor tambahan kenapa dia mengalami stres dan pingsan. Perubahan hormon di awal kehamilan seringkali membuat kondisi emosional ibu menjadi lebih sensitif.Rajendra menatap Livia yang masih terbaring di
Rajendra bergegas menghampiri livia. Tubuhnya gemetar saat ia mengguncang bahu istrinya yang terkulai di lantai. Keringat dingin membasahi dahi Livia, tapi napasnya masih ada meskipun lemah."Liv, bangun! Livia, bangun!" suara Rajendra terdengar panik.Erwin yang mendengar teriakan putranya segera masuk ke kamar. Begitu melihat menantunya tergeletak ia ikut cemas."Livia kenapa, Ndra? Kenapa bisa begini?" Erwin jauh lebih khawatir."Aku nggak tahu, Pi. Tadi dia baik-baik aja. Aku ke toilet sebentar pas balik dia udah jatuh gini."Erwin berlutut di samping Livia. "Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang, Ndra."Tanpa berpikir panjang Rajendra mengangkat tubuh Livia ke dalam gendongannya.Di dalam mobil yang melaju kencang menuju Rumah Sakit Rajendra menggenggam tangan Livia erat-erat. Jari-jemarinya dingin, napasnya lemah dan wajahnya pucat, membuat Rajendra tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya."Bertahanlah, Liv," suaranya bergetar. "Jangan tinggalkan aku, Liv." Ia menatap wa
Rajendra meneguk salivanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Mungkin kamu cuma berhalusinasi, Liv. Bisa saja itu bayangan dari cerita yang pernah kamu dengar."Livia mengerutkan dahi, matanya meneliti ekspresi Rajendra. Livia yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Ia yakin betul yang ia lihat itu benar-benar ada, hanya saja ia tidak tahu siapa orangnya. "Jadi nggak ada siapa pun di rumah ini yang pincang?" suaranya lebih pelan dan penuh selidik."Nggak ada," dengan cepat Rajendra menggeleng.Namun Livia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya. Bayangan itu terasa nyata.Erwin yang dari tadi diam tiba-tiba berdeham pelan. "Ayo kita naik dulu, Liv. mungkin kalau kamu melihat kamarmu akan ada lebih banyak lagi hal yang bisa kamu ingat."Livia mengangguk meskipun pikirannya masih berkutat pada sosok pincang yang muncul dalam kepalanya.Mereka menaiki tangga. Langkah Livia terasa lebih berat dari sebelumnya. Ada perasaan asing namun juga familier saat tangannya menyentuh pegangan ka
Rajendra menggenggam setir dengan erat, ia mencoba mengatur napasnya. Livia menatapnya penuh tanda tanya, tentu saja tidak menyadari betapa dalam luka yang ia sentuh dengan pertanyaannya barusan."Kita pernah tinggal di beberapa tempat." Akhirnya Rajendra menjawab, terdengar begitu hati-hati. "Awalnya di rumah orang tuaku terus kita pindah ke rumah sendiri, tapi ada sesuatu yang terjadi dan kita harus kembali ke rumah Papi."Dahi Livia berkerut. "Sesuatu yang terjadi?" ulangnya. Matanya tidak lepas dari Rajendra.Rajendra menghela napas di dalam diam. Ia tahu cepat atau lambat Livia akan bertanya, namun ia tidak siap untuk mengenang kembali semua peristiwa pahit itu."Rumah kita dulu terbakar," jawab Rajendra lirih Livia sontak terkejut. "Gimana bisa?""Karena korsleting listrik. Setelah itu kita nggak punya pilihan selain pindah ke rumah Papi untuk sementara waktu. Tapi akhirnya kita bisa punya rumah baru lagi."Livia terdiam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi ia juga bisa me
Pagi itu Rajendra turun lebih awal ke dapur. Sebelum keduluan Tasia ia ingin membuat kopinya sendiri. Saat ia membuka lemari untuk mengambil cangkir, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan cangkir ke arahnya."Ini, Pak," kata Tasia dengan suara yang terdengar lembut.Rajendra menoleh dan menemukan Tasia berdiri sangat dekat dengannya."Kamu sudah bangun?" tanyanya sedikit terkejut.Tasia tersenyum kecil. "Saya memang selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Bapak tahu kan saya suka memastikan semuanya berjalan lancar di rumah ini? Apalagi Ibu Livia lagi sakit."Rajendra menerima cangkir dari Tasia dan mengucapkan terima kasih.Ketika ia hendak menuangkan kopi Tasia dengan sengaja menyentuh tangannya. "Oh maaf," kata Tasia dengan tawa kecil. "Saya terlalu dekat ya?"Rajendra mundur sedikit tapi Tasia tetap berdiri di tempatnya."Saya senang melihat Bapak mulai rileks. Saya harap Bapak tahu kalau saya selalu ada kalau Bapak butuh seseorang untuk berbicara," katanya dengan nada l
Malam itu setelah meminum obat, Livia keluar dari kamar. Anak-anak sedang mengerjakan PR dengan Tasia, sedangkan Rajendra entah ke mana.Livia berjalan dan bermaksud duduk di beranda. Setelah pintu ia buka ternyata ia melihat Rajendra sedang duduk sendiri. Livia bermaksud kembali ke dalam rumah tapi Rajendra sudah terlanjur melihatnya."Sayang!" kata pria itu. "Mau ke mana?"Livia menghentikan langkahnya sejenak. Ia Ragu harus melangkah ke dalam atau tetap bertahan di tempat. Tapi ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang terasa akrab dan hangat."Aku hanya ingin duduk sebentar di luar," jawab Livia pelan menghindari tetapan suaminya.Rajendra menggeser duduk. Ia memberi ruang di sebelahnya. "Duduk di sini Liv."Livia merasa ragu tapi kakinya justru melangkah mendekat. Hanya saja ia duduk di kursi yang lain, menjaga jarak dari Rajendra.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang berembus lembut dan desiran dedaunan yang bergerak pelan. "Sudah mera
Tasia jelas saja terkejut mendapat serangan dari Rajendra. "Maaf, Pak, saya tidak tahu kalau itu rahasia. Saya mengatakannya pada ibu Livia hanya agar ingatannya cepat kembali. Saya nggak ada maksud apa-apa."Rajendra menggelengkan kepalanya. Ia terlalu kecewa pada sikap Tasia. "Selama ini saya percaya sama kamu," lanjutnya dengan suara dingin. "Saya menganggap kamu sebagai orang yang bisa saya andalkan. Tapi ternyata kamu lebih memilih jadi pengadu domba."Tasia langsung melihatkan wajah sedih seolah perkataan Rajendra benar-benar menyakitinya. "Pak, saya hanya ingin membantu.""Membantu apa?" potong Rajendra sebelum perempuan itu melanjutkan kalimatnya. "Yang kamu lakukan justru menimbulkan kekacauan.""Tapi Bu Livia berhak tahu kenyataannya, Pak.""Itu bukan hak kamu buat kasih tahu dia!" bentak Rajendra. Emosinya benar-benar memuncak. "Apa kamu pikir saya nggak akan pernah bilang apa pun? Apa kamu pikir saya akan menyembunyikan hal itu selamanya? Lagian itu bukan urusan kamu. Tuga
Rajendra terkekeh pelan meski ada sedikit rasa sakit menusuk jiwa. "Red flag?" ulangnya."Iya, naluriku yang bilang begitu," jawab Livia.Rajendra teguk salivanya. Kalau naluri Livia saja sudah mengatakan bahwa ia adalah cowok red flag, berarti dulu Livia memang pernah terluka karena dirinya kan?"Aku nggak seburuk itu, Liv," kata Rajendra akhirnya. "Kalau aku memang red flag, kenapa kamu cinta sama aku?"Livia mengerutkan dahi. Ia ingin membantah tapi satu pun ingatan tentang perasaan terhadap Rajendra tak pernah bisa ia temukan. Itu yang membuatnya semakin ragu. "Apa aku benar-benar jatuh cinta sama kamu?" pandangnya tajam."Iya," jawab Rajendra mantap. "Kamu mencintaiku, Livia. Sama seperti aku mencintaimu."Livia membisu begitu lama. Sorot matanya tajam, seolah mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata Rajendra."Kalau aku memang cinta sama kamu kenapa aku nggak bisa mengingat apa pun?" tanyanya pelan.Rajendra menelan ludah lalu menggenggam lembut tangan Livia. "Nggak apa-apa
Livia sudah bangun sejak tadi pagi. Tapi sampai detik ini ia masih berada di dalam kamar. Berbaring sambil bermenung sendiri. Sisa-sisa kesedihan masih berjejak di hatinya. Perasaan kecewa karena merasa dibohongi belum sepenuhnya pergi.Saat Livia sedang asyik merenung pintu kamarnya diketuk."Bunda! Bunda udah bangun?" Itu suara Gadis.Livia mengesah pelan."Nda, Adis boleh masuk nggak?"Livia menoleh ke arah pintu lalu dengan berat hati terpaksa mengatakan. "Masuk aja."Perlahan-lahan pintu terbuka, memperlihatkan seorang anak kecil yang sudah siap dengan seragam merah putihnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai bebas. Sebuah bandana berwarna pink lembut menghiasi kepalanya. Membuatnya tampak begitu manis dan menggemaskan.Dengan langkah kecilnya Gadis mendekati tempat tidur Livia lalu bicara pada perempuan yang masih berbaring itu. "Bunda, kenapa masih tiduran? Bunda sakit ya?" tanyanya sembari meraba kening Livia."Bunda cuma mau istirahat," lidah Livia kelu saat mengucapk