Malam itu Rajendra benar-benar mengenalkan Livia pada rekan-rekan bisnisnya satu demi satu. Dan sudah bisa ditebak reaksi mereka hampir sama. Orang-orang itu terkejut mengetahui Livia adalah istri Rajendra. Mereka mengatakan Livia cantik, tapi dari tatapan mereka menyiratkan bahwa Livia tidak pantas menjadi istri Rajendra.Rajendra membawa Livia ke tempat yang lebih sepi, menghindari keramaian untuk sesaat. Disodorkannya air mineral pada istrinya itu. "Minum dulu, Liv, kamu kayaknya lelah banget," ujarnya dengan lembut.Livia menerima air dari tangan Rajendra tapi tidak langsung meminumnya. Ditatapnya lelaki itu dengan penuh tanda tanya. "Sebenarnya apa alasanmu membawa saya ke sini, Ndra? Apa kamu nggak malu mendengar apa yang mereka katakan? Atau sebenarnya kamu yang ingin membuat saya malu?""Nope. Nggak dua-duanya. Aku hanya ingin mereka tahu siapa istriku, Liv.""Setelah tiga tahun," jawab Livia pahit."Sorry, kamu kan tahu seburuk apa hubungan kita waktu itu," ucap Rajendra mer
Dalam hitungan waktu sepuluh menit keduanya sudah berada di mobil. Rajendra menyalakan lampu kabin lalu mengambil sesuatu dari dalam laci dashboard. Ia memberikannya pada Livia."Apa ini?" tanya Livia melihat amplop putih berlogo laboratorium ternama. Amplop itu masih bersegel, belum dibuka sama sekali."Buka aja," jawab Rajendra sambil tersenyum. Rajendra memang belum membuka amplop tersebut tapi ia sudah tahu apa isinya.Livia menatap Rajendra sekilas kemudian membuka amplop tersebut dengan hati-hati.Setelah amplop itu terbuka ia menemukan selembar kertas putih. Livia membacanya dengan perlahan. Ternyata isinya adalah hasil tes DNA Rajendra dan Gadis. Di sana dinyatakan bahwa Gadis dan Rajendra memiliki kesesuaian genetik yang artinya Gadis adalah anak kandung Rajendra.Livia membeku. Kedua tangannya yang memegang kertas tersebut sedikit bergetar. Sepasang matanya terus menatap hasil tes DNA itu. Sekarang Rajendra pasti merasa menang karena juga merasa berhak untuk pengasuhan Gadi
Livia terdiam sesaat memikirkan tawaran Rajendra yang tiba-tiba. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan curiga. "Jadi sekarang kamu mau membelikan rumah baru hanya demi Gadis?""Nggak gitu, Liv. Aku mau beliin rumah untuk kamu juga. Untuk kita tinggali bertiga," jawab Rajendra cepat. "Aku tahu aku nggak pantas berharap banyak. Tapi aku ingin memberikan tempat yang benar-benar layak untuk kita tinggali bersama. Tempat di mana kita bisa merasa nyaman, aman dan bahagia." Rajendra tersenyum tipis di ujung kalimatnya tapi tidak membuat Livia terpengaruh. Livia malah mendengkus pelan."Kebahagiaan saya bukanlah dibelikan rumah baru atau barang-barang mahal. Yang saya inginkan adalah rasa nyaman dan dihargai. Saya ingin hidup tenang. Tapi sayangnya kamu nggak bisa kasih saya ketenangan itu.""Ketenangan yang bagaimana lagi, Liv?" keluh Rajendra frustrasi. "Aku tahu aku sudah kehilangan kepercayaan kamu. Tapi aku mau berusaha. Aku mau memperbaiki semuanya. Kalau kamu butuh waktu untuk percaya,
Ketiganya terdiam menyaksikan punggung Livia yang menjauh sambil terpincang-pincang menggendong Gadis."Papi dan Tante lihat sendiri kan? Bagaimana susahnya Livia? Tapi dia terlalu keras kepala. Dia butuh bantuan tapi menolak untuk dibantu. Dan akibatnya Gadis yang jadi korban."Erwin menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia memberi putranya nasihat. "Ndra, yang kamu bilang sebagai keras kepala itu sebenarnya adalah luka. Livia bukan sekadar marah. Dia terluka, dan luka itu bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf atau janji."Lola ikut menimpali dengan suaranya yang lembut tapi tegas. "Livia sudah melewati banyak hal, Ndra. Kamu kan udah lihat sendiri kalau dia perempuan yang nggak mudah menyerah. Kalau dia memilih untuk menjauh darimu itu bukan karena dia keras kepala. Tapi karena dia ingin melindungi dirinya dan Gadis dari sakit yang sama.Rajendra menekan-nekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa frustasi yang tidak kunjung berhenti. "Tap
Baru saja Rajendra hendak memejamkan matanya, rengekan Gadis menggagalkan niat itu. Rajendra bangkit dengan cepat dan melihat di atas tempat tidur Gadis sedang menangis. Di saat yang sama Livia juga terbangun."Biar aku yang urus Gadis, Liv. Kamu tidur aja." Rajendra mencegah Livia sebelum perempuan itu melakukan apa pun.Livia terlihat ragu tapi akhirnya ia menyerah. Ia ingin tahu apa Rajendra benar-benar bisa mengurus Gadis seperti yang dijanjikan laki-laki itu. Semua laki-laki mungkin bisa menggendong anak mereka, tapi tidak semua laki-laki mau membersihkan kotoran anak mereka.Livia membenahi selimutnya lalu memejamkan mata. Berpura-pura kembali tertidur. Tapi sebenarnya ia sedang mengintip apa yang Rajendra lakukan pada putri mereka.Rajendra mendekati Gadis yang sedang menangis. Tubuh mungilnya bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Rajendra mengusap-usap kepala Gadis namun tangis anak itu malah semakin keras."Kenapa, Sayang? Papa ada di sini," bisik Rajendra dengan lemb
Rajendra terkantuk-kantuk mengemudikan mobilnya. Beberapa kali ia menutup mulutnya yang menguap. Akibat menjaga Gadis semalaman ia jadi kurang tidur. Ditambah lagi pagi ini ia harus mengantar Livia ke rumah sakit untuk fisioterapi. Tadinya Livia ingin berangkat dengan taksi. Tapi Lola meminta agar Rajendra yang mengantar dan menemaninya."Nguap melulu dari tadi? Ngantuk banget? Kalau nggak sanggup nyetir biar saya turun dan naik taksi saja," sindir Livia pada Rajendra yang terkantuk-kantuk dan sibuk menutup mulutnya.Rajendra memandang sekilas pada Livia lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Nggak usah khawatir, Liv. Aku masih bisa nyetir. Semalam aku cuma kurang tidur karena Gadis," jawabnya sambil tersenyum sedikit dengan wajah yang tampak lelah."Emangnya Gadis ngapain?" Livia bersikap pura-pura tidak tahu."Setelah dia pup kemarin aku kasih susu, terus dia nangis lagi dan aku buatin susu tambahan karena mengira dia masih lapar. Tapi ternyata dia nggak mau. Aku gendong d
Setengah jam setelah kepergian Lola, Gema mengambil handphonenya. Ia tidak tahan lagi untuk tetap diam. Ia harus menghubungi anaknya sekarang. Gema tidak terima Langit dianggap sebagai orang ketiga.Gema mencari nomor Langit di daftar kontak lalu menekan tanda panggil. Ia harus menunggu beberapa detik sebelum akhirnya Langit menjawab telepon darinya."Halo, Ma. Tumben nelepon aku pagi-pagi. Kenapa, Ma?" suara Langit terdengar heran di seberang sana."Kamu di mana, Lang?" "Di kantor, Ma.""Sibuk nggak? Mama mau bicara sebentar.""Nggak, Ma, bicara aja. Mama butuh duit?""Nggak, bukan itu," bantah Gema cepat. "Tapi ini soal Livia."Jantung Langit berdetak cepat ketika nama Livia disebut. Ada apa dengan Livia? Apa yang terjadi? Dan kenapa ibunya tiba-tiba membicarakan Livia? Berbagai pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya."Tadi Tante Lola datang ke sini sama anak Livia. Dia meminta Mama menyampaikan ke kamu untuk menjauhi Livia."Di balik ponselnya Langit tertegun. Tidak mengerti k
Saat mesin mobil sudah menyala Rajendra melirik ke arah Livia dan menemukan istrinya itu tengah melamun. Mungkin saja Livia sedang memikirkan tawarannya tadi. "Liv ...," panggil Rajendra yang berhasil mengeluarkan Livia dari lamunannya. Livia tampak tersentak. Khayalan indahnya buyar. "Aku serius soal pengobatan di Amerika. Peluang kesembuhan kaki kamu sangat besar kalau menjalani terapi intensif di sana." Rajendra meyakinkan sekali lagi. Livia menarik napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya ke jok. Sepasang matanya memandang ke luar jendela. Sejujurnya Livia merasa bimbang. Ia sangat ingin kembali sehat dan berjalan dengan normal, tapi Livia tahu semua ini 'tidak gratis'. Ada pembalasan yang harus Livia lakukan, yaitu kembali ke pelukan Rajendra dan membina rumah tangga dengannya. Livia tidak siap. Sisa-sisa trauma itu masih ada. Ia ingat ada petuah yang mengatakan bahwa selingkuh ibarat penyakit yang susah sembuh. Sekali saja sudah selingkuh maka bukan tidak mungkin or
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha