Sudah sejak tadi Langit berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Jantungnya bertalu-talu. Ia tidak bisa tenang memikirkan peristiwa yang terjadi saat ini. Ia tahu, memberitahu Livia tentang Gadis yang dibawa Rajendra akan menjadi momen yang sangat sulit. Livia sudah cukup mengkhawatirkan banyak hal, terutama soal Gadis. Tapi Langit juga tidak mungkin menyembunyikannya. Livia harus tahu secepatnya mengenai putrinya yang dibawa kabur.'Kalau aku jujur Livia dipastikan langsung panik. Tapi kalau aku nggak kasih tahu sekarang, situasinya akan semakin parah,' pikirnya di dalam hati.Lelah mondar-mandir, Langit duduk di kursinya sambil menatap ponsel di tangan. Ia membuka nomor Livia. Jari jemarinya terasa kaku. Ia ragu menekan tombol panggil. Tapi mau tidak mau Livia harus tahu.Langit berlatih merangkai kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan pada Livia.'Liv, aku punya kabar buruk.'Nggak, nggak, itu terlalu frontal. Langit membuang kata-kata itu dari otaknya.Ia merangkai kata kedua."L
Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku setelah bertelepon dengan Livia. Wajahnya tampak muram. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. Ia harus segera melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu salah langkah sedikit saja bisa membuat situasi ini semakin runyam.Langit mencoba menghubungi Rajendra sampai beberapa kali, namun panggilan darinya tidak dijawab. Ia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Langit keluar dari kantornya. Ia akan menjemput Livia sekarang. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Langit menghubungi beberapa orang di daftar kontaknya yang mungkin mengetahui keberadaan Rajendra. Tapi tidak ada yang tahu di mana Rajendra sekarang atau baru saja berhubungan dengan Rajendra.Livia sedang menunggu di lobi ketika ketika Langit tiba di sana. Wajahnya tampak pucat, matanya sembab akibat kebanyakan menangis memikirkan Gadis. Dengan terpincang dan tertatih ia melangkah menuju mobil Langit."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit setelah Livia duduk di mobil.Livia menjawab dengan an
Taksi yang ditumpangi Rajendra berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Setelah urusannya dengan supir taksi selesai Rajendra membawa Gadis turun dengan hati-hati."Selamat datang di rumah Oma dan Opa, Sayang. Gadis nggak sendiri di sini. Nanti main sama Bang Randu ya, Nak," kata Rajendra sembari mengecup pipi anak berumur tiga bulan itu dengan penuh kasih sayang.Dengan sebelah tangannya Rajendra membunyikan bel. Hanya tiga kali pencet pintu terbuka, memperlihatkan wajah Lola. Wanita separuh baya itu terkejut melihat Rajendra datang bersama bayi di gendongannya."Siang, Oma cantik. Kenalin Ini Gadis," kata Rajendra pada ibu tirinya itu."Gadis? Astaga? Gimana mungkin dia bisa sama kamu, Ndra?" Lola masih belum bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Apa yang salah, Tante? Aku kan papanya," jawab Rajendra santai lalu masuk ke dalam rumah."Iya, tapi kan kamu ..." Lola menggantung kalimatnya, mencerna apa yang sedang terjadi.Rajendra tertawa. "Jadi Oma nggak mau gendong Gadis nih?"
Setelah tertegun sekian detik lamanya Rajendra memutuskan untuk menjawab telepon dari Livia. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan ia juga bisa menebak apa yang akan dikatakan istrinya itu. Rajendra menghela napasnya lalu menggeser layar ponselnya guna menjawab panggilan dari Livia. Suara napasnya terdengar berat, menandakan bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan mudah. "Iya, Liv," sapanya pelan. Di ujung telepon suara Livia terdengar bergetar. Kemarahan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. "Kamu di mana, Rajendra? Di mana anak saya? Apa yang ada di pikiranmu dengan membawanya pergi seperti itu?" teriak Livia histeris. "Dia juga anakku, Livia. Aku berhak menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada orang lain yang ikut campur." "Dia bukan anakmu. Dia anak saya. Dan nggak ada orang lain yang ikut campur di sini," sangkal Livia keras. "Kamu nggak punya hak untuk membawanya pergi tanpa izin dari saya. Ini namanya penculikan!" "Aku nggak menculik gadis. Aku hanya
Keheningan masih mengisi interaksi mereka. Permintaan Rajendra barusan membuat Livia tercengang.Tes DNA?Ia bahkan tidak pernah memikirkannya sekali pun. Perasaan takut, gugup, marah dan kesal bergejolak di dalam dirinya."Ndra," ujar Livia akhirnya setelah diam cukup lama. "Ini bukan soal tes DNA. Ini tentang kepercayaan. Saya nggak butuh pembuktian ilmiah untuk tahu siapa Gadis.""Kalau memang begitu, berhenti menyangkal bahwa Gadis adalah anakku. Kamu tahu dia bagian dari diriku. Tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti orang asing bagi Gadis?""Seharusnya kamu introspeksi diri, Ndra. Setelah segala luka yang kamu tancapkan lalu kamu datang seolah semua bisa diperbaiki begitu saja. Seolah yang kamu lakukan kepada saya adalah hal yang biasa.""Aku sudah introspeksi diri, Liv. Aku juga sudah minta maaf, tapi kamulah yang nggak mau memaafkanku. Aku ingin memperbaiki semuanya tapi kamu menolak. Kalau memang kamu nggak mau memberiku maaf, aku nggak akan minta banyak. Aku hanya ingin wa
Setelah teleponan dengan Livia, Rajendra keluar dari rumah. Ia bergegas ke laboratorium tempat tes DNA Randu dulu. Ia mendapatkan kapas swab dari sana.Rajendra memandangi Gadis yang sedang tidur lelap di tengah tempat tidur dan dipagari oleh bantal di sekelilingnya. Wajah manis putrinya begitu damai, tidak peduli pada konflik yang terjadi pada kedua orang tuanya.Rajendra menarik napas panjang lalu mengambil kapas swab dari kantong yang dibawanya."Maafin Papa ya, Nak. Papa sama sekali nggak meragukan kamu. Tapi karena bundamu keras kepala Papa terpaksa melakukan ini," ucapnya pada Gadis.Rajendra membuka mulut Gadis kemudian mengambil sampel dari bagian dalam pipinya menggunakan kapas swab. Tangannya bergerak begitu lembut agar tidak mengganggu tidur bayi itu. Setelah selesai ia segera memasukkan swab tersebut ke dalam wadah steril yang sudah disiapkan.Rajendra menatap wadah kecil itu dengan perasaan tidak menentu. Livia yang terus menerus menyangkal bahwa Gadis adalah anaknya memb
Dengan sigap Rajendra membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Livia begitu mereka tiba di dekat mobil. Namun Livia malah membuka pintu penumpang bagian belakang."Kenapa di sana?" tegur Rajendra."Saya harap kamu nggak lupa, dulu kamu alergi dekat-dekat duduk sama saya," jawab Livia dingin.Rajendra refleks membisu mendengar jawaban Livia. Kata demi kata yang terlontar dari mulut perempuan itu menghantamnya bagaikan tamparan keras di wajah. Ia tahu apa yang dikatakan Livia tidak salah, dan ia juga tidak bisa membantahnya."Liv, aku tahu aku salah, tapi itu dulu."Livia tidak merespon. Ia masuk ke kursi belakang, lalu menutup pintu dengan keras. Selanjutnya ia mengarahkan pandangan ke luar jendela tanpa sedikit pun mau memandang Rajendra.Rajendra mengalah. Ia berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang keluar dari mulut Livia. Rajendra yang menyetir sesekali melirik melalui kaca spion, berharap menemukan tanda bahwa Livia akan
Rajendra membungkukkan badan, meraup Randu ke dalam gendongannya. Begitu berada dalam kuasa tangannya, Rajendra menghujani anak itu dengan ciumannya bertubi-tubi."Jagoan Papa udah makan belum nih?" tanyanya setelah puas mencium Randu.Randu menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa belum?""Ma Pa... pa ...""Oh, jadi mau makan sama Papa. Oke deh. Nanti makannya berdua sama Papa ya."Betapa akrabnya mereka. Persis seperti anak dan ayah kandung, pikir Livia. Jadi bagaimana mungkin keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa?"Eh, Randu masih ingat nggak ini siapa?" Rajendra mengarahkan tatapan Randu pada Livia.Randu menatap Livia lekat. Ia merasa pernah bertemu dengan Livia. Tapi entah kapan. Ia tidak ingat."Ini namanya Bunda Livia. Bunda ini mamanya Randu."Livia langsung melebarkan mata ke arah Rajendra yang asal bicara. Tapi Rajendra hanya tersenyum."Ayo gendong sama Bunda." Rajendra menyerahkan Randu ke tangan Livia hingga ia tidak bisa menolak. Ia terpaksa menggendong Randu. Anak d
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena