Livia mengambil ponselnya, menatap benda itu sejenak, lalu menggeser tanda hijau."Halo, Langit," sapanya dengan lembut. Suaranya begitu kontras dengan nada dingin yang tadi ia gunakan ketika berbicara dengan Rajendra.Tanpa disengaja tangan Rajendra terkepal. Buat apa lagi laki-laki itu menelepon?"Nyalakan loud speaker," suruh Rajendra.Livia mendelik pada Rajendra. Tidak setuju dengan keinginan itu. Ia juga punya privasi. Tapi Rajendra kembali memerintah."Aku mau dengar dia bilang apa. Nyalain speakernya kalau memang nggak ada hubungan apa-apa di antara kalian."Dengan terpaksa Livia menyalakan loudspeaker agar Rajendra percaya.Setelahnya terdengar suara Langit dari seberang telepon."Liv, kamu di mana sekarang? Tadi aku ke rumahmu tapi gelap gulita. Akhirnya aku masuk dan nyalain lampu beranda."'Sialan,' batin Rajendra. Bagaimana mungkin Langit bisa masuk ke rumah Livia. Apa Livia memberinya akses?"Saya sedang di rumah orang tua Rajendra. Makasih ya, Lang, udah nyalain lampuny
Livia terkesiap melihat Rajendra yang tiba-tiba sudah bergolek di lantai. Namun ia tidak mencegah. Ia membiarkan saja dan tidak memperlihatkan kepeduliannya. Terserah Rajendra ingin tidur di mana. Asal jangan seranjang dengannya.Hening melingkupi kamar setelah Livia menatap Rajendra yang saat ini sedang berbaring di lantai. Ia mengembuskan napas panjang. Livia lelah secara fisik dan emosional. Ia tahu, konflik ini tidak akan selesai hanya dengan diam-diaman satu malam. Tapi ia tidak punya tenaga untuk melanjutkan perdebatan.Livia mematikan lampu utama. Ia menggantinya dengan lampu tidur yang redup. Tanpa berkata apa-apa lagi Livia memejamkan matanya. Namun sebelumnya ia memastikan bahwa Gadis nyaman tidur di sebelahnya.Rajendra juga memejamkan matanya tetapi pikirannya terus bergolak. Ucapan langit tadi terus terngiang di telinganya.'Lo telat, Ndra. Lo nggak bisa perbaiki sesuatu yang udah lo hancurin.'Kalimat itu terasa bagaikan tamparan keras. Rajendra sadar apa yang ia lakukan
"Halo Bunda, Gadis sudah siap mandi." Rajendra menyapa Livia sambil membawa Gadis di gendongannya ke dalam kamar.Livia yang juga sedang bersiap-siap setelah selesai mandi hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi.Rajendra meletakkan Gadis di atas kasur dengan hati-hati. Anak itu tampak ceria walau matanya tampak sedikit mengantuk. Ia terus berceloteh."Anak Papa ngomong apa sih, Sayang? Papa nggak ngerti nih. Cepet gede ya, Nak," ujar Rajendra sambil memakaikan baju Gadis dengan hati-hati.Setelah mengeringkan rambutnya, Rajendra juga menyisir rambut Gadis dengan lembut. Ia harap Livia menghargai kepeduliannya ini. Selesai dengan rambut, Rajendra membedaki pipi Gadis pelan-pelan."Selesai deh. Anak Papa udah cantik kayak Bunda." Rajendra tersenyum senang. Sementara Gadis menatap dengan mata bulatnya.Usai berkata demikian Rajendra melirik ke arah Livia. Berharap akan mendapat tanggapan. Tapi sikap Livia sama seperti tadi. Ia tidak peduli pada Rajendra sedikit pun. Mau Rajendra melakukan
Air muka Livia sontak berubah ketika nama Langit disebut. Ia tahu Lola tidak bermaksud buruk, namun rasa tidak nyaman tetap menyelimutinya."Saya bisa mengatur semuanya, Tante," jawab Livia tegas tapi tenang.Lola menatap Livia dengan kehangatan seorang ibu. "Liv, Tante ngerti kamu terbiasa mandiri, tapi kamu baru tiga bulan melahirkan. Kalau kamu terus memaksakan diri nanti kamu sendiri yang kewalahan.Livia menunduk, menggenggam sendoknya dengan erat. Ia sadar yang dikatakan Lola ada benarnya, namun hatinya terlalu berat untuk menerima bantuan, apalagi tinggal lebih lama di rumah itu.Rajendra yang diam sedari tadi, membuka suaranya. "Liv, Tante Lola cuma mau membantu, bukan bermaksud mengatur kamu. Soal terapi besok biar aku yang antar. Tinggalin Gadis di rumah. Dan tentang janji kamu pagi ini dengan orang lain, aku juga bisa mengantar dan menemani kamu."Livia terdiam. Sebenarnya janji yang ia maksud dengan seseorang hanyalah akal-akalan belaka agar ia diizinkan pulang ke rumah."
Rajendra menggenggam setir dengan erat. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tidak meluapkan amarah yang memuncak. Pemandangan Livia duduk di mobil Langit dengan senyuman tipis tapi mengabaikannya menghantamnya lebih keras dari argumen mana pun yang pernah mereka lalui."Pagi yang luar biasa." Rajendra menggumam sinis. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa sakitdi dadanya tidak kunjung reda.Sementara itu di dalam mobil Langit Livia merasa puas karena sudah membuat Rajendra kesal. Masih hangat di ingatannya saat dulu Rajendra menurunkannya di jalan hanya karena Utary."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit sambil menurunkan volume musik di mobilnya."Nggak apa-apa. I'm happy," jawab Livia membalas senyuman Langit.Langit tertawa. "Rajendra pasti bakalan tambah marah sama aku.""Biarin aja. Hobinya kan emang marah-marah."Tawa Langit bertambah lebar mendengar ucapan Livia."Gimana tinggal di rumah mertua? Betah?" tanyanya kemudian."Tante Lola dan Om Erwin sih baik.
Rajendra duduk di kantornya dengan pikiran penuh. Bayangan Livia dan Langit yang tengah bersama terus menghantui benaknya. Perasaan marah, kesal, kecewa, serta frustrasi bercampur menjadi satu.Rajendra mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu membuka kontak Livia.Ia ketikkan pesan singkat."Jadi kamu sengaja melakukan ini agar membuatku terlihat bodoh? Jika iya, selamat, kamu berhasil."Sebelum pesan itu terkirim Rajendra menghapusnya. Ia sadar tindakannya hanya akan membuat keadaan menjadi semakin buruk."Kenapa dia selalu membuat segalanya menjadi rumit?" Rajendra menggumam pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ketika lamunannya sedang dalam Tasia masuk ke ruangannya dengan setumpuk berkas."Pak, ini harus ditandatangani hari ini biar bisa saya follow up," kata Tasia dengan sopan."Taruh disitu, nanti saya tanda tangan."Tasia mengangguk."Hari ini Bapak nggak ada jadwal meeting tapi saya hanya ingin mengingatkan bahwa nanti malam Bapak harus menghadiri undanga
Livia termangu untuk beberapa detik mendengar permintaan yang begitu tiba-tiba dan tanpa basa-basi. Ditatapnya sang suami dengan penuh tanda tanya. Sementara Lola memandangi keduanya dengan sorot mata penasaran."Kenapa saya harus ikut?" Livia menanyakannya dengan nada datar tanpa menghentikan gerakannya merajut."Karena kamu adalah istriku. Acara ini adalah acara formal dan aku nggak bisa datang sendirian.""Bukankah kamu sudah terbiasa mengajak yang lain? Saya ini hanya wanita cacat. Kamu nggak malu membawa orang pincang seperti saya? Nanti di pesta itu seluruh perhatian akan tertuju kepada saya karena saya pincang. Mau kamu letakkan di mana muka kamu?"Sentilan Livia membuat Rajendra tersindir. Selama ini Rajendra tidak pernah mengajak Livia ke acara-acara dan mengenalkan sebagai istrinya dengan resmi."Lebih baik kamu bawa orang lain saja. Bukankah masih banyak wanita yang ingin bersamamu?" imbuh Livia sebelum Rajendra sempat menjawab perkataannya barusan."Liv, yang aku mau adala
Di saat Rajendra dan Livia memasuki ballroom yang mewah, suasana pesta terasa hening sejenak. Para tamu yang mengenakan pakaian terbaik mereka memandang ke arah pintu, melihat kehadiran pasangan yang mencolok dengan cara tak terduga.Rajendra dengan setelan jas navynya memancarkan pesona dan kepercayaan diri. Sedangkan di sebelahnya, Livia melangkah dengan perlahan. Ia mengenakan gaun biru yang memancarkan kecantikan. Tetapi, langkahnya yang pincang dengan cepat menarik perhatian orang-orang.Bisikan demi bisikan mulai terdengar bagaikan riak kecil di tengah keramaian."Oh, My God! Jadi itu istri Rajendra?" bisik seorang wanita kepada temannya."Kok bisa ya Rajendra sama dia?" timpal sang teman dengan nada mencemooh. "Sumpah, nggak pantas banget. Rajendra udah kayak pangeran, sedangkan istrinya ..." Wanita itu tidak menyelesaikan kalimatnya dan membiarkan gantung begitu saja."Kenapa dia mau nikah dengan perempuan kayak gitu? Apa karena keluarga perempuan itu kaya?" Seorang wanita yan
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha