Rajendra menarik napas dalam-dalam dengan perasaan dongkol. Ditutupnya tirai kemudian tergesa menuju kamar Utary. Tangisan Randu terdengar kian lantang disusul teriakan Utary yang tidak sabar. "Lama banget sih!" Utary bersungut-sungut ketika melihat Rajendra muncul. "Kenapa bukan kamu sendiri yang urus?" balas Rajendra tak kalah kesal. Utary yang berdiri di pojok ruangan merotasi matanya dengan ekspresi malas. "Mana bisa aku ngurus gituan. Jijik aku tuh, Ndra. Lagian itu kan kerjaan Livia," ujarnya dengan ekspresi jijik lalu menutup hidung. Rajendra menggeleng-gelengkan kepalanya namun tidak lagi berkata apa-apa. Ia sedang malas bertengkar. Mood-nya baru saja memburuk akibat Livia pergi dengan Ryuga tadi. Rajendra mendekati Randu. Wajah bayi kecil itu memerah akibat terlalu lama menangis. Rajendra mengganti popok anak itu dan membersihkan kotorannya. Sedangkan Utary bersandar di dinding sambil mengamati itu semua. Setelah selesai Rajendra menggendong Randu hingga tangisnya
"Bu Livia!!!" teriak Hazel panik sembari mengguncang bahu Livia pelan.Ryuga yang mendengar teriakan Hazel langsung berlari ke arah mereka. Dilihatnya Livia terkulai lemah di pundak Hazel. Sepasang matanya terpejam. Wajahnya tampak semakin pucat."Livia! Livia!" panggil Ryuga cemas sembari mengguncang pundak wanita itu. "Bangun, Livia!"Akhirnya Livia membuka matanya. Sejenak tatapannya terlihat kosong sebelum sepenuhnya sadar."Maaf, saya hanya sedikit pusing," ujarnya lemah."Apanya yang sedikit? Kamu udah sempat pingsan begitu," omel Ryuga kemudian memapah Livia yang nyaris jatuh dari kursinya."Papa, gimana kalau Bu Livia kita bawa ke dokter," usul Hazel yang berdiri di dekat keduanya. Anak itu masih panik.Ryuga mengiakan. Ditatapnya Livia dengan muka serius. "Liv, saya antar kamu ke dokter sekarang."Cepat-cepat Livia gelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Saya nggak apa-apa. Tadi hanya sedikit pusing. Dibawa istirahat sebentar juga baikan.""Livia, jangan keras kepala. Ayo kita ke
Badan Livia sungguh terasa sangat tidak enak pagi ini. Kepalanya pusing. Ada gelombang dalam perutnya yang ingin menerjang keluar. Berkali-kali ia bolak-balik kamar mandi hanya untuk muntah.Setiap kali ia mencoba kembali berbaring di atas sofa dinginnya, gelombang mual kembali menyerang. Memaksanya tertatih-tatih ke kamar mandi."Huek ... Huek ... Huek ..." Suara muntahan kembali menggema, membuat tubuh Livia semakin lelah. Ia menghela napas panjang tapi perasaan sakit itu tidak kunjung reda. Pandangannya nanar, tubuh Livia juga gemetar. Livia tidak tahu apa ia sanggup bertahan tanpa meringkuk di sofa sepanjang hari ini.Livia lalu keluar dari kamar mandi dengan agak terhuyung."Huek huek huek. Ngapain sih muntah-muntah terus? Ribut aja kayak orang lagi hamil," omel Rajendra yang masih membungkus dirinya dengan selimut. Entah ada angin apa, tadi malam Rajendra tidur di kamarnya dengan Livia.Detik itu juga langkah kaki Livia terhenti. Sontak dipegangi perut dengan tangannya yang beb
Hati Livia hancur sejadinya mendengar perkataan Rajendra. Bukan hal seperti ini yang ingin didengarnya."Katakan, Livia, kamu hamil anak siapa? Duda kesepian itu atau si brengsek langit?" Tatapan Rajendra semakin tajam seolah ingin membelah tubuh Livia.Livia merasakan seolah dunia runtuh di sekitarnya. Dipejamkannya mata, berusaha menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Perkataan Rajendra yang tajam terus menggema di kepalanya.Setelah kekuatannya untuk bicara kembali terkumpul Livia kemudian berkata, "Bagaimana mungkin kamu berpikiran seperti itu? Saya ini istrimu, Ndra. Dan saya sedang mengandung anakmu."Rajendra menyikapi dengan tawa miring. "Apa kamu bilang? Istri? Apa kamu lupa aku menikahimu karena terpaksa? Dan aku nggak pernah menganggapmu sebagai istri. Jangan pernah kamu lupakan itu.""Saya tahu tapi bukan berarti kamu nggak pernah menyentuh saya. Ingat, Ndra, kita sudah menikah selama dua tahun lebih.""Oh ya? Kalau memang begitu kenapa baru sekarang kamu hamil? Kenapa
Livia menatap pantulan dirinya di kaca. Matanya merah dan sembap. Terlalu sulit untuk menutupinya. Orang-orang akan tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.Rajendra sudah pergi sejak satu jam yang lalu setelah meninggalkan kata-kata yang menyakiti perasaan Livia."Gugurkan anak itu atau aku akan membuat kamu lebih menderita."Livia kembali terisak mengingatnya. Ia tidak menyangka perkataan keji itu akan keluar dari mulut Rajendra. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin menggugurkan anak ini." Livia menggumam sendiri di tengah-tengah kesedihannya.Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana. Anugerah yang sudah bertahun-tahun dinantikannya.Tidak. Livia tidak akan membunuh anak itu."Bunda nggak akan sekejam itu, Sayang. Bunda akan selalu melindungi kamu. Kita berjuang sama-sama ya, Nak. Maafin Papa. Papa nggak jahat tapi dia hanya belum bisa menerima kenyataan." Livia mengelus perutnya begitu lama sambil mengajak bicara janin
Tubuh Livia mendadak tegang begitu ia mendengar perkataan Utary. Kata-kata itu begitu menusuk jauh sampai ke dalam relung hatinya.Mandul. Mandul. Mandul.Kata tersebut menggema di kepalanya. Diucapkan dengan santai tapi membuat sakit di hati Livia semakin dalam.Bukan hal yang baru Livia mendengar ada orang menghinanya dengan kata tersebut. Tapi mengingat saat ini dirinya sedang mengandung, Livia merasa tertantang untuk mengatakan pada orang-orang bahwa dirinya juga bisa hamil. Ia ingin membuktikannya.'Sabar, Liv, jangan sekarang. Akan ada waktunya.' Livia membatin sendiri menguatkan hatinya."Saya memang nggak sempurna tapi saya nggak butuh kehidupan yang sempurna seperti yang kamu bilang." Livia akhirnya membalas perkataan Utary tadi. "Dan mengenai Ryuga, dia memang orang yang baik. Tapi saya berhak atas hidup saya sendiri. Kalau menurut kamu hidup saya dengan Rajendra sangat buruk, mungkin iya. Tapi itu urusan saya. Saya akan memperjuangkan pernikahan ini sampai akhir. Bukan kare
Setelah menerima telepon dari Rajendra, Langit duduk di sofa apartemennya dengan dahi berkerut bingung. Ia tidak tahu kenapa Rajendra meneleponnya apalagi dengan marah-marah seperti tadi. Langit mengingat-ingat apa ada sesuatu hal baru-baru ini yang ia lakukan sehingga Rajendra tersinggung. Tapi rasanya tidak ada."Kenapa dia bisa semarah itu?" Langit bermonolog sendiri namun tetap tidak mendapat jawaban.Beberapa saat setelahnya terdengar ketukan pintu. Langit bangkit dari sofa lalu melangkah gontai menuju pintu. Setelah pintu terbuka ia menemukan Rajendra berdiri di hadapannya dengan wajah tegang dan mata menyala penuh emosi."Gue perlu bicara sama lo," ucap Rajendra sambil melangkah masuk sebelum Langit memberi izin."Ada apa, Ndra? Lo kenapa?" sikap Langit tetap tenang. Begitu kontras dengan Rajendra yang begitu terbakar emosi.Rajendra menatap tajam, bersiap meluncurkan serangan. "Lo pikir gua nggak tahu, hah?""Lo tahu apa?" Langit benar-benar kebingungan sekarang."Jangan pura-
Ryuga. Satu nama itu menjadi sasaran Rajendra berikutnya. Livia hanya dekat dengan Langit dan Ryuga. Maka karena Langit tidak mengaku, Ryuga tidak akan lagi bisa menghindar. Sayangnya Langit tidak tahu di mana alamat kantor lelaki itu. Jadi ia terpaksa mengulurkan niatnya untuk bertemu.Sementara itu di rumah Livia tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa walau keadaannya tidak baik-baik saja. Sedikit-sedikit mual. Sedikit-sedikit muntah. Ia ingin beristirahat namun masih banyak yang harus dilakukannya.Bunyi bel yang menggema memaksa Livia bergerak dari tempatnya. Perempuan itu melangkah terpincang-pincang untuk membukakan pintu. Ia sedikit terkejut melihat tamunya.Langit. Mengingat pertengkarannya tadi pagi tentang Rajendra yang menuduh Langit sebagai ayah biologis anaknya membuat Livia merasa tegang. Tapi untung saja Rajendra sudah berangkat ke kantor."Jadi aku nggak boleh masuk nih?" gurau Langit melihat Livia hanya membiarkannya berdiri di sisi pintu.Livia terkesiap lalu ter
Pagi itu Livia bertemu dengan Rajendra. Rajendra mengantar anak-anak ke sekolah sedangkan Livia datang ke daycare untuk mengatakan bahwa mulai hari ini Gadis tidak dititip lagi ke sana karena sudah ada omanya."Nanti pulangnya dijemput Papa lagi kan?" tanya Adis yang digandeng Rajendra di tangan kanan sedangkan tangan kiri Rajendra menggandeng Lunetta. Di sebelahnya ada Randu."Hmm ... kalo misalnya kali ini Papa nggak bisa jemput Adis, gimana?" Rajendra membuat pengandaian."Papa sibuk kerja ya, Pa?""Lumayan, Sayang. Papa sibuk banget. Papa lagi banyak kerjaan.""Berarti Adis di daycare sampai sore?" Gadis menengadah dan terlihat sedikit kecewa."Nggak juga, Sayang. Nanti Adis, Kak Lunetta dan Bang Randu dijemput sama Om Geri ya?"Dahi Gadis berkerut. Ini adalah untuk pertama kalinya ia mendengar nama itu. Siapa dia? pikirnya."Om Geri tuh siapa, Pa?""Om Geri supir Papa. Orangnya baik dan nggak galak. Adis nggak usah takut pokoknya." "Lebih baik mana dari Om Jav?" Gadis mendongak
Livia terdiam menatap cincin berlian yang berkilau di dalam kotak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semestinya ini momen yang membahagiakan kan? Tapi mengapa ada sesuatu yang terasa berat? Ia teringat bagaimana sentuhan tidak sopan Handi. Dan bagaimana Javier hanya tertawa dan menganggapnya sebagai angin lalu. Malam ini membuka matanya bahwa dunia Javier bukanlah dunianya."Maaf, Jav, aku nggak bisa."Ekspresi Javier seketika berubah. "Maksud kamu.""Aku nggak bisa menerima lamaran kamu. Itu maksudku."Kotak cincin tadi masih berada di tangan Javier namun terasa berada begitu jauh sekarang."Kenapa? Aku pikir kita sudah sangat lama bersama. Aku pikir ini yang kamu inginkan."Livia menggeleng. "Kita berbeda, Jav. Cara kita memandang hidup nggak sama. Selain itu statusku masih istri orang," jelas Livia."Itu makanya aku suruh kamu mengurus perceraian. Agar semua jelas. Jadi kalau pun kamu mau menolakku seenggaknya dalam status bukan sebagai istri orang." Pada bagian ini suara Javier te
Di halaman belakang rumah aroma ikan bakar semakin kuat. Dengan telaten Rajendra membolak-balikkan ikan besar di atas panggangan. Sementara di sebelahnya beberapa ekor ikan kecil sedang digoreng hingga renyah.Gadis duduk di bangku plastik, menunggu dengan sabar sambil mengayun kakinya. Sesekali menghirup aroma ikan bakar dengan penuh rasa antusias. Begitu berbeda dengan Lunetta yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Anak itu tampak tidak senang."Papa, kenapa ikan buat aku cuma ikan kecil?" Lunetta memprotes, membandingkan dengan ikan besar yang dibakar untuk Gadis."Tadi Kak Lunetta bilang mau ikan goreng kan? Jadi Papa gorengkan. Lihat nih walau kecil-kecil tapi banyak. Ikan kecil ini kalau dikumpulin bakalan sama kayak ikan bakar Adis.""Tapi tetap aja Adis dapat yang besar sedangkan aku yang kecil. Aku mau ikan yang besar!" Lunetta bersungut-sungut."Kalau Kak Lunetta mau ikan besar, ambil punya Adis aja, Kak," ujar Gadis mengalah."Aku kan udah bilang nggak suka ika
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.