Setelah dua hari berada di Singapura, Rajendra pulang ke Indonesia dengan membawa berbagai perasaan.Pengkhianatan Utary serta fakta yang ditemuinya mengenai perempuan itu membuat penyesalannya pada Livia menjadi semakin dalamSetelah tiba di bandara Geri sudah menunggu. Rajendra menyuruh menjemputnya. Sedangkan Tasia pulang naik taksi."Ke rumah Papi," kata Rajendra setelah mereka meninggalkan area bandara."Baik, Pak," jawab Geri.Rajendra bukan ingin bertemu dengan Erwin ataupun Lola. Ia hanya rindu pada Randu. Setelah fakta mengejutkan yang membuatnya syok ia menjadi sangat kasihan pada anak itu. Ia tidak akan pernah mengizinkan Randu hidup dengan perempuan seperti Utary."Pak, selama Bapak pergi saya sudah coba mencari ibu Livia," lapor Geri dari balik kemudi."Nggak usah dicari dulu. Biarin aja."Jawaban Rajendra membuat Geri mengerutkan keningnya. Biasanya Rajendralah yang paling antusias tapi kali ini tampak tidak bersemangat."Kenapa begitu, Pak?" tanya Geri penasaran."Saya
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Setelah dua hari berada di Singapura, Rajendra pulang ke Indonesia dengan membawa berbagai perasaan.Pengkhianatan Utary serta fakta yang ditemuinya mengenai perempuan itu membuat penyesalannya pada Livia menjadi semakin dalamSetelah tiba di bandara Geri sudah menunggu. Rajendra menyuruh menjemputnya. Sedangkan Tasia pulang naik taksi."Ke rumah Papi," kata Rajendra setelah mereka meninggalkan area bandara."Baik, Pak," jawab Geri.Rajendra bukan ingin bertemu dengan Erwin ataupun Lola. Ia hanya rindu pada Randu. Setelah fakta mengejutkan yang membuatnya syok ia menjadi sangat kasihan pada anak itu. Ia tidak akan pernah mengizinkan Randu hidup dengan perempuan seperti Utary."Pak, selama Bapak pergi saya sudah coba mencari ibu Livia," lapor Geri dari balik kemudi."Nggak usah dicari dulu. Biarin aja."Jawaban Rajendra membuat Geri mengerutkan keningnya. Biasanya Rajendralah yang paling antusias tapi kali ini tampak tidak bersemangat."Kenapa begitu, Pak?" tanya Geri penasaran."Saya
Utary terduduk di lantai memegangi pergelangan kakinya yang terasa nyeri. Matanya mencari Indra, tetapi lelaki itu sudah menghilang di antara keramaian.Air mata yang sejak tadi ditahannya agar tidak tumpah akhirnya meleleh juga, bercampur dengan perasaan malu dan frustrasi.Rajendra masih berdiri di dekat Utary, menyaksikan pemandangan tersebut dengan ekspresi tanpa belas kasih. Tangannya bersedekap di dada, matanya menatap dingin ke arah wanita yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya."Kenapa masih duduk di sana? Udah nggak sanggup berdiri?" ujar Rajendra mengejek.Utary mendongak dan menatap Rajendra dengan matanya yang basah. "Kamu nggak bakal ngerti perasaanku, Ndra."Rajendra tertawa mendengarnya. Sebuah kekehan yang lebih menyerupai cemoohan. "Gue nggak ngerti lo bilang? Ya emang gue nggak ngerti. Sekarang bilang ke gue siapa bapaknya Randu? Gue perlu tahu."Utary menggeleng pelan. Air matanya mengucur semakin kencang. "Aku nggak tahu, Ndra," lirihnya nyaris tak terdengar.Dah
Di dalam butik tersebut Rajendra menemukan Utary sedang mencoba sebuah kalung berlian mahal. Di samping perempuan itu Indra berdiri memuji kecantikan Utary."Kalungnya cantik banget, Tar.""Jadi cuma kalungnya doang nih yang cantik?" Utary pura-pura merajuk sambil menatap Indra dengan manja.Indra tertawa. "Dua-duanya dong. Ya kalungnya, ya orangnya. Tapi kalungnya jauh lebih cantik kalau kamu yang pakai. Kalau orang lain yang pakai belum tentu akan secantik ini."Utary tersipu-sipu mendengar pujian yang dilayangkan Indra padanya. "Pasti harganya mahal," ucapnya sambil menyentuh kalung itu dengan jemarinya.Rajendra yang sudah tidak tahan lagi menahan emosi, menampakkan dirinya di depan kedua manusia itu."Kalung itu memang mahal, bahkan sangat mahal. Tapi harga diri lo ternyata jauh lebih murah dari yang gue pikir."Utary dan Indra sama terkejutnya. Wajah Utary memucat ketika melihat Rajendra berdiri di depan mereka dengan tatapan tajam."Ra ... jendra ..." Utary tergagap. "Eh, lo d
Sepeninggal Livia Rajendra termenung. Walaupun belum bisa menaklukkan Livia tapi ia senang melihat perempuan itu melunak karena janji pengobatannya tadi. Rajendra tidak main-main dengan ucapannya. Kalau Livia setuju ia akan langsung membawa perempuan itu berobat.Selanjutnya pikiran Rajendra tertuju pada perdebatan dengan Livia di ruang tunggu poli anak, mengenai nafkah. Rajendra baru sadar ia tidak memberikan sepeser uang pun pada Livia untuk biaya hidupnya dan Gadis.'Wanita menyukai uang. Dia pasti takluk kalau aku kasih uang,' bisiknya di dalam hati. Tanpa berpikir panjang Rajendra membuka aplikasi M-banking di ponselnya. Ia mengetikkan sejumlah angka dengan nominal yang besar. Dalam sekejap mata uang sebesar seratus juta rupiah berpindah dari rekeningnya ke rekening Livia.Tanpa sadar bibir Rajendra menyimpul senyum. Setelah Livia kembali dari toilet nanti ia akan mengatakannya. Ia yakin Livia akan melunak dan jalannya untuk kembali pada perempuan itu akan terbuka lebar.Tapi n
Livia susah payah menahan geram di saat melihat Rajendra masih berdiri di dekat pintu seperti seorang bodyguard.Livia sadar, semakin lama ia berada di sana semakin besar kemungkinan Rajendra mengejarnya.Menarik napas panjang, Livia memikirkan cara agar bisa pergi tanpa Rajendra yang terus membuntutinya.Sayangnya kondisi fisik Livia tidak mengizinkannya untuk berlari. Ia hanya bisa berjalan ke dalam lift. Dan seperti yang ia duga Rajendra mengikutinya."Tunggu aku, Livia!" panggil Rajendra. Tapi Livia tidak merespon. Ia terus berjalan dengan langkah tertatih.Livia menekan tombol lift dan menanti pintu terbuka. Ketika lift tiba ia masuk dengan cepat. Seperti yang bisa ditebak Rajendra juga ikut masuk. Livia menghentikannya."Jangan ikuti saya, Ndra. Saya ingin sendiri.""Aku hanya ingin memastikan kalian aman," balas Rajendra."Saya dan Gadis aman. Kamulah yang membuat kami jadi nggak nyaman. Jadi pergilah."Dengan perlahan pintu lift tertutup. Dan Rajendra tetap berada di dalam. Be
Livia duduk di ruang tunggu poli anak Alva Hospital dengan Gadis di dalam dekapannya. Wajah Livia terlihat tegang, pikirannya juga terusik. Sejak tadi beberapa kali ia merasa seperti sedang diawasi, namun tidak menemukan siapa pun yang mencurigakan. Diusapnya kepala Gadis yang tertidur pulas. Anak itu tampak begitu damai. Ia tidak tahu pada kekacauan yang terjadi di sekitarnya. "Livia!" Dengan refleks Livia menoleh. Di detik itu jantungnya seperti hampir terlepas dari rongganya ketika menyaksikan Rajendra berdiri di ambang ruang tunggu. Kedua mata lelaki itu menatapnya dengan lekat. Lalu dengan mantap langkahnya mendekat. "Rajendra ...," suara Livia begitu lirih dan hampir tidak terdengar. "Gimana kamu bisa--" "Ya aku tahu kamu ada di sini," sela Rajendra memutus perkataan Livia lalu duduk di sebelahnya. "Aku cuma mau kita bicara baik-baik. Aku nggak akan macam-macam," ucapnya dengan wajah terpaku di wajah Livia. Livia mendekap Gadis dengan lebih erat. Tubuhnya terasa kak
Sepuluh menit setelah Rajendra pergi, Langit langsung menelepon Livia. Ia ingin memastikan keadaannya saat ini. "Halo, Lang." Suara lembut Livia menyambut panggilan Langit. "Halo, Liv," balas Langit. Suaranya lebih serius dari biasa. "Rajendra baru aja ke sini. Dia nyari kamu kayak orang gila." "Maafin saya, Lang. Tapi Rajendra nggak apa-apain kamu kan? Dia nggak mukul dan segala macam kan?" suara Livia terdengar khawatir lantaran ia tahu betapa bencinya Rajendra pada Langit. Dan itu adalah karena dirinya. "Kamu tenang aja, Liv. Dia cuma ngomel-ngomel nggak jelas. Nggak ada kekerasan fisik." Langit sedikit berbohong agar Livia tidak khawatir. "Syukurlah." Livia terdengar lega. "Gadis mana?" "Dia sudah tidur." "Aman kan di sana?" "Sejauh ini aman. Makasih ya udah bantuin saya pindahan." "Kamu makasih melulu, Liv. Kalau dihitung-hitung makasih kamu tuh udah nggak terhitung." Livia tertawa. Tadi siang ketika Langit sudah di kantornya ia menelepon lelaki itu, meng
Rajendra menyetir mobilnya dengan kencang. Emosinya meluap-luap. Tujuannya adalah apartemen Langit. Ia tidak yakin Livia ada di sana karena Langit pasti menyembunyikannya. Tapi ia akan memaksa Langit untuk bicara. Malam ini juga ia harus tahu keberadaan Livia dan putrinya.Sesampainya di area apartemen Langit, Rajendra memarkir mobilnya dengan kasar. Dengan langkah lebar ia menuju lift. Tangannya Terkepal erat, siap melampiaskan emosinya.Setelah pintu lift terbuka, Rajendra keluar dengan napas berat. Tepat ketika kakinya berhenti di depan unit Langit, ia langsung mengetuk pintu dengan keras. "Buka pintunya, Lang!" suruhnya dengan nada menggelegar.Tidak adanya jawaban dari dalam sana membuat Rajendra terus mengetuk bahkan menggedor, hingga para tetangga sekitar mulai mengintip.Lama kelamaan pintu pun terbuka. Memunculkan Langit yang menghadapinya dengan wajah tenang. Sesuai dengan penampilannya yang santai. Lelaki itu mengenakan kaus oblong dan celana pendek."Oh, lo, Ndra. Ngapa
Livia terbangun lebih cepat dari biasanya. Bisa dibilang ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Ancaman dari Rajendra membuatnya tidak tenang walau ia sudah mencoba berbagai cara menenangkan diri.Sambil mendorong stroller Gadis yang masih mengantuk, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Langit sudah lebih dulu ada di sana. Ia sedang menyeduh kopi."Pagi, Liv. Tidur kamu nyenyak?"Livia menjawab dengan gelengan kepala. "Saya hampir nggak bisa tidur. Saya nggak bisa berhenti memikirkan ancaman Rajendra."Langit berhenti menyeduh kopinya. Ditatapnya Livia dengan serius. "Aku akan pergi dari sini untuk sementara. Jadi kamu aman. Nggak apa-apa kan kalau kamu cuma berdua dengan Gadis?""Nggak apa-apa, Lang. Gadis masih bayi. Saya masih bisa mengatasinya. Kecuali kalau dia sudah pandai merangkak mungkin saya agak kesulitan," jawab Livia. Livia juga tidak ingin menahan Langit agar bersamanya. Meski sejujurnya langit memberi banyak bantuan dan membuatnya merasa aman dari orang-orang