Di saat Rajendra dan Livia memasuki ballroom yang mewah, suasana pesta terasa hening sejenak. Para tamu yang mengenakan pakaian terbaik mereka memandang ke arah pintu, melihat kehadiran pasangan yang mencolok dengan cara tak terduga.Rajendra dengan setelan jas navynya memancarkan pesona dan kepercayaan diri. Sedangkan di sebelahnya, Livia melangkah dengan perlahan. Ia mengenakan gaun biru yang memancarkan kecantikan. Tetapi, langkahnya yang pincang dengan cepat menarik perhatian orang-orang.Bisikan demi bisikan mulai terdengar bagaikan riak kecil di tengah keramaian."Oh, My God! Jadi itu istri Rajendra?" bisik seorang wanita kepada temannya."Kok bisa ya Rajendra sama dia?" timpal sang teman dengan nada mencemooh. "Sumpah, nggak pantas banget. Rajendra udah kayak pangeran, sedangkan istrinya ..." Wanita itu tidak menyelesaikan kalimatnya dan membiarkan gantung begitu saja."Kenapa dia mau nikah dengan perempuan kayak gitu? Apa karena keluarga perempuan itu kaya?" Seorang wanita yan
Malam itu Rajendra benar-benar mengenalkan Livia pada rekan-rekan bisnisnya satu demi satu. Dan sudah bisa ditebak reaksi mereka hampir sama. Orang-orang itu terkejut mengetahui Livia adalah istri Rajendra. Mereka mengatakan Livia cantik, tapi dari tatapan mereka menyiratkan bahwa Livia tidak pantas menjadi istri Rajendra.Rajendra membawa Livia ke tempat yang lebih sepi, menghindari keramaian untuk sesaat. Disodorkannya air mineral pada istrinya itu. "Minum dulu, Liv, kamu kayaknya lelah banget," ujarnya dengan lembut.Livia menerima air dari tangan Rajendra tapi tidak langsung meminumnya. Ditatapnya lelaki itu dengan penuh tanda tanya. "Sebenarnya apa alasanmu membawa saya ke sini, Ndra? Apa kamu nggak malu mendengar apa yang mereka katakan? Atau sebenarnya kamu yang ingin membuat saya malu?""Nope. Nggak dua-duanya. Aku hanya ingin mereka tahu siapa istriku, Liv.""Setelah tiga tahun," jawab Livia pahit."Sorry, kamu kan tahu seburuk apa hubungan kita waktu itu," ucap Rajendra mer
Dalam hitungan waktu sepuluh menit keduanya sudah berada di mobil. Rajendra menyalakan lampu kabin lalu mengambil sesuatu dari dalam laci dashboard. Ia memberikannya pada Livia."Apa ini?" tanya Livia melihat amplop putih berlogo laboratorium ternama. Amplop itu masih bersegel, belum dibuka sama sekali."Buka aja," jawab Rajendra sambil tersenyum. Rajendra memang belum membuka amplop tersebut tapi ia sudah tahu apa isinya.Livia menatap Rajendra sekilas kemudian membuka amplop tersebut dengan hati-hati.Setelah amplop itu terbuka ia menemukan selembar kertas putih. Livia membacanya dengan perlahan. Ternyata isinya adalah hasil tes DNA Rajendra dan Gadis. Di sana dinyatakan bahwa Gadis dan Rajendra memiliki kesesuaian genetik yang artinya Gadis adalah anak kandung Rajendra.Livia membeku. Kedua tangannya yang memegang kertas tersebut sedikit bergetar. Sepasang matanya terus menatap hasil tes DNA itu. Sekarang Rajendra pasti merasa menang karena juga merasa berhak untuk pengasuhan Gadi
Livia terdiam sesaat memikirkan tawaran Rajendra yang tiba-tiba. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan curiga. "Jadi sekarang kamu mau membelikan rumah baru hanya demi Gadis?""Nggak gitu, Liv. Aku mau beliin rumah untuk kamu juga. Untuk kita tinggali bertiga," jawab Rajendra cepat. "Aku tahu aku nggak pantas berharap banyak. Tapi aku ingin memberikan tempat yang benar-benar layak untuk kita tinggali bersama. Tempat di mana kita bisa merasa nyaman, aman dan bahagia." Rajendra tersenyum tipis di ujung kalimatnya tapi tidak membuat Livia terpengaruh. Livia malah mendengkus pelan."Kebahagiaan saya bukanlah dibelikan rumah baru atau barang-barang mahal. Yang saya inginkan adalah rasa nyaman dan dihargai. Saya ingin hidup tenang. Tapi sayangnya kamu nggak bisa kasih saya ketenangan itu.""Ketenangan yang bagaimana lagi, Liv?" keluh Rajendra frustrasi. "Aku tahu aku sudah kehilangan kepercayaan kamu. Tapi aku mau berusaha. Aku mau memperbaiki semuanya. Kalau kamu butuh waktu untuk percaya,
Ketiganya terdiam menyaksikan punggung Livia yang menjauh sambil terpincang-pincang menggendong Gadis."Papi dan Tante lihat sendiri kan? Bagaimana susahnya Livia? Tapi dia terlalu keras kepala. Dia butuh bantuan tapi menolak untuk dibantu. Dan akibatnya Gadis yang jadi korban."Erwin menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia memberi putranya nasihat. "Ndra, yang kamu bilang sebagai keras kepala itu sebenarnya adalah luka. Livia bukan sekadar marah. Dia terluka, dan luka itu bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf atau janji."Lola ikut menimpali dengan suaranya yang lembut tapi tegas. "Livia sudah melewati banyak hal, Ndra. Kamu kan udah lihat sendiri kalau dia perempuan yang nggak mudah menyerah. Kalau dia memilih untuk menjauh darimu itu bukan karena dia keras kepala. Tapi karena dia ingin melindungi dirinya dan Gadis dari sakit yang sama.Rajendra menekan-nekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa frustasi yang tidak kunjung berhenti. "Tap
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Ketiganya terdiam menyaksikan punggung Livia yang menjauh sambil terpincang-pincang menggendong Gadis."Papi dan Tante lihat sendiri kan? Bagaimana susahnya Livia? Tapi dia terlalu keras kepala. Dia butuh bantuan tapi menolak untuk dibantu. Dan akibatnya Gadis yang jadi korban."Erwin menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia memberi putranya nasihat. "Ndra, yang kamu bilang sebagai keras kepala itu sebenarnya adalah luka. Livia bukan sekadar marah. Dia terluka, dan luka itu bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf atau janji."Lola ikut menimpali dengan suaranya yang lembut tapi tegas. "Livia sudah melewati banyak hal, Ndra. Kamu kan udah lihat sendiri kalau dia perempuan yang nggak mudah menyerah. Kalau dia memilih untuk menjauh darimu itu bukan karena dia keras kepala. Tapi karena dia ingin melindungi dirinya dan Gadis dari sakit yang sama.Rajendra menekan-nekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa frustasi yang tidak kunjung berhenti. "Tap
Livia terdiam sesaat memikirkan tawaran Rajendra yang tiba-tiba. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan curiga. "Jadi sekarang kamu mau membelikan rumah baru hanya demi Gadis?""Nggak gitu, Liv. Aku mau beliin rumah untuk kamu juga. Untuk kita tinggali bertiga," jawab Rajendra cepat. "Aku tahu aku nggak pantas berharap banyak. Tapi aku ingin memberikan tempat yang benar-benar layak untuk kita tinggali bersama. Tempat di mana kita bisa merasa nyaman, aman dan bahagia." Rajendra tersenyum tipis di ujung kalimatnya tapi tidak membuat Livia terpengaruh. Livia malah mendengkus pelan."Kebahagiaan saya bukanlah dibelikan rumah baru atau barang-barang mahal. Yang saya inginkan adalah rasa nyaman dan dihargai. Saya ingin hidup tenang. Tapi sayangnya kamu nggak bisa kasih saya ketenangan itu.""Ketenangan yang bagaimana lagi, Liv?" keluh Rajendra frustrasi. "Aku tahu aku sudah kehilangan kepercayaan kamu. Tapi aku mau berusaha. Aku mau memperbaiki semuanya. Kalau kamu butuh waktu untuk percaya,
Dalam hitungan waktu sepuluh menit keduanya sudah berada di mobil. Rajendra menyalakan lampu kabin lalu mengambil sesuatu dari dalam laci dashboard. Ia memberikannya pada Livia."Apa ini?" tanya Livia melihat amplop putih berlogo laboratorium ternama. Amplop itu masih bersegel, belum dibuka sama sekali."Buka aja," jawab Rajendra sambil tersenyum. Rajendra memang belum membuka amplop tersebut tapi ia sudah tahu apa isinya.Livia menatap Rajendra sekilas kemudian membuka amplop tersebut dengan hati-hati.Setelah amplop itu terbuka ia menemukan selembar kertas putih. Livia membacanya dengan perlahan. Ternyata isinya adalah hasil tes DNA Rajendra dan Gadis. Di sana dinyatakan bahwa Gadis dan Rajendra memiliki kesesuaian genetik yang artinya Gadis adalah anak kandung Rajendra.Livia membeku. Kedua tangannya yang memegang kertas tersebut sedikit bergetar. Sepasang matanya terus menatap hasil tes DNA itu. Sekarang Rajendra pasti merasa menang karena juga merasa berhak untuk pengasuhan Gadi
Malam itu Rajendra benar-benar mengenalkan Livia pada rekan-rekan bisnisnya satu demi satu. Dan sudah bisa ditebak reaksi mereka hampir sama. Orang-orang itu terkejut mengetahui Livia adalah istri Rajendra. Mereka mengatakan Livia cantik, tapi dari tatapan mereka menyiratkan bahwa Livia tidak pantas menjadi istri Rajendra.Rajendra membawa Livia ke tempat yang lebih sepi, menghindari keramaian untuk sesaat. Disodorkannya air mineral pada istrinya itu. "Minum dulu, Liv, kamu kayaknya lelah banget," ujarnya dengan lembut.Livia menerima air dari tangan Rajendra tapi tidak langsung meminumnya. Ditatapnya lelaki itu dengan penuh tanda tanya. "Sebenarnya apa alasanmu membawa saya ke sini, Ndra? Apa kamu nggak malu mendengar apa yang mereka katakan? Atau sebenarnya kamu yang ingin membuat saya malu?""Nope. Nggak dua-duanya. Aku hanya ingin mereka tahu siapa istriku, Liv.""Setelah tiga tahun," jawab Livia pahit."Sorry, kamu kan tahu seburuk apa hubungan kita waktu itu," ucap Rajendra mer
Di saat Rajendra dan Livia memasuki ballroom yang mewah, suasana pesta terasa hening sejenak. Para tamu yang mengenakan pakaian terbaik mereka memandang ke arah pintu, melihat kehadiran pasangan yang mencolok dengan cara tak terduga.Rajendra dengan setelan jas navynya memancarkan pesona dan kepercayaan diri. Sedangkan di sebelahnya, Livia melangkah dengan perlahan. Ia mengenakan gaun biru yang memancarkan kecantikan. Tetapi, langkahnya yang pincang dengan cepat menarik perhatian orang-orang.Bisikan demi bisikan mulai terdengar bagaikan riak kecil di tengah keramaian."Oh, My God! Jadi itu istri Rajendra?" bisik seorang wanita kepada temannya."Kok bisa ya Rajendra sama dia?" timpal sang teman dengan nada mencemooh. "Sumpah, nggak pantas banget. Rajendra udah kayak pangeran, sedangkan istrinya ..." Wanita itu tidak menyelesaikan kalimatnya dan membiarkan gantung begitu saja."Kenapa dia mau nikah dengan perempuan kayak gitu? Apa karena keluarga perempuan itu kaya?" Seorang wanita yan
Livia termangu untuk beberapa detik mendengar permintaan yang begitu tiba-tiba dan tanpa basa-basi. Ditatapnya sang suami dengan penuh tanda tanya. Sementara Lola memandangi keduanya dengan sorot mata penasaran."Kenapa saya harus ikut?" Livia menanyakannya dengan nada datar tanpa menghentikan gerakannya merajut."Karena kamu adalah istriku. Acara ini adalah acara formal dan aku nggak bisa datang sendirian.""Bukankah kamu sudah terbiasa mengajak yang lain? Saya ini hanya wanita cacat. Kamu nggak malu membawa orang pincang seperti saya? Nanti di pesta itu seluruh perhatian akan tertuju kepada saya karena saya pincang. Mau kamu letakkan di mana muka kamu?"Sentilan Livia membuat Rajendra tersindir. Selama ini Rajendra tidak pernah mengajak Livia ke acara-acara dan mengenalkan sebagai istrinya dengan resmi."Lebih baik kamu bawa orang lain saja. Bukankah masih banyak wanita yang ingin bersamamu?" imbuh Livia sebelum Rajendra sempat menjawab perkataannya barusan."Liv, yang aku mau adala
Rajendra duduk di kantornya dengan pikiran penuh. Bayangan Livia dan Langit yang tengah bersama terus menghantui benaknya. Perasaan marah, kesal, kecewa, serta frustrasi bercampur menjadi satu.Rajendra mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu membuka kontak Livia.Ia ketikkan pesan singkat."Jadi kamu sengaja melakukan ini agar membuatku terlihat bodoh? Jika iya, selamat, kamu berhasil."Sebelum pesan itu terkirim Rajendra menghapusnya. Ia sadar tindakannya hanya akan membuat keadaan menjadi semakin buruk."Kenapa dia selalu membuat segalanya menjadi rumit?" Rajendra menggumam pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ketika lamunannya sedang dalam Tasia masuk ke ruangannya dengan setumpuk berkas."Pak, ini harus ditandatangani hari ini biar bisa saya follow up," kata Tasia dengan sopan."Taruh disitu, nanti saya tanda tangan."Tasia mengangguk."Hari ini Bapak nggak ada jadwal meeting tapi saya hanya ingin mengingatkan bahwa nanti malam Bapak harus menghadiri undanga
Rajendra menggenggam setir dengan erat. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tidak meluapkan amarah yang memuncak. Pemandangan Livia duduk di mobil Langit dengan senyuman tipis tapi mengabaikannya menghantamnya lebih keras dari argumen mana pun yang pernah mereka lalui."Pagi yang luar biasa." Rajendra menggumam sinis. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa sakitdi dadanya tidak kunjung reda.Sementara itu di dalam mobil Langit Livia merasa puas karena sudah membuat Rajendra kesal. Masih hangat di ingatannya saat dulu Rajendra menurunkannya di jalan hanya karena Utary."Kamu nggak apa-apa, Liv?" tanya Langit sambil menurunkan volume musik di mobilnya."Nggak apa-apa. I'm happy," jawab Livia membalas senyuman Langit.Langit tertawa. "Rajendra pasti bakalan tambah marah sama aku.""Biarin aja. Hobinya kan emang marah-marah."Tawa Langit bertambah lebar mendengar ucapan Livia."Gimana tinggal di rumah mertua? Betah?" tanyanya kemudian."Tante Lola dan Om Erwin sih baik.
Air muka Livia sontak berubah ketika nama Langit disebut. Ia tahu Lola tidak bermaksud buruk, namun rasa tidak nyaman tetap menyelimutinya."Saya bisa mengatur semuanya, Tante," jawab Livia tegas tapi tenang.Lola menatap Livia dengan kehangatan seorang ibu. "Liv, Tante ngerti kamu terbiasa mandiri, tapi kamu baru tiga bulan melahirkan. Kalau kamu terus memaksakan diri nanti kamu sendiri yang kewalahan.Livia menunduk, menggenggam sendoknya dengan erat. Ia sadar yang dikatakan Lola ada benarnya, namun hatinya terlalu berat untuk menerima bantuan, apalagi tinggal lebih lama di rumah itu.Rajendra yang diam sedari tadi, membuka suaranya. "Liv, Tante Lola cuma mau membantu, bukan bermaksud mengatur kamu. Soal terapi besok biar aku yang antar. Tinggalin Gadis di rumah. Dan tentang janji kamu pagi ini dengan orang lain, aku juga bisa mengantar dan menemani kamu."Livia terdiam. Sebenarnya janji yang ia maksud dengan seseorang hanyalah akal-akalan belaka agar ia diizinkan pulang ke rumah."