Rajendra berhasil membawa Gadis ke dalam taksi yang sudah ia pesan. Ia sengaja memesan taksi, bukan membawa dengan mobilnya sendiri lantaran tidak ada kursi bayi di mobilnya. Sedangkan Gadis masih berusia tiga bulan. Anak itu belum bisa duduk."Akhirnya Papa bisa gendong kamu juga, Nak. Papa juga bisa peluk dan cium kamu." Rajendra mendekap Gadis erat dan menciuminya bertubi-tubi dengan penuh kasih sayang. Sudut-sudut matanya menghangat. Hatinya mengharu biru karena akhirnya memiliki kesempatan menyentuh putrinya yang sejak lahir tidak bisa ia akses sedikit pun."Papa bahagia, Nak. Papa sangat bahagia. Papa nggak mau lagi pisah sama kamu. Tapi kalau Bunda tahu dia pasti akan marah besar sama Papa."Gadis anak yang baik. Ia tidak rewel sama sekali. Seolah tahu bahwa saat ini ia sedang bersama orang yang tepat, ayahnya sendiri.Rajendra menghela napas dalam-dalam. Gadis yang berada di dalam pelukannya kini telah tertidur.Rajendra tidak bisa menyembunyikan senyumnya meskipun di dalam ha
Sudah sejak tadi Langit berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Jantungnya bertalu-talu. Ia tidak bisa tenang memikirkan peristiwa yang terjadi saat ini. Ia tahu, memberitahu Livia tentang Gadis yang dibawa Rajendra akan menjadi momen yang sangat sulit. Livia sudah cukup mengkhawatirkan banyak hal, terutama soal Gadis. Tapi Langit juga tidak mungkin menyembunyikannya. Livia harus tahu secepatnya mengenai putrinya yang dibawa kabur.'Kalau aku jujur Livia dipastikan langsung panik. Tapi kalau aku nggak kasih tahu sekarang, situasinya akan semakin parah,' pikirnya di dalam hati.Lelah mondar-mandir, Langit duduk di kursinya sambil menatap ponsel di tangan. Ia membuka nomor Livia. Jari jemarinya terasa kaku. Ia ragu menekan tombol panggil. Tapi mau tidak mau Livia harus tahu.Langit berlatih merangkai kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan pada Livia.'Liv, aku punya kabar buruk.'Nggak, nggak, itu terlalu frontal. Langit membuang kata-kata itu dari otaknya.Ia merangkai kata kedua."L
Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku setelah bertelepon dengan Livia. Wajahnya tampak muram. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. Ia harus segera melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu salah langkah sedikit saja bisa membuat situasi ini semakin runyam.Langit mencoba menghubungi Rajendra sampai beberapa kali, namun panggilan darinya tidak dijawab. Ia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Langit keluar dari kantornya. Ia akan menjemput Livia sekarang. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Langit menghubungi beberapa orang di daftar kontaknya yang mungkin mengetahui keberadaan Rajendra. Tapi tidak ada yang tahu di mana Rajendra sekarang atau baru saja berhubungan dengan Rajendra.Livia sedang menunggu di lobi ketika ketika Langit tiba di sana. Wajahnya tampak pucat, matanya sembab akibat kebanyakan menangis memikirkan Gadis. Dengan terpincang dan tertatih ia melangkah menuju mobil Langit."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit setelah Livia duduk di mobil.Livia menjawab dengan an
Taksi yang ditumpangi Rajendra berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Setelah urusannya dengan supir taksi selesai Rajendra membawa Gadis turun dengan hati-hati."Selamat datang di rumah Oma dan Opa, Sayang. Gadis nggak sendiri di sini. Nanti main sama Bang Randu ya, Nak," kata Rajendra sembari mengecup pipi anak berumur tiga bulan itu dengan penuh kasih sayang.Dengan sebelah tangannya Rajendra membunyikan bel. Hanya tiga kali pencet pintu terbuka, memperlihatkan wajah Lola. Wanita separuh baya itu terkejut melihat Rajendra datang bersama bayi di gendongannya."Siang, Oma cantik. Kenalin Ini Gadis," kata Rajendra pada ibu tirinya itu."Gadis? Astaga? Gimana mungkin dia bisa sama kamu, Ndra?" Lola masih belum bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Apa yang salah, Tante? Aku kan papanya," jawab Rajendra santai lalu masuk ke dalam rumah."Iya, tapi kan kamu ..." Lola menggantung kalimatnya, mencerna apa yang sedang terjadi.Rajendra tertawa. "Jadi Oma nggak mau gendong Gadis nih?"
Setelah tertegun sekian detik lamanya Rajendra memutuskan untuk menjawab telepon dari Livia. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan ia juga bisa menebak apa yang akan dikatakan istrinya itu. Rajendra menghela napasnya lalu menggeser layar ponselnya guna menjawab panggilan dari Livia. Suara napasnya terdengar berat, menandakan bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan mudah. "Iya, Liv," sapanya pelan. Di ujung telepon suara Livia terdengar bergetar. Kemarahan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. "Kamu di mana, Rajendra? Di mana anak saya? Apa yang ada di pikiranmu dengan membawanya pergi seperti itu?" teriak Livia histeris. "Dia juga anakku, Livia. Aku berhak menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada orang lain yang ikut campur." "Dia bukan anakmu. Dia anak saya. Dan nggak ada orang lain yang ikut campur di sini," sangkal Livia keras. "Kamu nggak punya hak untuk membawanya pergi tanpa izin dari saya. Ini namanya penculikan!" "Aku nggak menculik gadis. Aku hanya
Keheningan masih mengisi interaksi mereka. Permintaan Rajendra barusan membuat Livia tercengang.Tes DNA?Ia bahkan tidak pernah memikirkannya sekali pun. Perasaan takut, gugup, marah dan kesal bergejolak di dalam dirinya."Ndra," ujar Livia akhirnya setelah diam cukup lama. "Ini bukan soal tes DNA. Ini tentang kepercayaan. Saya nggak butuh pembuktian ilmiah untuk tahu siapa Gadis.""Kalau memang begitu, berhenti menyangkal bahwa Gadis adalah anakku. Kamu tahu dia bagian dari diriku. Tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti orang asing bagi Gadis?""Seharusnya kamu introspeksi diri, Ndra. Setelah segala luka yang kamu tancapkan lalu kamu datang seolah semua bisa diperbaiki begitu saja. Seolah yang kamu lakukan kepada saya adalah hal yang biasa.""Aku sudah introspeksi diri, Liv. Aku juga sudah minta maaf, tapi kamulah yang nggak mau memaafkanku. Aku ingin memperbaiki semuanya tapi kamu menolak. Kalau memang kamu nggak mau memberiku maaf, aku nggak akan minta banyak. Aku hanya ingin wa
Setelah teleponan dengan Livia, Rajendra keluar dari rumah. Ia bergegas ke laboratorium tempat tes DNA Randu dulu. Ia mendapatkan kapas swab dari sana.Rajendra memandangi Gadis yang sedang tidur lelap di tengah tempat tidur dan dipagari oleh bantal di sekelilingnya. Wajah manis putrinya begitu damai, tidak peduli pada konflik yang terjadi pada kedua orang tuanya.Rajendra menarik napas panjang lalu mengambil kapas swab dari kantong yang dibawanya."Maafin Papa ya, Nak. Papa sama sekali nggak meragukan kamu. Tapi karena bundamu keras kepala Papa terpaksa melakukan ini," ucapnya pada Gadis.Rajendra membuka mulut Gadis kemudian mengambil sampel dari bagian dalam pipinya menggunakan kapas swab. Tangannya bergerak begitu lembut agar tidak mengganggu tidur bayi itu. Setelah selesai ia segera memasukkan swab tersebut ke dalam wadah steril yang sudah disiapkan.Rajendra menatap wadah kecil itu dengan perasaan tidak menentu. Livia yang terus menerus menyangkal bahwa Gadis adalah anaknya memb
Dengan sigap Rajendra membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Livia begitu mereka tiba di dekat mobil. Namun Livia malah membuka pintu penumpang bagian belakang."Kenapa di sana?" tegur Rajendra."Saya harap kamu nggak lupa, dulu kamu alergi dekat-dekat duduk sama saya," jawab Livia dingin.Rajendra refleks membisu mendengar jawaban Livia. Kata demi kata yang terlontar dari mulut perempuan itu menghantamnya bagaikan tamparan keras di wajah. Ia tahu apa yang dikatakan Livia tidak salah, dan ia juga tidak bisa membantahnya."Liv, aku tahu aku salah, tapi itu dulu."Livia tidak merespon. Ia masuk ke kursi belakang, lalu menutup pintu dengan keras. Selanjutnya ia mengarahkan pandangan ke luar jendela tanpa sedikit pun mau memandang Rajendra.Rajendra mengalah. Ia berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang keluar dari mulut Livia. Rajendra yang menyetir sesekali melirik melalui kaca spion, berharap menemukan tanda bahwa Livia akan
Pagi itu Livia bertemu dengan Rajendra. Rajendra mengantar anak-anak ke sekolah sedangkan Livia datang ke daycare untuk mengatakan bahwa mulai hari ini Gadis tidak dititip lagi ke sana karena sudah ada omanya."Nanti pulangnya dijemput Papa lagi kan?" tanya Adis yang digandeng Rajendra di tangan kanan sedangkan tangan kiri Rajendra menggandeng Lunetta. Di sebelahnya ada Randu."Hmm ... kalo misalnya kali ini Papa nggak bisa jemput Adis, gimana?" Rajendra membuat pengandaian."Papa sibuk kerja ya, Pa?""Lumayan, Sayang. Papa sibuk banget. Papa lagi banyak kerjaan.""Berarti Adis di daycare sampai sore?" Gadis menengadah dan terlihat sedikit kecewa."Nggak juga, Sayang. Nanti Adis, Kak Lunetta dan Bang Randu dijemput sama Om Geri ya?"Dahi Gadis berkerut. Ini adalah untuk pertama kalinya ia mendengar nama itu. Siapa dia? pikirnya."Om Geri tuh siapa, Pa?""Om Geri supir Papa. Orangnya baik dan nggak galak. Adis nggak usah takut pokoknya." "Lebih baik mana dari Om Jav?" Gadis mendongak
Livia terdiam menatap cincin berlian yang berkilau di dalam kotak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semestinya ini momen yang membahagiakan kan? Tapi mengapa ada sesuatu yang terasa berat? Ia teringat bagaimana sentuhan tidak sopan Handi. Dan bagaimana Javier hanya tertawa dan menganggapnya sebagai angin lalu. Malam ini membuka matanya bahwa dunia Javier bukanlah dunianya."Maaf, Jav, aku nggak bisa."Ekspresi Javier seketika berubah. "Maksud kamu.""Aku nggak bisa menerima lamaran kamu. Itu maksudku."Kotak cincin tadi masih berada di tangan Javier namun terasa berada begitu jauh sekarang."Kenapa? Aku pikir kita sudah sangat lama bersama. Aku pikir ini yang kamu inginkan."Livia menggeleng. "Kita berbeda, Jav. Cara kita memandang hidup nggak sama. Selain itu statusku masih istri orang," jelas Livia."Itu makanya aku suruh kamu mengurus perceraian. Agar semua jelas. Jadi kalau pun kamu mau menolakku seenggaknya dalam status bukan sebagai istri orang." Pada bagian ini suara Javier te
Di halaman belakang rumah aroma ikan bakar semakin kuat. Dengan telaten Rajendra membolak-balikkan ikan besar di atas panggangan. Sementara di sebelahnya beberapa ekor ikan kecil sedang digoreng hingga renyah.Gadis duduk di bangku plastik, menunggu dengan sabar sambil mengayun kakinya. Sesekali menghirup aroma ikan bakar dengan penuh rasa antusias. Begitu berbeda dengan Lunetta yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Anak itu tampak tidak senang."Papa, kenapa ikan buat aku cuma ikan kecil?" Lunetta memprotes, membandingkan dengan ikan besar yang dibakar untuk Gadis."Tadi Kak Lunetta bilang mau ikan goreng kan? Jadi Papa gorengkan. Lihat nih walau kecil-kecil tapi banyak. Ikan kecil ini kalau dikumpulin bakalan sama kayak ikan bakar Adis.""Tapi tetap aja Adis dapat yang besar sedangkan aku yang kecil. Aku mau ikan yang besar!" Lunetta bersungut-sungut."Kalau Kak Lunetta mau ikan besar, ambil punya Adis aja, Kak," ujar Gadis mengalah."Aku kan udah bilang nggak suka ika
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.