Rajendra membungkukkan badan, meraup Randu ke dalam gendongannya. Begitu berada dalam kuasa tangannya, Rajendra menghujani anak itu dengan ciumannya bertubi-tubi."Jagoan Papa udah makan belum nih?" tanyanya setelah puas mencium Randu.Randu menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa belum?""Ma Pa... pa ...""Oh, jadi mau makan sama Papa. Oke deh. Nanti makannya berdua sama Papa ya."Betapa akrabnya mereka. Persis seperti anak dan ayah kandung, pikir Livia. Jadi bagaimana mungkin keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa?"Eh, Randu masih ingat nggak ini siapa?" Rajendra mengarahkan tatapan Randu pada Livia.Randu menatap Livia lekat. Ia merasa pernah bertemu dengan Livia. Tapi entah kapan. Ia tidak ingat."Ini namanya Bunda Livia. Bunda ini mamanya Randu."Livia langsung melebarkan mata ke arah Rajendra yang asal bicara. Tapi Rajendra hanya tersenyum."Ayo gendong sama Bunda." Rajendra menyerahkan Randu ke tangan Livia hingga ia tidak bisa menolak. Ia terpaksa menggendong Randu. Anak d
Suasana kamar terasa semakin tegang setelah percakapan terakhir tadi. Rajendra tidak habis pikir melihat perubahan sikap Livia yang dulu penuh kasih sayang terhadap Randu, kini menjadi dingin dan terasa jauh.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi mereka bergantian dengan tatapan polos. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Namun suasana tegang itu membuatnya memeluk Rajendra lebih erat.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi Livia dan sang papa bergantian dengan mata polos. Ia tidak memahami konflik yang terjadi, tetapi suasana dingin itu membuatnya meringkuk lebih erat di dada Rajendra.Tiba-tiba Gadis menangis dan menggeliat dalam gendongan Livia. Sebagai seorang ibu Livia tahu bahwa Gadis ingin menyusu."Tolong keluar sebentar, saya ingin menyusui Gadis," ujar Livia pada Rajendra."Kamu bisa tetap menyusuinya walau aku ada di sini, Liv. Jangan lupa, aku tetap suami kamu," jawab Rajendra.Livia mendengkus. "Tapi saya merasa nggak nyaman kalau ad
Sewaktu Rajendra pergi berbelanja, Livia duduk dengan Lola di ruang keluarga. Hatinya begitu gelisah meski ia sudah mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Ia merasa terperangkap dalam situasi ini. Rajendra sudah menjebaknya. Tahu akan begini lebih baik tadi ia menolak waktu Rajendra mengajaknya. Tapi bagaimana dengan Gadis? Livia merasa serba salah. Ia ingin menjemput Gadis, namun yang terjadi ia malah terjebak di sini. Seharusnya ia sadar sejak awal bahwa Rajendra tidak akan mudah mengembalikan Gadis padanya."Liv, sebenarnya Tante ingin membicarakan mengenai hubungan kamu dan Rajendra," kata Lola mengawali obrolan."Iya, Tante. Gimana?" balas Livia dengan sopan.Lola mengambil napas sejenak sebelum berkata. "Livia, Tante tahu hubungan kalian lagi nggak baik. Tapi apa kamu nggak kasihan sama Gadis? Dia butuh keluarga yang utuh, Liv. Dan maaf, kamu jangan sampai tersinggung. Dengan keadaan fisik kamu yang sekarang kamu butuh bantuan Rajendra untuk mengurus Gadis."Perkataan Lola mem
Lola keluar dari kamar dengan Gadis yang masih pulas dalam gendongannya. Ia membawa sang cucu menemui kakeknya.Erwin yang sedang duduk di sofa menyambut dengan senyum lebar."Mas, ini cucu kita. Coba Mas lihat. Dia cantik kan, Mas?" Nada bangga terdengar jelas dalam suara Lola lalu ia duduk di sebelah suaminya.Lola mengajarkan Erwin cara memegang bayi. "Hati-hati, Mas," ujarnya sambil menahan senyum melihat betapa kakunya Erwin.Erwin sedikit membungkuk. Ia mendekatkan wajahnya ke Gadis. Mengamati setiap detail wajah bayi mungil itu. "Dia mirip Rajendra," simpulnya. Hidungnya mancung. Pipinya juga chubby kayak Rajendra waktu kecil."Rajendra yang duduk di seberang orang tuanya mengamati dalam diam. Senyumnya perlahan muncul mendengar orang tuanya mendeskripsikan bagaimana dirinya dan Gadis memiliki kesamaan."Anak ini butuh kebahagiaan tapi kebahagian itu cuma bisa didapat kalau kalian kembali bersama, Ndra," lanjut Erwin."Aku lagi berusaha menaklukkan hati Livia, Pi. Dan aku ngga
Livia keluar dari kamar dengan langkah pincang yang tegas. Tongkatnya menekan lantai dengan bunyi yang menggema di lorong.Ia menuruni tangga pelan-pelan. Setiap langkah terasa seperti pelampiasan emosinya. Sesampainya di ruang keluarga, ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa.Irama napasnya terdengar berat, matanya menatap langit-langit. Bayangan-bayangan masa lalu muncul seperti film yang diputar ulang. Pengkhianatan, rasa sakit yang dipendam, dan kini situasi yang membuatnya merasa seperti tahanan di rumah orang lain.Sofa ini memang cocok untukku, pikirnya sinis. Karena tempat tidur itu terlalu penuh dengan beban masa lalu.*"Shit!" Rajendra mengumpat kesal pada Livia yang tidak tahu tempat untuk bertengkar. "Kenapa dia selalu keras kepala?" gumamnya pada dirinya sendiri."Gadis Papa tunggu sebentar ya, Nak. Papa panggil bundamu yang keras kepala itu dulu." Rajendra meletakkan bantal di sekeliling Gadis agar ia tidak jatuh.Rajendra berdiri dengan gerakan cepat. Ia benar-benar merasa fr
Livia mengambil ponselnya, menatap benda itu sejenak, lalu menggeser tanda hijau."Halo, Langit," sapanya dengan lembut. Suaranya begitu kontras dengan nada dingin yang tadi ia gunakan ketika berbicara dengan Rajendra.Tanpa disengaja tangan Rajendra terkepal. Buat apa lagi laki-laki itu menelepon?"Nyalakan loud speaker," suruh Rajendra.Livia mendelik pada Rajendra. Tidak setuju dengan keinginan itu. Ia juga punya privasi. Tapi Rajendra kembali memerintah."Aku mau dengar dia bilang apa. Nyalain speakernya kalau memang nggak ada hubungan apa-apa di antara kalian."Dengan terpaksa Livia menyalakan loudspeaker agar Rajendra percaya.Setelahnya terdengar suara Langit dari seberang telepon."Liv, kamu di mana sekarang? Tadi aku ke rumahmu tapi gelap gulita. Akhirnya aku masuk dan nyalain lampu beranda."'Sialan,' batin Rajendra. Bagaimana mungkin Langit bisa masuk ke rumah Livia. Apa Livia memberinya akses?"Saya sedang di rumah orang tua Rajendra. Makasih ya, Lang, udah nyalain lampuny
Livia terkesiap melihat Rajendra yang tiba-tiba sudah bergolek di lantai. Namun ia tidak mencegah. Ia membiarkan saja dan tidak memperlihatkan kepeduliannya. Terserah Rajendra ingin tidur di mana. Asal jangan seranjang dengannya.Hening melingkupi kamar setelah Livia menatap Rajendra yang saat ini sedang berbaring di lantai. Ia mengembuskan napas panjang. Livia lelah secara fisik dan emosional. Ia tahu, konflik ini tidak akan selesai hanya dengan diam-diaman satu malam. Tapi ia tidak punya tenaga untuk melanjutkan perdebatan.Livia mematikan lampu utama. Ia menggantinya dengan lampu tidur yang redup. Tanpa berkata apa-apa lagi Livia memejamkan matanya. Namun sebelumnya ia memastikan bahwa Gadis nyaman tidur di sebelahnya.Rajendra juga memejamkan matanya tetapi pikirannya terus bergolak. Ucapan langit tadi terus terngiang di telinganya.'Lo telat, Ndra. Lo nggak bisa perbaiki sesuatu yang udah lo hancurin.'Kalimat itu terasa bagaikan tamparan keras. Rajendra sadar apa yang ia lakukan
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Livia terkesiap melihat Rajendra yang tiba-tiba sudah bergolek di lantai. Namun ia tidak mencegah. Ia membiarkan saja dan tidak memperlihatkan kepeduliannya. Terserah Rajendra ingin tidur di mana. Asal jangan seranjang dengannya.Hening melingkupi kamar setelah Livia menatap Rajendra yang saat ini sedang berbaring di lantai. Ia mengembuskan napas panjang. Livia lelah secara fisik dan emosional. Ia tahu, konflik ini tidak akan selesai hanya dengan diam-diaman satu malam. Tapi ia tidak punya tenaga untuk melanjutkan perdebatan.Livia mematikan lampu utama. Ia menggantinya dengan lampu tidur yang redup. Tanpa berkata apa-apa lagi Livia memejamkan matanya. Namun sebelumnya ia memastikan bahwa Gadis nyaman tidur di sebelahnya.Rajendra juga memejamkan matanya tetapi pikirannya terus bergolak. Ucapan langit tadi terus terngiang di telinganya.'Lo telat, Ndra. Lo nggak bisa perbaiki sesuatu yang udah lo hancurin.'Kalimat itu terasa bagaikan tamparan keras. Rajendra sadar apa yang ia lakukan
Livia mengambil ponselnya, menatap benda itu sejenak, lalu menggeser tanda hijau."Halo, Langit," sapanya dengan lembut. Suaranya begitu kontras dengan nada dingin yang tadi ia gunakan ketika berbicara dengan Rajendra.Tanpa disengaja tangan Rajendra terkepal. Buat apa lagi laki-laki itu menelepon?"Nyalakan loud speaker," suruh Rajendra.Livia mendelik pada Rajendra. Tidak setuju dengan keinginan itu. Ia juga punya privasi. Tapi Rajendra kembali memerintah."Aku mau dengar dia bilang apa. Nyalain speakernya kalau memang nggak ada hubungan apa-apa di antara kalian."Dengan terpaksa Livia menyalakan loudspeaker agar Rajendra percaya.Setelahnya terdengar suara Langit dari seberang telepon."Liv, kamu di mana sekarang? Tadi aku ke rumahmu tapi gelap gulita. Akhirnya aku masuk dan nyalain lampu beranda."'Sialan,' batin Rajendra. Bagaimana mungkin Langit bisa masuk ke rumah Livia. Apa Livia memberinya akses?"Saya sedang di rumah orang tua Rajendra. Makasih ya, Lang, udah nyalain lampuny
Livia keluar dari kamar dengan langkah pincang yang tegas. Tongkatnya menekan lantai dengan bunyi yang menggema di lorong.Ia menuruni tangga pelan-pelan. Setiap langkah terasa seperti pelampiasan emosinya. Sesampainya di ruang keluarga, ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa.Irama napasnya terdengar berat, matanya menatap langit-langit. Bayangan-bayangan masa lalu muncul seperti film yang diputar ulang. Pengkhianatan, rasa sakit yang dipendam, dan kini situasi yang membuatnya merasa seperti tahanan di rumah orang lain.Sofa ini memang cocok untukku, pikirnya sinis. Karena tempat tidur itu terlalu penuh dengan beban masa lalu.*"Shit!" Rajendra mengumpat kesal pada Livia yang tidak tahu tempat untuk bertengkar. "Kenapa dia selalu keras kepala?" gumamnya pada dirinya sendiri."Gadis Papa tunggu sebentar ya, Nak. Papa panggil bundamu yang keras kepala itu dulu." Rajendra meletakkan bantal di sekeliling Gadis agar ia tidak jatuh.Rajendra berdiri dengan gerakan cepat. Ia benar-benar merasa fr
Lola keluar dari kamar dengan Gadis yang masih pulas dalam gendongannya. Ia membawa sang cucu menemui kakeknya.Erwin yang sedang duduk di sofa menyambut dengan senyum lebar."Mas, ini cucu kita. Coba Mas lihat. Dia cantik kan, Mas?" Nada bangga terdengar jelas dalam suara Lola lalu ia duduk di sebelah suaminya.Lola mengajarkan Erwin cara memegang bayi. "Hati-hati, Mas," ujarnya sambil menahan senyum melihat betapa kakunya Erwin.Erwin sedikit membungkuk. Ia mendekatkan wajahnya ke Gadis. Mengamati setiap detail wajah bayi mungil itu. "Dia mirip Rajendra," simpulnya. Hidungnya mancung. Pipinya juga chubby kayak Rajendra waktu kecil."Rajendra yang duduk di seberang orang tuanya mengamati dalam diam. Senyumnya perlahan muncul mendengar orang tuanya mendeskripsikan bagaimana dirinya dan Gadis memiliki kesamaan."Anak ini butuh kebahagiaan tapi kebahagian itu cuma bisa didapat kalau kalian kembali bersama, Ndra," lanjut Erwin."Aku lagi berusaha menaklukkan hati Livia, Pi. Dan aku ngga
Sewaktu Rajendra pergi berbelanja, Livia duduk dengan Lola di ruang keluarga. Hatinya begitu gelisah meski ia sudah mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Ia merasa terperangkap dalam situasi ini. Rajendra sudah menjebaknya. Tahu akan begini lebih baik tadi ia menolak waktu Rajendra mengajaknya. Tapi bagaimana dengan Gadis? Livia merasa serba salah. Ia ingin menjemput Gadis, namun yang terjadi ia malah terjebak di sini. Seharusnya ia sadar sejak awal bahwa Rajendra tidak akan mudah mengembalikan Gadis padanya."Liv, sebenarnya Tante ingin membicarakan mengenai hubungan kamu dan Rajendra," kata Lola mengawali obrolan."Iya, Tante. Gimana?" balas Livia dengan sopan.Lola mengambil napas sejenak sebelum berkata. "Livia, Tante tahu hubungan kalian lagi nggak baik. Tapi apa kamu nggak kasihan sama Gadis? Dia butuh keluarga yang utuh, Liv. Dan maaf, kamu jangan sampai tersinggung. Dengan keadaan fisik kamu yang sekarang kamu butuh bantuan Rajendra untuk mengurus Gadis."Perkataan Lola mem
Suasana kamar terasa semakin tegang setelah percakapan terakhir tadi. Rajendra tidak habis pikir melihat perubahan sikap Livia yang dulu penuh kasih sayang terhadap Randu, kini menjadi dingin dan terasa jauh.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi mereka bergantian dengan tatapan polos. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Namun suasana tegang itu membuatnya memeluk Rajendra lebih erat.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi Livia dan sang papa bergantian dengan mata polos. Ia tidak memahami konflik yang terjadi, tetapi suasana dingin itu membuatnya meringkuk lebih erat di dada Rajendra.Tiba-tiba Gadis menangis dan menggeliat dalam gendongan Livia. Sebagai seorang ibu Livia tahu bahwa Gadis ingin menyusu."Tolong keluar sebentar, saya ingin menyusui Gadis," ujar Livia pada Rajendra."Kamu bisa tetap menyusuinya walau aku ada di sini, Liv. Jangan lupa, aku tetap suami kamu," jawab Rajendra.Livia mendengkus. "Tapi saya merasa nggak nyaman kalau ad
Rajendra membungkukkan badan, meraup Randu ke dalam gendongannya. Begitu berada dalam kuasa tangannya, Rajendra menghujani anak itu dengan ciumannya bertubi-tubi."Jagoan Papa udah makan belum nih?" tanyanya setelah puas mencium Randu.Randu menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa belum?""Ma Pa... pa ...""Oh, jadi mau makan sama Papa. Oke deh. Nanti makannya berdua sama Papa ya."Betapa akrabnya mereka. Persis seperti anak dan ayah kandung, pikir Livia. Jadi bagaimana mungkin keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa?"Eh, Randu masih ingat nggak ini siapa?" Rajendra mengarahkan tatapan Randu pada Livia.Randu menatap Livia lekat. Ia merasa pernah bertemu dengan Livia. Tapi entah kapan. Ia tidak ingat."Ini namanya Bunda Livia. Bunda ini mamanya Randu."Livia langsung melebarkan mata ke arah Rajendra yang asal bicara. Tapi Rajendra hanya tersenyum."Ayo gendong sama Bunda." Rajendra menyerahkan Randu ke tangan Livia hingga ia tidak bisa menolak. Ia terpaksa menggendong Randu. Anak d
Dengan sigap Rajendra membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Livia begitu mereka tiba di dekat mobil. Namun Livia malah membuka pintu penumpang bagian belakang."Kenapa di sana?" tegur Rajendra."Saya harap kamu nggak lupa, dulu kamu alergi dekat-dekat duduk sama saya," jawab Livia dingin.Rajendra refleks membisu mendengar jawaban Livia. Kata demi kata yang terlontar dari mulut perempuan itu menghantamnya bagaikan tamparan keras di wajah. Ia tahu apa yang dikatakan Livia tidak salah, dan ia juga tidak bisa membantahnya."Liv, aku tahu aku salah, tapi itu dulu."Livia tidak merespon. Ia masuk ke kursi belakang, lalu menutup pintu dengan keras. Selanjutnya ia mengarahkan pandangan ke luar jendela tanpa sedikit pun mau memandang Rajendra.Rajendra mengalah. Ia berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang keluar dari mulut Livia. Rajendra yang menyetir sesekali melirik melalui kaca spion, berharap menemukan tanda bahwa Livia akan
Setelah teleponan dengan Livia, Rajendra keluar dari rumah. Ia bergegas ke laboratorium tempat tes DNA Randu dulu. Ia mendapatkan kapas swab dari sana.Rajendra memandangi Gadis yang sedang tidur lelap di tengah tempat tidur dan dipagari oleh bantal di sekelilingnya. Wajah manis putrinya begitu damai, tidak peduli pada konflik yang terjadi pada kedua orang tuanya.Rajendra menarik napas panjang lalu mengambil kapas swab dari kantong yang dibawanya."Maafin Papa ya, Nak. Papa sama sekali nggak meragukan kamu. Tapi karena bundamu keras kepala Papa terpaksa melakukan ini," ucapnya pada Gadis.Rajendra membuka mulut Gadis kemudian mengambil sampel dari bagian dalam pipinya menggunakan kapas swab. Tangannya bergerak begitu lembut agar tidak mengganggu tidur bayi itu. Setelah selesai ia segera memasukkan swab tersebut ke dalam wadah steril yang sudah disiapkan.Rajendra menatap wadah kecil itu dengan perasaan tidak menentu. Livia yang terus menerus menyangkal bahwa Gadis adalah anaknya memb