Dengan sigap Rajendra membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Livia begitu mereka tiba di dekat mobil. Namun Livia malah membuka pintu penumpang bagian belakang."Kenapa di sana?" tegur Rajendra."Saya harap kamu nggak lupa, dulu kamu alergi dekat-dekat duduk sama saya," jawab Livia dingin.Rajendra refleks membisu mendengar jawaban Livia. Kata demi kata yang terlontar dari mulut perempuan itu menghantamnya bagaikan tamparan keras di wajah. Ia tahu apa yang dikatakan Livia tidak salah, dan ia juga tidak bisa membantahnya."Liv, aku tahu aku salah, tapi itu dulu."Livia tidak merespon. Ia masuk ke kursi belakang, lalu menutup pintu dengan keras. Selanjutnya ia mengarahkan pandangan ke luar jendela tanpa sedikit pun mau memandang Rajendra.Rajendra mengalah. Ia berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang keluar dari mulut Livia. Rajendra yang menyetir sesekali melirik melalui kaca spion, berharap menemukan tanda bahwa Livia akan
Rajendra membungkukkan badan, meraup Randu ke dalam gendongannya. Begitu berada dalam kuasa tangannya, Rajendra menghujani anak itu dengan ciumannya bertubi-tubi."Jagoan Papa udah makan belum nih?" tanyanya setelah puas mencium Randu.Randu menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa belum?""Ma Pa... pa ...""Oh, jadi mau makan sama Papa. Oke deh. Nanti makannya berdua sama Papa ya."Betapa akrabnya mereka. Persis seperti anak dan ayah kandung, pikir Livia. Jadi bagaimana mungkin keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa?"Eh, Randu masih ingat nggak ini siapa?" Rajendra mengarahkan tatapan Randu pada Livia.Randu menatap Livia lekat. Ia merasa pernah bertemu dengan Livia. Tapi entah kapan. Ia tidak ingat."Ini namanya Bunda Livia. Bunda ini mamanya Randu."Livia langsung melebarkan mata ke arah Rajendra yang asal bicara. Tapi Rajendra hanya tersenyum."Ayo gendong sama Bunda." Rajendra menyerahkan Randu ke tangan Livia hingga ia tidak bisa menolak. Ia terpaksa menggendong Randu. Anak d
Suasana kamar terasa semakin tegang setelah percakapan terakhir tadi. Rajendra tidak habis pikir melihat perubahan sikap Livia yang dulu penuh kasih sayang terhadap Randu, kini menjadi dingin dan terasa jauh.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi mereka bergantian dengan tatapan polos. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Namun suasana tegang itu membuatnya memeluk Rajendra lebih erat.Randu yang masih berada dalam gendongan Rajendra memandangi Livia dan sang papa bergantian dengan mata polos. Ia tidak memahami konflik yang terjadi, tetapi suasana dingin itu membuatnya meringkuk lebih erat di dada Rajendra.Tiba-tiba Gadis menangis dan menggeliat dalam gendongan Livia. Sebagai seorang ibu Livia tahu bahwa Gadis ingin menyusu."Tolong keluar sebentar, saya ingin menyusui Gadis," ujar Livia pada Rajendra."Kamu bisa tetap menyusuinya walau aku ada di sini, Liv. Jangan lupa, aku tetap suami kamu," jawab Rajendra.Livia mendengkus. "Tapi saya merasa nggak nyaman kalau ad
Sewaktu Rajendra pergi berbelanja, Livia duduk dengan Lola di ruang keluarga. Hatinya begitu gelisah meski ia sudah mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Ia merasa terperangkap dalam situasi ini. Rajendra sudah menjebaknya. Tahu akan begini lebih baik tadi ia menolak waktu Rajendra mengajaknya. Tapi bagaimana dengan Gadis? Livia merasa serba salah. Ia ingin menjemput Gadis, namun yang terjadi ia malah terjebak di sini. Seharusnya ia sadar sejak awal bahwa Rajendra tidak akan mudah mengembalikan Gadis padanya."Liv, sebenarnya Tante ingin membicarakan mengenai hubungan kamu dan Rajendra," kata Lola mengawali obrolan."Iya, Tante. Gimana?" balas Livia dengan sopan.Lola mengambil napas sejenak sebelum berkata. "Livia, Tante tahu hubungan kalian lagi nggak baik. Tapi apa kamu nggak kasihan sama Gadis? Dia butuh keluarga yang utuh, Liv. Dan maaf, kamu jangan sampai tersinggung. Dengan keadaan fisik kamu yang sekarang kamu butuh bantuan Rajendra untuk mengurus Gadis."Perkataan Lola mem
Lola keluar dari kamar dengan Gadis yang masih pulas dalam gendongannya. Ia membawa sang cucu menemui kakeknya.Erwin yang sedang duduk di sofa menyambut dengan senyum lebar."Mas, ini cucu kita. Coba Mas lihat. Dia cantik kan, Mas?" Nada bangga terdengar jelas dalam suara Lola lalu ia duduk di sebelah suaminya.Lola mengajarkan Erwin cara memegang bayi. "Hati-hati, Mas," ujarnya sambil menahan senyum melihat betapa kakunya Erwin.Erwin sedikit membungkuk. Ia mendekatkan wajahnya ke Gadis. Mengamati setiap detail wajah bayi mungil itu. "Dia mirip Rajendra," simpulnya. Hidungnya mancung. Pipinya juga chubby kayak Rajendra waktu kecil."Rajendra yang duduk di seberang orang tuanya mengamati dalam diam. Senyumnya perlahan muncul mendengar orang tuanya mendeskripsikan bagaimana dirinya dan Gadis memiliki kesamaan."Anak ini butuh kebahagiaan tapi kebahagian itu cuma bisa didapat kalau kalian kembali bersama, Ndra," lanjut Erwin."Aku lagi berusaha menaklukkan hati Livia, Pi. Dan aku ngga
Livia keluar dari kamar dengan langkah pincang yang tegas. Tongkatnya menekan lantai dengan bunyi yang menggema di lorong.Ia menuruni tangga pelan-pelan. Setiap langkah terasa seperti pelampiasan emosinya. Sesampainya di ruang keluarga, ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa.Irama napasnya terdengar berat, matanya menatap langit-langit. Bayangan-bayangan masa lalu muncul seperti film yang diputar ulang. Pengkhianatan, rasa sakit yang dipendam, dan kini situasi yang membuatnya merasa seperti tahanan di rumah orang lain.Sofa ini memang cocok untukku, pikirnya sinis. Karena tempat tidur itu terlalu penuh dengan beban masa lalu.*"Shit!" Rajendra mengumpat kesal pada Livia yang tidak tahu tempat untuk bertengkar. "Kenapa dia selalu keras kepala?" gumamnya pada dirinya sendiri."Gadis Papa tunggu sebentar ya, Nak. Papa panggil bundamu yang keras kepala itu dulu." Rajendra meletakkan bantal di sekeliling Gadis agar ia tidak jatuh.Rajendra berdiri dengan gerakan cepat. Ia benar-benar merasa fr
Livia mengambil ponselnya, menatap benda itu sejenak, lalu menggeser tanda hijau."Halo, Langit," sapanya dengan lembut. Suaranya begitu kontras dengan nada dingin yang tadi ia gunakan ketika berbicara dengan Rajendra.Tanpa disengaja tangan Rajendra terkepal. Buat apa lagi laki-laki itu menelepon?"Nyalakan loud speaker," suruh Rajendra.Livia mendelik pada Rajendra. Tidak setuju dengan keinginan itu. Ia juga punya privasi. Tapi Rajendra kembali memerintah."Aku mau dengar dia bilang apa. Nyalain speakernya kalau memang nggak ada hubungan apa-apa di antara kalian."Dengan terpaksa Livia menyalakan loudspeaker agar Rajendra percaya.Setelahnya terdengar suara Langit dari seberang telepon."Liv, kamu di mana sekarang? Tadi aku ke rumahmu tapi gelap gulita. Akhirnya aku masuk dan nyalain lampu beranda."'Sialan,' batin Rajendra. Bagaimana mungkin Langit bisa masuk ke rumah Livia. Apa Livia memberinya akses?"Saya sedang di rumah orang tua Rajendra. Makasih ya, Lang, udah nyalain lampuny
Livia terkesiap melihat Rajendra yang tiba-tiba sudah bergolek di lantai. Namun ia tidak mencegah. Ia membiarkan saja dan tidak memperlihatkan kepeduliannya. Terserah Rajendra ingin tidur di mana. Asal jangan seranjang dengannya.Hening melingkupi kamar setelah Livia menatap Rajendra yang saat ini sedang berbaring di lantai. Ia mengembuskan napas panjang. Livia lelah secara fisik dan emosional. Ia tahu, konflik ini tidak akan selesai hanya dengan diam-diaman satu malam. Tapi ia tidak punya tenaga untuk melanjutkan perdebatan.Livia mematikan lampu utama. Ia menggantinya dengan lampu tidur yang redup. Tanpa berkata apa-apa lagi Livia memejamkan matanya. Namun sebelumnya ia memastikan bahwa Gadis nyaman tidur di sebelahnya.Rajendra juga memejamkan matanya tetapi pikirannya terus bergolak. Ucapan langit tadi terus terngiang di telinganya.'Lo telat, Ndra. Lo nggak bisa perbaiki sesuatu yang udah lo hancurin.'Kalimat itu terasa bagaikan tamparan keras. Rajendra sadar apa yang ia lakukan
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena