Langit mencoba memikirkan hal lain guna mengalihkan pikirannya dari wajah Gadis yang mengingatkannya pada Rajendra. Sulit untuk dipungkiri bahwa Gadis memang memiliki kemiripan dengan ayah kandungnya. Namun bagi Langit, Gadis adalah wujud kecil dari Livia. Seseorang yang ia sayangi lebih dari siapa pun.Livia sedang menunggu di lobi ketika Langit tiba. Begitu ia melihat Langit ia tersenyum kecil dan melambaikan tangannya.Langit keluar dari bangku pengemudi untuk membantu Livia masuk ke mobil."Gimana terapinya, Liv?" Ia bertanya sambil membukakan pintu untuk Livia."Lumayan berat sih. Tapi nggak apa-apa demi kesembuhan saya."Masuk ke mobil, Livia melihat Gadis yang tertidur di pangkuan Dewi. Ia menundukkan kepalanya untuk mengecup dahi Gadis."Biar sama saya saja, Mbak," pinta Livia agar Dewi memberikan Gadis padanya.Dewi memindahkan Gadis ke pangkuan Livia yang duduk di belakang dengan hati-hati.Begitu berada di tangannya Livia mendekapnya erat dan menciumi Gadis dengan bertubi-t
Rajendra menggulir daftar kontak di ponselnya. Ada beberapa orang bernama Indra di sana. Tapi jarinya berhenti pada nama 'Indra roommate'. Dari dulu Rajendra tidak pernah mengganti nama itu walau sudah tahunan berlalu dan Indra bukan roommate-nya lagi. Walau kini hubungan mereka sudah berubah. Setelah memantapkan hatinya Indra men-dial nomor Indra. Cukup lama ia menanti barulah panggilannya bersambut. "Halo," sapa suara berat di seberang sana. Rajendra hafal itu suara siapa. "Ini gue, Rajendra." "Hei, Ndra, tumben telepon gue. Kangen ya?" sikap Indra begitu hangat seolah tidak terjadi apa-apa. Seakan kejadian di Singapura tidak pernah terjadi. Rajendra mengabaikan gurauan garing itu. "Gue butuh ketemu lo sekarang. Ada hal penting yang harus gue bicarain." "Harus banget nih ketemuan? Nggak bisa lewat telepon aja? Gue lagi di Melbourne. Kalo lo nyari Utary dia udah nggak sama gue." Rajendra terdiam sesaat. Di mana lagi jalang itu? Siapa lagi yang jadi korbannya? "Gue
Livia terus melanjutkan fisioterapinya tiga kali dalam seminggu. Setiap Senin, Rabu, atau Jumat Gadis akan berada bersama Dewi di bawah pengawasan Langit sampai Livia selesai fisioterapi.Gerak-gerik Livia itu tidak lepas dari pengawasan Geri. Ia pun melaporkannya pada Rajendra."Pak, ternyata Ibu Livia tiga kali seminggu ke rumah sakit untuk fisioterapi kakinya. Makanya setiap Senin, Rabu, dan Jumat Gadis dititipkan pada Bapak Langit," kata Geri hari itu.Rajendra mendengus menahan emosi dan sakit hati. Kala itu ia menawarkan untuk berobat ke Amerika tapi Livia malah kabur darinya. Sekarang perempuan itu susah payah ke rumah sakit dan menitipkan Gadis ke orang lain. Padahal kalau Livia mau, ia bisa menitipkannya di rumah Lola. Orang tuanya itu pasti setuju dan senang bersama cucu mereka.'Dia lebih percaya pada orang lain daripada sama gue, bapak anaknya sendiri,' batin Rajendra getir."Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?" tanya Geri mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendr
Rajendra berhasil membawa Gadis ke dalam taksi yang sudah ia pesan. Ia sengaja memesan taksi, bukan membawa dengan mobilnya sendiri lantaran tidak ada kursi bayi di mobilnya. Sedangkan Gadis masih berusia tiga bulan. Anak itu belum bisa duduk."Akhirnya Papa bisa gendong kamu juga, Nak. Papa juga bisa peluk dan cium kamu." Rajendra mendekap Gadis erat dan menciuminya bertubi-tubi dengan penuh kasih sayang. Sudut-sudut matanya menghangat. Hatinya mengharu biru karena akhirnya memiliki kesempatan menyentuh putrinya yang sejak lahir tidak bisa ia akses sedikit pun."Papa bahagia, Nak. Papa sangat bahagia. Papa nggak mau lagi pisah sama kamu. Tapi kalau Bunda tahu dia pasti akan marah besar sama Papa."Gadis anak yang baik. Ia tidak rewel sama sekali. Seolah tahu bahwa saat ini ia sedang bersama orang yang tepat, ayahnya sendiri.Rajendra menghela napas dalam-dalam. Gadis yang berada di dalam pelukannya kini telah tertidur.Rajendra tidak bisa menyembunyikan senyumnya meskipun di dalam ha
Sudah sejak tadi Langit berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Jantungnya bertalu-talu. Ia tidak bisa tenang memikirkan peristiwa yang terjadi saat ini. Ia tahu, memberitahu Livia tentang Gadis yang dibawa Rajendra akan menjadi momen yang sangat sulit. Livia sudah cukup mengkhawatirkan banyak hal, terutama soal Gadis. Tapi Langit juga tidak mungkin menyembunyikannya. Livia harus tahu secepatnya mengenai putrinya yang dibawa kabur.'Kalau aku jujur Livia dipastikan langsung panik. Tapi kalau aku nggak kasih tahu sekarang, situasinya akan semakin parah,' pikirnya di dalam hati.Lelah mondar-mandir, Langit duduk di kursinya sambil menatap ponsel di tangan. Ia membuka nomor Livia. Jari jemarinya terasa kaku. Ia ragu menekan tombol panggil. Tapi mau tidak mau Livia harus tahu.Langit berlatih merangkai kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan pada Livia.'Liv, aku punya kabar buruk.'Nggak, nggak, itu terlalu frontal. Langit membuang kata-kata itu dari otaknya.Ia merangkai kata kedua."L
Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku setelah bertelepon dengan Livia. Wajahnya tampak muram. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. Ia harus segera melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu salah langkah sedikit saja bisa membuat situasi ini semakin runyam.Langit mencoba menghubungi Rajendra sampai beberapa kali, namun panggilan darinya tidak dijawab. Ia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Langit keluar dari kantornya. Ia akan menjemput Livia sekarang. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Langit menghubungi beberapa orang di daftar kontaknya yang mungkin mengetahui keberadaan Rajendra. Tapi tidak ada yang tahu di mana Rajendra sekarang atau baru saja berhubungan dengan Rajendra.Livia sedang menunggu di lobi ketika ketika Langit tiba di sana. Wajahnya tampak pucat, matanya sembab akibat kebanyakan menangis memikirkan Gadis. Dengan terpincang dan tertatih ia melangkah menuju mobil Langit."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit setelah Livia duduk di mobil.Livia menjawab dengan an
Taksi yang ditumpangi Rajendra berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Setelah urusannya dengan supir taksi selesai Rajendra membawa Gadis turun dengan hati-hati."Selamat datang di rumah Oma dan Opa, Sayang. Gadis nggak sendiri di sini. Nanti main sama Bang Randu ya, Nak," kata Rajendra sembari mengecup pipi anak berumur tiga bulan itu dengan penuh kasih sayang.Dengan sebelah tangannya Rajendra membunyikan bel. Hanya tiga kali pencet pintu terbuka, memperlihatkan wajah Lola. Wanita separuh baya itu terkejut melihat Rajendra datang bersama bayi di gendongannya."Siang, Oma cantik. Kenalin Ini Gadis," kata Rajendra pada ibu tirinya itu."Gadis? Astaga? Gimana mungkin dia bisa sama kamu, Ndra?" Lola masih belum bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Apa yang salah, Tante? Aku kan papanya," jawab Rajendra santai lalu masuk ke dalam rumah."Iya, tapi kan kamu ..." Lola menggantung kalimatnya, mencerna apa yang sedang terjadi.Rajendra tertawa. "Jadi Oma nggak mau gendong Gadis nih?"
Setelah tertegun sekian detik lamanya Rajendra memutuskan untuk menjawab telepon dari Livia. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan ia juga bisa menebak apa yang akan dikatakan istrinya itu. Rajendra menghela napasnya lalu menggeser layar ponselnya guna menjawab panggilan dari Livia. Suara napasnya terdengar berat, menandakan bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan mudah. "Iya, Liv," sapanya pelan. Di ujung telepon suara Livia terdengar bergetar. Kemarahan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. "Kamu di mana, Rajendra? Di mana anak saya? Apa yang ada di pikiranmu dengan membawanya pergi seperti itu?" teriak Livia histeris. "Dia juga anakku, Livia. Aku berhak menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada orang lain yang ikut campur." "Dia bukan anakmu. Dia anak saya. Dan nggak ada orang lain yang ikut campur di sini," sangkal Livia keras. "Kamu nggak punya hak untuk membawanya pergi tanpa izin dari saya. Ini namanya penculikan!" "Aku nggak menculik gadis. Aku hanya
Suasana kamar terasa semakin tegang setelah percakapan terakhir tadi. Rajendra tidak habis pikir melihat perubahan sikap Livia yang dulu penuh kasih sayang terhadap Randu, kini menjadi dingin dan terasa jauh.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi mereka bergantian dengan tatapan polos. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Namun suasana tegang itu membuatnya memeluk Rajendra lebih erat.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi Livia dan sang papa bergantian dengan mata polos. Ia tidak memahami konflik yang terjadi, tetapi suasana dingin itu membuatnya meringkuk lebih erat di dada Rajendra.Tiba-tiba Gadis menangis dan menggeliat dalam gendongan Livia. Sebagai seorang ibu Livia tahu bahwa Gadis ingin menyusu."Tolong keluar sebentar, saya ingin menyusui Gadis," ujar Livia pada Rajendra."Kamu bisa tetap menyusuinya walau aku ada di sini, Liv. Jangan lupa, aku tetap suami kamu," jawab Rajendra.Livia mendengkus. "Tapi saya merasa nggak nyaman kalau ad
Rajendra membungkukkan badan, meraup Randu ke dalam gendongannya. Begitu berada dalam kuasa tangannya, Rajendra menghujani anak itu dengan ciumannya bertubi-tubi."Jagoan Papa udah makan belum nih?" tanyanya setelah puas mencium Randu.Randu menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa belum?""Ma Pa... pa ...""Oh, jadi mau makan sama Papa. Oke deh. Nanti makannya berdua sama Papa ya."Betapa akrabnya mereka. Persis seperti anak dan ayah kandung, pikir Livia. Jadi bagaimana mungkin keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa?"Eh, Randu masih ingat nggak ini siapa?" Rajendra mengarahkan tatapan Randu pada Livia.Randu menatap Livia lekat. Ia merasa pernah bertemu dengan Livia. Tapi entah kapan. Ia tidak ingat."Ini namanya Bunda Livia. Bunda ini mamanya Randu."Livia langsung melebarkan mata ke arah Rajendra yang asal bicara. Tapi Rajendra hanya tersenyum."Ayo gendong sama Bunda." Rajendra menyerahkan Randu ke tangan Livia hingga ia tidak bisa menolak. Ia terpaksa menggendong Randu. Anak d
Dengan sigap Rajendra membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Livia begitu mereka tiba di dekat mobil. Namun Livia malah membuka pintu penumpang bagian belakang."Kenapa di sana?" tegur Rajendra."Saya harap kamu nggak lupa, dulu kamu alergi dekat-dekat duduk sama saya," jawab Livia dingin.Rajendra refleks membisu mendengar jawaban Livia. Kata demi kata yang terlontar dari mulut perempuan itu menghantamnya bagaikan tamparan keras di wajah. Ia tahu apa yang dikatakan Livia tidak salah, dan ia juga tidak bisa membantahnya."Liv, aku tahu aku salah, tapi itu dulu."Livia tidak merespon. Ia masuk ke kursi belakang, lalu menutup pintu dengan keras. Selanjutnya ia mengarahkan pandangan ke luar jendela tanpa sedikit pun mau memandang Rajendra.Rajendra mengalah. Ia berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang keluar dari mulut Livia. Rajendra yang menyetir sesekali melirik melalui kaca spion, berharap menemukan tanda bahwa Livia akan
Setelah teleponan dengan Livia, Rajendra keluar dari rumah. Ia bergegas ke laboratorium tempat tes DNA Randu dulu. Ia mendapatkan kapas swab dari sana.Rajendra memandangi Gadis yang sedang tidur lelap di tengah tempat tidur dan dipagari oleh bantal di sekelilingnya. Wajah manis putrinya begitu damai, tidak peduli pada konflik yang terjadi pada kedua orang tuanya.Rajendra menarik napas panjang lalu mengambil kapas swab dari kantong yang dibawanya."Maafin Papa ya, Nak. Papa sama sekali nggak meragukan kamu. Tapi karena bundamu keras kepala Papa terpaksa melakukan ini," ucapnya pada Gadis.Rajendra membuka mulut Gadis kemudian mengambil sampel dari bagian dalam pipinya menggunakan kapas swab. Tangannya bergerak begitu lembut agar tidak mengganggu tidur bayi itu. Setelah selesai ia segera memasukkan swab tersebut ke dalam wadah steril yang sudah disiapkan.Rajendra menatap wadah kecil itu dengan perasaan tidak menentu. Livia yang terus menerus menyangkal bahwa Gadis adalah anaknya memb
Keheningan masih mengisi interaksi mereka. Permintaan Rajendra barusan membuat Livia tercengang.Tes DNA?Ia bahkan tidak pernah memikirkannya sekali pun. Perasaan takut, gugup, marah dan kesal bergejolak di dalam dirinya."Ndra," ujar Livia akhirnya setelah diam cukup lama. "Ini bukan soal tes DNA. Ini tentang kepercayaan. Saya nggak butuh pembuktian ilmiah untuk tahu siapa Gadis.""Kalau memang begitu, berhenti menyangkal bahwa Gadis adalah anakku. Kamu tahu dia bagian dari diriku. Tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti orang asing bagi Gadis?""Seharusnya kamu introspeksi diri, Ndra. Setelah segala luka yang kamu tancapkan lalu kamu datang seolah semua bisa diperbaiki begitu saja. Seolah yang kamu lakukan kepada saya adalah hal yang biasa.""Aku sudah introspeksi diri, Liv. Aku juga sudah minta maaf, tapi kamulah yang nggak mau memaafkanku. Aku ingin memperbaiki semuanya tapi kamu menolak. Kalau memang kamu nggak mau memberiku maaf, aku nggak akan minta banyak. Aku hanya ingin wa
Setelah tertegun sekian detik lamanya Rajendra memutuskan untuk menjawab telepon dari Livia. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan ia juga bisa menebak apa yang akan dikatakan istrinya itu. Rajendra menghela napasnya lalu menggeser layar ponselnya guna menjawab panggilan dari Livia. Suara napasnya terdengar berat, menandakan bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan mudah. "Iya, Liv," sapanya pelan. Di ujung telepon suara Livia terdengar bergetar. Kemarahan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. "Kamu di mana, Rajendra? Di mana anak saya? Apa yang ada di pikiranmu dengan membawanya pergi seperti itu?" teriak Livia histeris. "Dia juga anakku, Livia. Aku berhak menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada orang lain yang ikut campur." "Dia bukan anakmu. Dia anak saya. Dan nggak ada orang lain yang ikut campur di sini," sangkal Livia keras. "Kamu nggak punya hak untuk membawanya pergi tanpa izin dari saya. Ini namanya penculikan!" "Aku nggak menculik gadis. Aku hanya
Taksi yang ditumpangi Rajendra berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Setelah urusannya dengan supir taksi selesai Rajendra membawa Gadis turun dengan hati-hati."Selamat datang di rumah Oma dan Opa, Sayang. Gadis nggak sendiri di sini. Nanti main sama Bang Randu ya, Nak," kata Rajendra sembari mengecup pipi anak berumur tiga bulan itu dengan penuh kasih sayang.Dengan sebelah tangannya Rajendra membunyikan bel. Hanya tiga kali pencet pintu terbuka, memperlihatkan wajah Lola. Wanita separuh baya itu terkejut melihat Rajendra datang bersama bayi di gendongannya."Siang, Oma cantik. Kenalin Ini Gadis," kata Rajendra pada ibu tirinya itu."Gadis? Astaga? Gimana mungkin dia bisa sama kamu, Ndra?" Lola masih belum bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Apa yang salah, Tante? Aku kan papanya," jawab Rajendra santai lalu masuk ke dalam rumah."Iya, tapi kan kamu ..." Lola menggantung kalimatnya, mencerna apa yang sedang terjadi.Rajendra tertawa. "Jadi Oma nggak mau gendong Gadis nih?"
Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku setelah bertelepon dengan Livia. Wajahnya tampak muram. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. Ia harus segera melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu salah langkah sedikit saja bisa membuat situasi ini semakin runyam.Langit mencoba menghubungi Rajendra sampai beberapa kali, namun panggilan darinya tidak dijawab. Ia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Langit keluar dari kantornya. Ia akan menjemput Livia sekarang. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Langit menghubungi beberapa orang di daftar kontaknya yang mungkin mengetahui keberadaan Rajendra. Tapi tidak ada yang tahu di mana Rajendra sekarang atau baru saja berhubungan dengan Rajendra.Livia sedang menunggu di lobi ketika ketika Langit tiba di sana. Wajahnya tampak pucat, matanya sembab akibat kebanyakan menangis memikirkan Gadis. Dengan terpincang dan tertatih ia melangkah menuju mobil Langit."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit setelah Livia duduk di mobil.Livia menjawab dengan an
Sudah sejak tadi Langit berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Jantungnya bertalu-talu. Ia tidak bisa tenang memikirkan peristiwa yang terjadi saat ini. Ia tahu, memberitahu Livia tentang Gadis yang dibawa Rajendra akan menjadi momen yang sangat sulit. Livia sudah cukup mengkhawatirkan banyak hal, terutama soal Gadis. Tapi Langit juga tidak mungkin menyembunyikannya. Livia harus tahu secepatnya mengenai putrinya yang dibawa kabur.'Kalau aku jujur Livia dipastikan langsung panik. Tapi kalau aku nggak kasih tahu sekarang, situasinya akan semakin parah,' pikirnya di dalam hati.Lelah mondar-mandir, Langit duduk di kursinya sambil menatap ponsel di tangan. Ia membuka nomor Livia. Jari jemarinya terasa kaku. Ia ragu menekan tombol panggil. Tapi mau tidak mau Livia harus tahu.Langit berlatih merangkai kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan pada Livia.'Liv, aku punya kabar buruk.'Nggak, nggak, itu terlalu frontal. Langit membuang kata-kata itu dari otaknya.Ia merangkai kata kedua."L