Livia terpincang ke kamarnya dengan pelan. Meskipun sudah pergi dan membelakangi Marina serta Utary, tetapi Livia masih merasakan tatapan tajam keduanya yang tertuju padanya.Setelah tiba di kamar Livia menutup pintu dengan pelan lalu merapatkan tubuhnya ke balik pintu tersebut. Livia merasa begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Kemudian ia melangkah ke sofa dinginnya dan duduk di sana. Dalam kesendirian tersebut Livia meremas ujung bajunya.Perkataan Marina masih terus berputar-putar di kepalanya. Setiap kali terngiang, perasaan sakit yang ia rasakan semakin dalam.Istri yang mandul, tidak berguna, yang kerjanya hanya makan serta tidur.Livia menghela napas mencoba menguatkan diri. Namun dirinya justru semakin rapuh.Perasaan mual itu kembali datang. Kali ini disertai perasaan ingin muntah. Livia cepat meraih tongkatnya kemudian bergegas menuju kamar mandi.Livia menangkup di wastafel mengeluarkan segala isi perutnya sampai ia kehabisan tenaga. Ketika ia mengangkat wajah,
Test pack tersebut masih berada di tangan Livia. Dua garis merah di sana bagaikan sebuah mukjizat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun di balik perasaan bahagia yang membuncah ada kekhawatiran yang menyelinap.Bagaimana sikap suaminya menanggapi hal besar ini?Apakah Rajendra akan menerima dengan senang hati atau justru sebaliknya? Livia tidak ingin kehadiran janin kecil di dalam rahimnya dianggap sebagai beban baru. Apalagi sudah ada Randu.Berbagai pikiran tersebut membuat Livia resah. Akan tetapi Livia juga menyadari bahwa berita ini adalah kesempatan untuk membuktikan dan mematahkan dugaan orang-orang. Ia ingin menunjukkan pada orang-orang yang menghinanya bahwa ia tidaklah serendah seperti yang mereka kira. Ia memiliki sesuatu yang berharga, yaitu janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Lama menenangkan diri, Livia memutuskan untuk menyimpan kabar ini sementara waktu. Ia ingin memastikan bahwa dirinya siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Rajendra menarik napas dalam-dalam dengan perasaan dongkol. Ditutupnya tirai kemudian tergesa menuju kamar Utary. Tangisan Randu terdengar kian lantang disusul teriakan Utary yang tidak sabar. "Lama banget sih!" Utary bersungut-sungut ketika melihat Rajendra muncul. "Kenapa bukan kamu sendiri yang urus?" balas Rajendra tak kalah kesal. Utary yang berdiri di pojok ruangan merotasi matanya dengan ekspresi malas. "Mana bisa aku ngurus gituan. Jijik aku tuh, Ndra. Lagian itu kan kerjaan Livia," ujarnya dengan ekspresi jijik lalu menutup hidung. Rajendra menggeleng-gelengkan kepalanya namun tidak lagi berkata apa-apa. Ia sedang malas bertengkar. Mood-nya baru saja memburuk akibat Livia pergi dengan Ryuga tadi. Rajendra mendekati Randu. Wajah bayi kecil itu memerah akibat terlalu lama menangis. Rajendra mengganti popok anak itu dan membersihkan kotorannya. Sedangkan Utary bersandar di dinding sambil mengamati itu semua. Setelah selesai Rajendra menggendong Randu hingga tangisnya
"Bu Livia!!!" teriak Hazel panik sembari mengguncang bahu Livia pelan.Ryuga yang mendengar teriakan Hazel langsung berlari ke arah mereka. Dilihatnya Livia terkulai lemah di pundak Hazel. Sepasang matanya terpejam. Wajahnya tampak semakin pucat."Livia! Livia!" panggil Ryuga cemas sembari mengguncang pundak wanita itu. "Bangun, Livia!"Akhirnya Livia membuka matanya. Sejenak tatapannya terlihat kosong sebelum sepenuhnya sadar."Maaf, saya hanya sedikit pusing," ujarnya lemah."Apanya yang sedikit? Kamu udah sempat pingsan begitu," omel Ryuga kemudian memapah Livia yang nyaris jatuh dari kursinya."Papa, gimana kalau Bu Livia kita bawa ke dokter," usul Hazel yang berdiri di dekat keduanya. Anak itu masih panik.Ryuga mengiakan. Ditatapnya Livia dengan muka serius. "Liv, saya antar kamu ke dokter sekarang."Cepat-cepat Livia gelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Saya nggak apa-apa. Tadi hanya sedikit pusing. Dibawa istirahat sebentar juga baikan.""Livia, jangan keras kepala. Ayo kita ke
Badan Livia sungguh terasa sangat tidak enak pagi ini. Kepalanya pusing. Ada gelombang dalam perutnya yang ingin menerjang keluar. Berkali-kali ia bolak-balik kamar mandi hanya untuk muntah.Setiap kali ia mencoba kembali berbaring di atas sofa dinginnya, gelombang mual kembali menyerang. Memaksanya tertatih-tatih ke kamar mandi."Huek ... Huek ... Huek ..." Suara muntahan kembali menggema, membuat tubuh Livia semakin lelah. Ia menghela napas panjang tapi perasaan sakit itu tidak kunjung reda. Pandangannya nanar, tubuh Livia juga gemetar. Livia tidak tahu apa ia sanggup bertahan tanpa meringkuk di sofa sepanjang hari ini.Livia lalu keluar dari kamar mandi dengan agak terhuyung."Huek huek huek. Ngapain sih muntah-muntah terus? Ribut aja kayak orang lagi hamil," omel Rajendra yang masih membungkus dirinya dengan selimut. Entah ada angin apa, tadi malam Rajendra tidur di kamarnya dengan Livia.Detik itu juga langkah kaki Livia terhenti. Sontak dipegangi perut dengan tangannya yang beb
Hati Livia hancur sejadinya mendengar perkataan Rajendra. Bukan hal seperti ini yang ingin didengarnya."Katakan, Livia, kamu hamil anak siapa? Duda kesepian itu atau si brengsek langit?" Tatapan Rajendra semakin tajam seolah ingin membelah tubuh Livia.Livia merasakan seolah dunia runtuh di sekitarnya. Dipejamkannya mata, berusaha menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Perkataan Rajendra yang tajam terus menggema di kepalanya.Setelah kekuatannya untuk bicara kembali terkumpul Livia kemudian berkata, "Bagaimana mungkin kamu berpikiran seperti itu? Saya ini istrimu, Ndra. Dan saya sedang mengandung anakmu."Rajendra menyikapi dengan tawa miring. "Apa kamu bilang? Istri? Apa kamu lupa aku menikahimu karena terpaksa? Dan aku nggak pernah menganggapmu sebagai istri. Jangan pernah kamu lupakan itu.""Saya tahu tapi bukan berarti kamu nggak pernah menyentuh saya. Ingat, Ndra, kita sudah menikah selama dua tahun lebih.""Oh ya? Kalau memang begitu kenapa baru sekarang kamu hamil? Kenapa
Livia menatap pantulan dirinya di kaca. Matanya merah dan sembap. Terlalu sulit untuk menutupinya. Orang-orang akan tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.Rajendra sudah pergi sejak satu jam yang lalu setelah meninggalkan kata-kata yang menyakiti perasaan Livia."Gugurkan anak itu atau aku akan membuat kamu lebih menderita."Livia kembali terisak mengingatnya. Ia tidak menyangka perkataan keji itu akan keluar dari mulut Rajendra. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin menggugurkan anak ini." Livia menggumam sendiri di tengah-tengah kesedihannya.Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana. Anugerah yang sudah bertahun-tahun dinantikannya.Tidak. Livia tidak akan membunuh anak itu."Bunda nggak akan sekejam itu, Sayang. Bunda akan selalu melindungi kamu. Kita berjuang sama-sama ya, Nak. Maafin Papa. Papa nggak jahat tapi dia hanya belum bisa menerima kenyataan." Livia mengelus perutnya begitu lama sambil mengajak bicara janin
Tubuh Livia mendadak tegang begitu ia mendengar perkataan Utary. Kata-kata itu begitu menusuk jauh sampai ke dalam relung hatinya.Mandul. Mandul. Mandul.Kata tersebut menggema di kepalanya. Diucapkan dengan santai tapi membuat sakit di hati Livia semakin dalam.Bukan hal yang baru Livia mendengar ada orang menghinanya dengan kata tersebut. Tapi mengingat saat ini dirinya sedang mengandung, Livia merasa tertantang untuk mengatakan pada orang-orang bahwa dirinya juga bisa hamil. Ia ingin membuktikannya.'Sabar, Liv, jangan sekarang. Akan ada waktunya.' Livia membatin sendiri menguatkan hatinya."Saya memang nggak sempurna tapi saya nggak butuh kehidupan yang sempurna seperti yang kamu bilang." Livia akhirnya membalas perkataan Utary tadi. "Dan mengenai Ryuga, dia memang orang yang baik. Tapi saya berhak atas hidup saya sendiri. Kalau menurut kamu hidup saya dengan Rajendra sangat buruk, mungkin iya. Tapi itu urusan saya. Saya akan memperjuangkan pernikahan ini sampai akhir. Bukan kare
Rajendra mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Rasa marah, frustrasi dan sedih bercampur menjadi satu mengisi hatinya.Setiap kali memikirkan bahwa Livia tinggal di bawah atap yang sama dengan Langit, emosinya naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin wanita yang dulu menjadi istrinya menolaknya dengan keras, namun membiarkan lelaki lain masuk ke dalam kehidupannya?"Gue nggak bakal biarin ini berlangsung lebih lama," gumamnya sambil mencengkeram setir kuat-kuat.Setelah tiba di depan rumah Livia, Rajendra mematikan mesin mobil. Setelah turun dari sana, ia melangkah lebar ke depan pintu rumah Livia dan mengetuknya dengan kuat."Livia!" serunya keras. "Livia, buka pintunya atau aku dobrak!"Livia sedang menidurkan Gadis ketika mendengar suara keras itu. Ia terkejut mendengarnya. Gadis mengerjap kecil dengan setengah tertidur.Livia bangkit dari tempat tidur dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamarnya.Langit yang juga mendengar keributan itu lebih dulu sampai ke ruang tamu
Selepas Lola pergi, Livia mengembuskan napas panjang. Rasanya begitu lega. Siapa pun yang ada kaitannya dengan Rajendra membuatnya tidak nyaman.Livia tidak percaya kalau Rajendra mencintainya seperti yang dikatakan Langit. Livia yakin di balik ingin kembalinya Rajendra hanya untuk menindas Livia. Livia masih ingat betul segala perkataan Rajendra dulu bahwa dia tidak ingin menceraikan Livia agar hidup Livia menderita karena Livia juga sudah membuatnya menderita. Gara-gara Livia Rajendra harus kehilangan wanita yang dicintainya. Lalu kini Livia menyimpulkan. Agar Livia menderita maka Rajendra sengaja mencari wanita lain untuk menyakitinya, yaitu Utary.Livia tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Livia tidak tahu siapa sesungguhnya wanita yang dicintai Rajendra. Entah wanita itu masih hidup atau sudah mati. Bisa saja sewaktu-waktu wanita itu muncul ke dalam kehidupannya dan Rajendra. Terlepas dari semua kejahatan Rajendra dulu, bagi Livia, inilah jalan terbaik. Hidup berdua
Sudah dua minggu lamanya Gadis bernapas di dunia. Hampir setiap hari ada paket yang datang ke rumah melalui ekspedisi. Isinya adalah perlengkapan bayi seperti baju, selimut, dan yang lainnya. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi Livia yakin 100% bahwa yang mengirimnya adalah Rajendra. Kalau dulu Livia mengembalikan semua barang-barang yang diberi lelaki itu ke rumahnya, sekarang setiap ada paket yang datang berisi perlengkapan Gadis maka Livia akan membuangnya tanpa pikir panjang.Pintu rumah diketuk ketika Livia sedang merajut. Saat itu Gadis tengah tidur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya.Livia mengembuskan napasnya. Ia curiga jangan-jangan pihak ekspedisi lagi yang datang untuk mengantar paket dari Rajendra.Meraih tongkatnya, Livia berjalan dengan terpincang-pincang untuk membuka pintu rumah. Ia sudah bersiap-siap menolak jika paket itu tanpa nama. Namun yang dilihatnya bukan tukang paket, melainkan Lola, mertua tirinya."Tante Lola?" Livia terkejut atas banyak
Malam telah larut ketika Rajendra tiba di rumah. Seharian itu ia melalui waktu di kantor dengan pikiran kacau balau. Pembicaraan dengan Livia tadi siang masih terus melekat di benaknya. Termasuk sorot dingin wanita itu yang menyiratkan ketegasan agar menjauh dari hidupnya.Rajendra memarkir mobilnya di halaman rumah dengan rasa lelah. Setelah ia turun, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya kaget.Di depan rumahnya tampak perlengkapan bayi yang ia beli untuk Gadis."Apa-apaan?" gerutunya kesal.Rajendra melangkah mendekat dengan deru napas yang bertambah berat. Tangannya menyentuh satu demi satu barang-barang itu seakan ingin memastikan bahwa seluruh barang ini memang barang yang ia belikan untuk putrinya. Barang-barang yang dibawanya ke rumah Livia dengan harapan akan diterima. Yang terjadi, Livia menolak itu semua. Bukan hanya menolak, tapi juga meminta orang untuk mengembalikan ke rumah Rajendra.Terdengar embusan napas panjang dari mulut Rajendra. Kedua tangannya t
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera
Rajendra tersentak mendengar perkataan Livia. Hatinya tersayat-sayat.Om Rajendra, bukan Ayah atau Papa.Sebutan itu memisahkannya dari Gadis, darah dagingnya sendiri.Langit menggeser diri ke pojok ruangan dan memalingkan wajah. Ia mencoba tidak terlibat dalam ketegangan antara Livia dan Rajendra. ia sadar diri, ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.Rajendra menatap bayi kecil itu dengan perasaan sedih. "Livia, aku nggak minta banyak. Aku cuma mau menggendong Gadis sekali aja, biar dia tahu kalau aku adalah ayahnya."Livia membalas tatapan Rajendra dengan sorot dingin. "Kamu bilang kamu ayahnya. Lupa apa yang kamu lakukan dulu? Kamu menuduh saya selingkuh. Kamu menolak anak ini sebagai darah dagingmu. Lalu sekarang kamu datang mengaku-ngaku sebagai ayahnya setelah saya melewati semuanya sendirian?"Rajendra tidak berani membalas kata-kata Livia ketika perempuan itu menghakiminya. Selama beberapa detik mereka terdiam. Hanya mata Rajendra yang menatap Gadis dengan pandangan sedih.
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L