Kupeluk tubuh Habib yang kurus dengan erat sembari menangis. Belaian lembut mengusap rambutnya yang hitam lurus,berusaha untuk menenangkannya agar tidak terlalu bersedih karena kepergian ayahnya. Mata para tetangga mulai menatapku dengan pandangan dingin dan kaku. Kasak-kusuk terdengar cibiran dari mulut mereka.
"Habib, ayo kita masuk, Nak! Tidak baik terus berada di luar," ucapku lirih.
"Ayah, pergi Bunda," kata Habib sembari memelukku.
"Duh, ada janda baru di kampung kita, nih. Ibu-Ibu harap waspada dengan Ayi sekarang. Dia baru saja mendapat gelar janda baru karena suaminya menceraikannya sewaktu pulang," sela Bu Lina tetangga sebelah kananku.
"Kasihan, sudah ditinggal merantau lima tahun pulang malah diceraikan," ucap Bu Irma menimpali. Wanita bertubuh tambun tersebut suka gosip.
Aku hanya mengelus dada medengar cibiran para tetangga. Ada rasa perih yang mengucur dalam hatiku seperti diperasi air lemon. Segera kubawa Habib masuk kedalam rumah untuk menghindari fitnah dan gibahan para Ibu-Ibu.
Sesampai di dalam rumah kututup pintu dengan rapat. Aku segera membawa Nara untuk mandi karena hari semakin senja. Habib masih duduk di kursi bambu yang sudah mulai lapuk dengan memeluk lututnya.
"Nak, bantu Bunda untuk mengangkat kain di luar sebentar lagi akan turun hujan," ujarku. Habib melangkah dengan gontai menuju jemuran belakang.
Mendung menutupi awan yang gelap di langit yang terlihat hitam. Sebentar lagi akan turun hujan kalau di lihat dari gelapnya mendung dari arah barat.
Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti langit, seperti hatiku yang kini di landa badai kehancuran dari rumah tangga yang selama lima tahun aku bina. Hampir sebelas tahun hidup dengan Mas Anan dalam suka dan duka.
***
Malam yang dingin terasa menembus kulit dari dalam. Hujan turun dengan deras hingga membuatku harus banyak menampung air dari genang air hujan, atap rumah semuanya pada bocor.
Ember dan baskom pelastik pun berjejer di atas lantai semen yang sudah mulai retak sana-sini. Kupeluk erat tubuh Nara yang mulai kedinginan karena tertetes air hujan. Sementara Habib, mulai terlihat mengigil juga karena menahan dingin akibat guyuran air dari atap yang bocor.
"Habib, kemarilah Nak! Mendekat sama Bunda biar baju kamu gak basah," ucapku.
Habib, segera bangun dari tidurnya dan mendekatiku ke arah pojokkan tempat tidur yang beralaskan tilam busa yang sudah kempes. Tilam pemberian dari Ibu Helmi sewaktu mengantar cucian. Bu Helmi adalah istri kepala desa.
"Bunda, dingin," keluh Habib.
Ia meringkuk menahan rasa dingin yang kian menusuk di kulit.
"Pakai ini, Nak!" kosodorkan baju hangat yang kupakai agar ia bisa merasa nyaman.
"Bunda, kenapa Ayah benci sama kita dan tidak mau pulang," ucapnya polos.
Jantungku terasa nyeri ketika ia mengatakan kalimat itu.
"Ayah, gak benci sama kita, Nak. Mungkin hatinya belum terbuka, kita do'a' kan saja agar Ayah diberi hidayah dan menyadari kesalahannya."
"Bunda, Adik haus," ucap Nara.
Segera aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambilkan air minum buat Nara.
"Ini, minumlah!" kuberikan segelas air putih untuk putri kecilku.
Ia meneguknya hingga habis dan memberikan gelas bekas minumnya padaku.
"Makasih, Bunda," balasnya. Kembali Nara melanjutkan tidurnya sembari kubalutkan selimut.
Malam ini kami tertidur dalam keadaan meringkuk menahan dingin, hingga waktu subuh menjelang sampai hujan reda. Rasa dingin yang menusuk tulang masih terasa akibat guyuran hujan semalam. Aku bangkit untuk menunaikan salat subuh sebelum akhirnya kubangunkan Habib, untuk melaksanakan kewajiban lima waktu juga.
"Habib, bangun Nak! Ayo kita salat subuh!" ucapku sembari menguncang tubuhnya pelan.
"Sakit, Bunda," keluhnya.
Kusentuh kening Habib refleks. Badan Habib panas, ia demam.
"Habib, kamu demam, Nak. Astagfirullah, badan kamu panas banget Bib." Berulang-ulang kutempelkan punggung tanganku untuk mengukur suhu badan Habib.
Aku segera berlari ke dapur menyiapkan air dingin untuk mengompres kening Habib.
"Bunda akan mengompresmu, Nak, untuk sementara agar panasmu sedikit turun. Nanti, Bunda akan membelikanmu obat di warung Bu Tini kalau sudah pagi," ujarku.
Habib hanya mengangguk pelan. "Iya, Bunda."
Memastikan keadaan Habib baik-baik saja aku segera melaksanakan salat subuh dan membereskan ember serta baskom yang di pakai untuk menampung air hujan semalam.
Pukul tujuh pagi aku bergegas kewarung bu Tini yang terletak lima ratus meter dari rumah. Rencananya membeli beras dan lauk tempe untuk di masak hari ini. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya tujunku tiba di warung bu Tini. Banyak para Ibu-Ibu sudah mulai memadati warungnya.
"Bu, beli berasnya satu kilo saja. Bayam seikat dan tempe satu bungkus," ucapku.
"Sebentar ya, Ayi," Bu Tini segera mengkemas belanjaan yang aku minta. "Ini semuanya delapan belas ribu."
"Ini uangnya, Bu. Kembalianya kasih obat penurun panas saja," ujarku.
"Siapa yang sakit, Ayi?" tanya Bu Lala menimpali.
"Habib, Bu. Semalam ia demam," jawabku singkat.
"Kalau panas bawa ke dokter atau puskesmas Ay. Biar diperiksa," potong Bu Izah.
Aku hanya meremas ujung hijab yang menutupi kepala sembari menunduk.
"Mana mungkin, Ayi bisa membawa anaknya berobat Bu. Dia' kan miskin," sela Riri yang baru saja datang ke warung.
Aku terdiam.
"Makanya jadi istri kudu dandan kayak aku biar suami gak selingkuh. Kamu, sih tiap hari cuma pakai kerudung panjang dan gak modis, pantesan suamimu kabur dan menceraikanmu," cibir Riri memajukan ucapannya.
Dengan bibir yang dipolesi lipstik merah merona, bibir seksinya terlihat mengkrucut saat mencibirku dengan gamblangnya.
"Eh, sudah Ibu-Ibu. Masih pagi jangan menggosip. Kasihan' kan Ayi baru tertimpa musibah," ucap Bu Tini membelaku.
"Halah ... jangan kasihan Bu. Bisa-bisa nanti ngelunjak dia," lanjut Riri.
Para Ibu-Ibu yang mendengar ucapan Riri semuanya tertawa sembari mencibirku.
"Ha ... ha ... ha ... benar tuh, Ri. Sekarangkan, Ayi janda jangan sampai suami kita tergoda dengannya," sela Bu Izah menimpali.
Sakit rasanya mendengar cemohoh'an wanita para tetangga yang begitu saja menyudutkanku. Kalau bisa memilih sejujurnya aku juga tidak ingin menjadi janda. Kutahan air mata yang sedari tadi terasa perih ingin meluncur deras begitu saja.
"Eh, sudah Ibu-Ibu jangan bergosip lagi! Ayi juga gak mau hidup miskin dan menjanda," sahut Bu Helmi yang tiba-tiba muncul di warung.
Bu Helmi wanita yang sangat baik selalu memberi pertolongan padaku saat dalam keadaan terdesak seperti ini. Beliau wanita separuh baya yang berumur setengah abad, tapi mempunyai sifat yang ramah dan baik hati.
"Ayi, nanti datanglah ke rumah Ibu untuk mengambil cucian," ucapnya.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
Segera aku berlalu dari hadapan para ibu-ibu yang masih menggosip ria mengunjingkan pribadiku. Samar kudengar Riri masih mencibirku dengan memojokkan statusku yang baru menyandang janda.
"Bu Helmi, gak usah terlalu baik sama Ayi. Nanti bisa-bisa Pak Kades malah kepincut dengannya," cibir Riri.
Samar kudengar ia mengibahku tanpa takut dosa. Aku segera menjauh dari warung dan mempercepat langkahku menuju ke rumah. Di depan rumah aku berpapasan dengan ustaz Rahman yang berhenti tepat di jalan depan gubukku.
"Ayi, dimana Habib? Apa ia tidak sekolah?" tanyanya sembari melihat ke dalam rumah. Wajahnya terlihat mencari sesosok Habib. Biasa habib berangkat ke sekolah selalu di bonceng Ustaz Rahman menggunakan motor metic miliknya. Jarak dari rumah ke sekolah bisa terbilang jauh hingga memakan waktu tiga puluh menit untuk berjalan kaki.
"Habib sakit, Pak Ustaz," sahutku cepat.
"Sakit? Sakit apa, Ay?" tanya Ustaz Rahman.
"Demam, badannya panas hingga tidak bisa pergi ke sekolah," jawabku.
"Sudah dibawa ke dokter, Ay?" tanya Ustaz Rahman.
Aku menggeleng pelan. "Belum."
Ustaz Rahman menghela napas berat kemudian merogoh saku celananya dan memberikan uang selembar berwarna biru.
"Ini, ambilah untuk berobat Habib!" Ustaz Rahman menyodorkanku uang lima puluh ribu.
"Gak usah, Pak Ustaz, " tolakku.
"Aku tahu kamu sangat membutuhkan biaya untuk pengobatan Habib, Ay. Ambil saja! Aku ihklas memberikannya padamu."
Sekali lagi aku hanya menggeleng menolak pemberiannya. Ustaz Rahman adalah pemuda tampan yang menjadi idaman gadis Desa. Tidak jarang para gadis akan menyapanya dengan senyuman manis atau sekedar cari perhatian darinya agar bisa mendapatkan perhatian lebih.
"Gak usah, Pak Ustaz," sergahku. "Aku gak mau merepotkan," sembari berlalu dari hadapannya.
"Tunggu, Ay!" Ustaz Rahman menahan langkahku.
Aku berbalik dan menoleh ke arah Ustaz Rahman yang masih berdiri di depan rumahku.
"Anggap saja ini gaji, Habib yang dibayar di muka. Jadi kamu tidak perlu sungkan menerimanya," ujarnya sembari menyodorkan uang itu kembali.
"Habib, pasti bersedih Pak Ustaz jika uang gajinya aku pakai buat biaya berobatnya."
"Rezeki pasti ada yang lain, Ay. Percalah, tidak dari tanganku pasti dari tangan orang lain. Terimalah! Segera bawa Habib berobat biar cepat sembuh dan bisa sekolah lagi dan juga membantuku mengajar ngaji anak panti," ucap Ustaz Rahman mengulas senyum.
Dengan ragu-ragu kuterima pemberian Ustaz Rahman.
"Terimakasih, Pak Ustaz," ucapku.
Ustaz Rahman menganguk pelan. "Iya."
Setelah memberikan uang ia pun berlalu dari hadapnku dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah untuk mengajar. Ustad Rahman yang berfropesi sebagai guru PNS, di kampung ini juga mengajar mengaji pada anak-anak.
Para orang tua serta warga kampung, mempercayakan anak mereka pada Ustaz Rahman untuk dibimbing menjadi pengajar ilmu agama dunia dan akhirat. Mereka membayar Ustaz Rahman seratus ribu perbulan, ada banyak murid yang diajari mengaji oleh Ustad Rahman, bila sepulang sekolah. Tepat jam empat sore mereka sudah berkumpul di rumahnya untuk belajar mengaji.
"Bunda," sapa Nara yang baru bangun dari tidur.
"Kamu sudah bangun Nak?" tanyaku tersenyum. Kugendong tubuh mungil Nara yang baru bangun tidur. Kucium pucuk kepalanya dengan lembut.
"Laper," ucapnya.
"Sebentar ya. Bunda akan masak di dapur," ucapku. Kududukkan Nara di atas balai-balai bambu.
Sesaat kemudian kunyalakan kompor dengan pematik. Memasak dengan bahan yang ada biar anak-anak gak kelaparan. Kemiskinan sudah membuatku jatuh bangun dalam menghidupi Habib dan Nara. Meski kehidupan kami terbilang miskin, setidaknya aku masih bersyukur kedua anakku tak banyak mengeluh dengan keadaan.
Bersambung.
"Asalamualaikum," ucapku pada Bu Helmi."Waalaikumsalam," jawab Bu Helmi dari dalam rumah.Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi sambil menenteng kerajang yang berisi pakaian bersih yang sudah disetrika."Bu, ini pakaiannya sudah selesai.""Iya, Ay," sahutnya.Bu Helmi keluar dari dalam kamar masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua."Ini, upah buatmu Ay," ucapnya mengulas senyum."Terimakasih, Bu."Kuterima uang lembaran dua puluh ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Ia terkenal dermawan pada setiap orang, terlebih lagi kepada keluargaku."Besok ada acara di rumah, Ibu. Kamu datang ya, buat bantu-bantu di dapur!" kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam yang tadi dibawanya dari arah dapur."Apa ini, Bu?" tanya
Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah."Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi."Bunda," panggilnya."Iya, Nak.""Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."Ayi mengangguk pelan. "Iya."Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kam
Aku dan Habib berjalan beriringan menyusuri perkebenunan sawit pulang dari sekolah. Sementara Nara aku gendong memakai jarik yang sudah kumal untuk menopang bobot tubuhnya.Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan."Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian ya
Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p
Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu
Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm
Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se
"U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta