Setelah tiba di kamar mandi Livia menatap refleksinya di cermin. Wajahnya terlihat lebih pucat dari yang sudah-sudah. Tubuhnya juga terasa sangat lemah. Dipercikkannya air dingin ke wajahnya. Namun ternyata tidak bisa menghilangkan mual yang menerpanya.Mungkin aku terlalu kelelahan mengurus Randu, batinnya.Teringat Randu yang ia tinggalkan begitu saja ditambah lagi tangisan anak itu membuat Livia cepat-cepat keluar dari kamar mandi."Astaga, Randu sayang, maafin Mama, Nak, Mama nggak tahu kalau kamu udah bangun. Mama tadi lagi nyetrika baju kamu, Sayang." Livia mendengar suara Utary lalu melihatnya tergopoh-gopoh menuju stroller Randu dan menggendong anak itu. Utary tidak sendiri di sana tapi ada juga Marina, mertuanya."Bu Marina. Saya nggak tahu kalau Ibu datang," sapa Livia. Ia bermaksud menjabat tangan Marina sebagai tanda sopan santun pada mertuanya.Alih-alih akan menyambutnya wanita itu malah menyilangkan tangan di dada dan membiarkan tangan Livia menggantung di udara.Dengan
Livia terpincang ke kamarnya dengan pelan. Meskipun sudah pergi dan membelakangi Marina serta Utary, tetapi Livia masih merasakan tatapan tajam keduanya yang tertuju padanya.Setelah tiba di kamar Livia menutup pintu dengan pelan lalu merapatkan tubuhnya ke balik pintu tersebut. Livia merasa begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Kemudian ia melangkah ke sofa dinginnya dan duduk di sana. Dalam kesendirian tersebut Livia meremas ujung bajunya.Perkataan Marina masih terus berputar-putar di kepalanya. Setiap kali terngiang, perasaan sakit yang ia rasakan semakin dalam.Istri yang mandul, tidak berguna, yang kerjanya hanya makan serta tidur.Livia menghela napas mencoba menguatkan diri. Namun dirinya justru semakin rapuh.Perasaan mual itu kembali datang. Kali ini disertai perasaan ingin muntah. Livia cepat meraih tongkatnya kemudian bergegas menuju kamar mandi.Livia menangkup di wastafel mengeluarkan segala isi perutnya sampai ia kehabisan tenaga. Ketika ia mengangkat wajah,
Test pack tersebut masih berada di tangan Livia. Dua garis merah di sana bagaikan sebuah mukjizat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun di balik perasaan bahagia yang membuncah ada kekhawatiran yang menyelinap.Bagaimana sikap suaminya menanggapi hal besar ini?Apakah Rajendra akan menerima dengan senang hati atau justru sebaliknya? Livia tidak ingin kehadiran janin kecil di dalam rahimnya dianggap sebagai beban baru. Apalagi sudah ada Randu.Berbagai pikiran tersebut membuat Livia resah. Akan tetapi Livia juga menyadari bahwa berita ini adalah kesempatan untuk membuktikan dan mematahkan dugaan orang-orang. Ia ingin menunjukkan pada orang-orang yang menghinanya bahwa ia tidaklah serendah seperti yang mereka kira. Ia memiliki sesuatu yang berharga, yaitu janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Lama menenangkan diri, Livia memutuskan untuk menyimpan kabar ini sementara waktu. Ia ingin memastikan bahwa dirinya siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Rajendra menarik napas dalam-dalam dengan perasaan dongkol. Ditutupnya tirai kemudian tergesa menuju kamar Utary. Tangisan Randu terdengar kian lantang disusul teriakan Utary yang tidak sabar. "Lama banget sih!" Utary bersungut-sungut ketika melihat Rajendra muncul. "Kenapa bukan kamu sendiri yang urus?" balas Rajendra tak kalah kesal. Utary yang berdiri di pojok ruangan merotasi matanya dengan ekspresi malas. "Mana bisa aku ngurus gituan. Jijik aku tuh, Ndra. Lagian itu kan kerjaan Livia," ujarnya dengan ekspresi jijik lalu menutup hidung. Rajendra menggeleng-gelengkan kepalanya namun tidak lagi berkata apa-apa. Ia sedang malas bertengkar. Mood-nya baru saja memburuk akibat Livia pergi dengan Ryuga tadi. Rajendra mendekati Randu. Wajah bayi kecil itu memerah akibat terlalu lama menangis. Rajendra mengganti popok anak itu dan membersihkan kotorannya. Sedangkan Utary bersandar di dinding sambil mengamati itu semua. Setelah selesai Rajendra menggendong Randu hingga tangisnya
"Bu Livia!!!" teriak Hazel panik sembari mengguncang bahu Livia pelan.Ryuga yang mendengar teriakan Hazel langsung berlari ke arah mereka. Dilihatnya Livia terkulai lemah di pundak Hazel. Sepasang matanya terpejam. Wajahnya tampak semakin pucat."Livia! Livia!" panggil Ryuga cemas sembari mengguncang pundak wanita itu. "Bangun, Livia!"Akhirnya Livia membuka matanya. Sejenak tatapannya terlihat kosong sebelum sepenuhnya sadar."Maaf, saya hanya sedikit pusing," ujarnya lemah."Apanya yang sedikit? Kamu udah sempat pingsan begitu," omel Ryuga kemudian memapah Livia yang nyaris jatuh dari kursinya."Papa, gimana kalau Bu Livia kita bawa ke dokter," usul Hazel yang berdiri di dekat keduanya. Anak itu masih panik.Ryuga mengiakan. Ditatapnya Livia dengan muka serius. "Liv, saya antar kamu ke dokter sekarang."Cepat-cepat Livia gelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Saya nggak apa-apa. Tadi hanya sedikit pusing. Dibawa istirahat sebentar juga baikan.""Livia, jangan keras kepala. Ayo kita ke
Badan Livia sungguh terasa sangat tidak enak pagi ini. Kepalanya pusing. Ada gelombang dalam perutnya yang ingin menerjang keluar. Berkali-kali ia bolak-balik kamar mandi hanya untuk muntah.Setiap kali ia mencoba kembali berbaring di atas sofa dinginnya, gelombang mual kembali menyerang. Memaksanya tertatih-tatih ke kamar mandi."Huek ... Huek ... Huek ..." Suara muntahan kembali menggema, membuat tubuh Livia semakin lelah. Ia menghela napas panjang tapi perasaan sakit itu tidak kunjung reda. Pandangannya nanar, tubuh Livia juga gemetar. Livia tidak tahu apa ia sanggup bertahan tanpa meringkuk di sofa sepanjang hari ini.Livia lalu keluar dari kamar mandi dengan agak terhuyung."Huek huek huek. Ngapain sih muntah-muntah terus? Ribut aja kayak orang lagi hamil," omel Rajendra yang masih membungkus dirinya dengan selimut. Entah ada angin apa, tadi malam Rajendra tidur di kamarnya dengan Livia.Detik itu juga langkah kaki Livia terhenti. Sontak dipegangi perut dengan tangannya yang beb
Hati Livia hancur sejadinya mendengar perkataan Rajendra. Bukan hal seperti ini yang ingin didengarnya."Katakan, Livia, kamu hamil anak siapa? Duda kesepian itu atau si brengsek langit?" Tatapan Rajendra semakin tajam seolah ingin membelah tubuh Livia.Livia merasakan seolah dunia runtuh di sekitarnya. Dipejamkannya mata, berusaha menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Perkataan Rajendra yang tajam terus menggema di kepalanya.Setelah kekuatannya untuk bicara kembali terkumpul Livia kemudian berkata, "Bagaimana mungkin kamu berpikiran seperti itu? Saya ini istrimu, Ndra. Dan saya sedang mengandung anakmu."Rajendra menyikapi dengan tawa miring. "Apa kamu bilang? Istri? Apa kamu lupa aku menikahimu karena terpaksa? Dan aku nggak pernah menganggapmu sebagai istri. Jangan pernah kamu lupakan itu.""Saya tahu tapi bukan berarti kamu nggak pernah menyentuh saya. Ingat, Ndra, kita sudah menikah selama dua tahun lebih.""Oh ya? Kalau memang begitu kenapa baru sekarang kamu hamil? Kenapa
Livia menatap pantulan dirinya di kaca. Matanya merah dan sembap. Terlalu sulit untuk menutupinya. Orang-orang akan tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.Rajendra sudah pergi sejak satu jam yang lalu setelah meninggalkan kata-kata yang menyakiti perasaan Livia."Gugurkan anak itu atau aku akan membuat kamu lebih menderita."Livia kembali terisak mengingatnya. Ia tidak menyangka perkataan keji itu akan keluar dari mulut Rajendra. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin menggugurkan anak ini." Livia menggumam sendiri di tengah-tengah kesedihannya.Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana. Anugerah yang sudah bertahun-tahun dinantikannya.Tidak. Livia tidak akan membunuh anak itu."Bunda nggak akan sekejam itu, Sayang. Bunda akan selalu melindungi kamu. Kita berjuang sama-sama ya, Nak. Maafin Papa. Papa nggak jahat tapi dia hanya belum bisa menerima kenyataan." Livia mengelus perutnya begitu lama sambil mengajak bicara janin
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha
Rajendra membawa Livia dengan disupiri Geri setelah menitipkan anak-anak pada Bu Mimi. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak panik. Maklum saja, ini adalah untuk pertama kalinya Rajendra melewati semua momen kehamilan Livia, mulai dari morning sickness, masa-masa Livia tidak bisa makan apa pun, masa-masa betapa protektifnya Rajendra padanya, masa-masa kehamilan tua di mana Livia mulai merasa kesakitan di mana-mana dan tidak bisa tidur hingga saat ini tiba masanya untuk melahirkan."Sakit banget, Ndraaa ..." Livia merintih tidak tahan di atas pangkuan Rajendra."Iya, Sayang. Sabar sebentar ya. Nggak lama lagi kita nyampe di rumah sakit," kata Rajendra sambil mengelus-elus perut Livia. "Ger, lebih kencang lagi," suruh Rajendra pada Geri agar menaikkan kecepatan."Baik, Pak," jawab Geri sambil memandang melalui spion tengah kemudian menekan pedal gas lebih dalam.Selama dalam perjalanan ke rumah sakit Livia terus merintih. Melihat ringisan di wajahnya membuat Rajendra tidak tahan. Andai
Kehamilan ketiga ini tidak mudah bagi Livia. Kondisinya lebih lemah dari dua kehamilan sebelumnya. Livia yang sering mual dan muntah-muntah otomatis membuat anak-anak bertanya apa yang terjadi pada ibu mereka."Bang Randu, tahu nggak kenapa Bunda muntah-muntah terus?" tanya Gadis pada Randu ketika mereka akan berangkat sekolah pagi itu.Livia yang muntah setiap pagi dan Rajendra yang selalu memijit tengkuknya adalah pemandangan yang sering dilihat anak-anak belakangan ini.Randu mengangkat bahunya tidak tahu. "Entahlah. Abang juga nggak tahu, Dis.""Apa mungkin Bunda lagi sakit?" Gadis terlihat khawatir."Kita tanya aja langsung yuk," ajak Randu.Kedua anak itu menunggu Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang saat mendengar suara muntahan dari arah dalam sana.Beberapa menit kemudian Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi."Ngapain pada kumpul di sini?" tanya Rajendra."Adis dengar Bunda muntah-muntah terus setiap pagi, Pa. Bunda sakit apa, Pa?" tanya Gad
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a