Share

Bab 2 Gosip

Penulis: Kariani Sukadi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-20 14:46:40

Kupeluk tubuh Habib yang kurus dengan erat sembari menangis. Belaian lembut mengusap rambutnya yang hitam lurus,berusaha untuk menenangkannya agar tidak terlalu bersedih karena kepergian ayahnya. Mata para tetangga mulai menatapku dengan pandangan dingin dan kaku. Kasak-kusuk terdengar cibiran dari mulut mereka. 

"Habib, ayo kita masuk, Nak! Tidak baik terus berada di luar," ucapku lirih.

"Ayah, pergi Bunda," kata Habib sembari memelukku.

"Duh, ada janda baru di kampung kita, nih. Ibu-Ibu harap waspada dengan Ayi sekarang. Dia baru saja mendapat gelar janda baru karena suaminya menceraikannya sewaktu pulang," sela Bu Lina tetangga sebelah kananku.

"Kasihan, sudah ditinggal merantau lima  tahun pulang malah diceraikan," ucap Bu Irma menimpali. Wanita bertubuh tambun tersebut suka gosip.

Aku hanya mengelus dada medengar cibiran para tetangga. Ada rasa perih yang mengucur dalam hatiku seperti diperasi air lemon. Segera kubawa Habib masuk kedalam rumah untuk menghindari fitnah dan gibahan para Ibu-Ibu.

Sesampai di dalam rumah kututup pintu dengan rapat. Aku segera membawa Nara untuk mandi karena hari semakin senja. Habib masih duduk di kursi bambu yang sudah mulai lapuk dengan memeluk lututnya.

"Nak, bantu Bunda untuk mengangkat kain di luar sebentar lagi akan turun hujan," ujarku. Habib melangkah dengan gontai menuju jemuran belakang.

Mendung menutupi awan yang gelap di langit yang terlihat hitam. Sebentar lagi akan turun hujan kalau di lihat dari gelapnya mendung dari arah barat.

Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti langit, seperti  hatiku yang kini di landa badai kehancuran dari rumah tangga yang selama lima tahun aku bina. Hampir sebelas tahun hidup dengan Mas Anan dalam suka dan duka.

***

Malam yang dingin terasa menembus kulit dari dalam. Hujan turun dengan deras hingga membuatku harus banyak menampung air dari genang air hujan, atap rumah semuanya pada bocor.

Ember dan baskom pelastik pun berjejer di atas lantai semen yang sudah mulai retak sana-sini. Kupeluk erat tubuh Nara yang mulai kedinginan karena tertetes  air hujan. Sementara Habib, mulai   terlihat  mengigil juga karena menahan dingin akibat guyuran air dari atap yang bocor. 

"Habib, kemarilah Nak! Mendekat sama Bunda biar baju kamu gak basah," ucapku.

Habib, segera  bangun dari tidurnya dan mendekatiku ke arah pojokkan tempat tidur yang beralaskan tilam busa yang sudah kempes. Tilam pemberian dari Ibu Helmi sewaktu mengantar cucian. Bu Helmi adalah istri kepala desa.

"Bunda, dingin," keluh Habib.

Ia meringkuk menahan rasa dingin yang kian menusuk di kulit. 

"Pakai ini, Nak!" kosodorkan baju hangat  yang kupakai agar ia bisa merasa nyaman.

"Bunda, kenapa Ayah benci sama kita dan tidak mau pulang," ucapnya polos.

Jantungku terasa nyeri ketika ia mengatakan kalimat itu. 

"Ayah, gak benci sama kita, Nak. Mungkin hatinya belum terbuka, kita do'a' kan saja agar Ayah diberi hidayah dan menyadari kesalahannya."

"Bunda, Adik haus," ucap Nara.

Segera aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambilkan air minum buat Nara.

"Ini, minumlah!" kuberikan segelas air putih untuk putri kecilku.

Ia meneguknya hingga habis dan memberikan gelas bekas minumnya padaku.

"Makasih, Bunda," balasnya. Kembali Nara melanjutkan tidurnya sembari kubalutkan selimut.

Malam ini kami tertidur dalam keadaan meringkuk menahan dingin,  hingga waktu subuh menjelang sampai hujan reda. Rasa dingin yang menusuk tulang masih terasa akibat guyuran hujan semalam. Aku bangkit untuk menunaikan salat subuh sebelum akhirnya kubangunkan Habib,  untuk  melaksanakan kewajiban lima waktu juga.

"Habib, bangun Nak! Ayo kita salat subuh!" ucapku sembari menguncang tubuhnya pelan. 

"Sakit, Bunda," keluhnya.

Kusentuh kening Habib refleks. Badan Habib panas, ia demam. 

"Habib, kamu demam, Nak. Astagfirullah, badan kamu panas banget Bib." Berulang-ulang kutempelkan punggung tanganku untuk mengukur suhu badan Habib.

Aku segera berlari ke dapur menyiapkan air dingin untuk mengompres kening Habib.

"Bunda  akan mengompresmu, Nak, untuk sementara agar panasmu  sedikit turun. Nanti, Bunda akan membelikanmu obat di warung Bu Tini kalau sudah pagi," ujarku.

Habib hanya mengangguk pelan. "Iya, Bunda."

Memastikan keadaan Habib baik-baik saja aku segera melaksanakan salat subuh dan membereskan ember serta baskom yang di pakai untuk menampung air hujan semalam.

Pukul tujuh  pagi aku bergegas kewarung bu Tini yang terletak lima ratus meter dari rumah. Rencananya membeli beras dan lauk tempe untuk di masak hari ini. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya tujunku tiba di warung bu Tini. Banyak para Ibu-Ibu sudah mulai memadati warungnya.

"Bu, beli berasnya satu kilo saja. Bayam seikat dan tempe satu bungkus," ucapku.

"Sebentar ya, Ayi," Bu Tini segera mengkemas belanjaan yang aku minta. "Ini  semuanya delapan belas ribu."

"Ini  uangnya, Bu. Kembalianya kasih obat penurun panas saja," ujarku.

"Siapa yang sakit, Ayi?" tanya Bu Lala menimpali.

"Habib, Bu. Semalam ia demam," jawabku singkat.

"Kalau panas bawa ke dokter  atau puskesmas Ay. Biar diperiksa," potong Bu Izah.

Aku hanya meremas ujung hijab yang menutupi kepala sembari menunduk.

"Mana mungkin, Ayi bisa membawa anaknya berobat Bu. Dia' kan miskin," sela  Riri yang baru saja datang ke warung.

Aku terdiam.

"Makanya jadi istri  kudu dandan kayak aku biar suami gak selingkuh. Kamu, sih tiap hari cuma pakai kerudung panjang dan gak modis, pantesan suamimu kabur dan menceraikanmu," cibir Riri memajukan ucapannya. 

Dengan bibir yang dipolesi lipstik merah merona, bibir seksinya terlihat mengkrucut saat mencibirku dengan gamblangnya.

"Eh, sudah Ibu-Ibu. Masih pagi jangan menggosip. Kasihan' kan Ayi baru tertimpa musibah," ucap Bu Tini membelaku.

"Halah ... jangan kasihan Bu. Bisa-bisa nanti ngelunjak dia," lanjut Riri.

Para Ibu-Ibu yang mendengar ucapan Riri semuanya tertawa sembari mencibirku.

"Ha ... ha ... ha ... benar tuh, Ri. Sekarangkan, Ayi janda jangan sampai suami kita tergoda dengannya," sela Bu Izah menimpali.

Sakit rasanya mendengar cemohoh'an wanita para tetangga yang begitu saja menyudutkanku. Kalau bisa memilih sejujurnya aku juga tidak ingin menjadi janda. Kutahan air mata yang sedari tadi terasa perih ingin meluncur deras begitu saja.

"Eh, sudah Ibu-Ibu jangan bergosip lagi! Ayi  juga gak mau hidup miskin dan menjanda," sahut Bu Helmi yang tiba-tiba muncul di warung.

Bu Helmi wanita yang sangat baik selalu memberi pertolongan padaku saat dalam keadaan terdesak seperti ini. Beliau wanita separuh baya yang berumur setengah abad, tapi mempunyai sifat yang ramah dan baik hati.

"Ayi, nanti datanglah ke rumah Ibu untuk mengambil cucian," ucapnya.

Aku mengangguk. "Iya, Bu."

Segera aku berlalu dari hadapan para ibu-ibu yang masih menggosip ria mengunjingkan pribadiku. Samar kudengar Riri masih mencibirku dengan memojokkan statusku yang baru menyandang janda.

"Bu Helmi, gak usah terlalu baik sama Ayi. Nanti bisa-bisa Pak Kades malah kepincut dengannya," cibir Riri.

Samar kudengar ia mengibahku tanpa takut dosa. Aku segera menjauh dari warung dan mempercepat langkahku menuju ke rumah. Di depan rumah aku berpapasan dengan ustaz Rahman yang berhenti tepat di jalan depan gubukku.

"Ayi, dimana Habib? Apa ia tidak sekolah?" tanyanya sembari melihat ke dalam rumah. Wajahnya terlihat mencari sesosok Habib. Biasa habib berangkat ke sekolah selalu di bonceng Ustaz Rahman menggunakan motor metic miliknya. Jarak dari rumah ke sekolah bisa terbilang jauh hingga memakan waktu tiga puluh menit untuk berjalan kaki.

"Habib sakit,  Pak Ustaz," sahutku cepat.

"Sakit? Sakit apa, Ay?" tanya Ustaz Rahman.

"Demam, badannya panas hingga tidak bisa pergi ke sekolah," jawabku.

"Sudah dibawa ke dokter, Ay?" tanya Ustaz Rahman. 

Aku menggeleng pelan. "Belum."

Ustaz  Rahman menghela napas berat kemudian merogoh saku celananya dan memberikan uang selembar berwarna biru.

"Ini, ambilah untuk berobat Habib!" Ustaz Rahman menyodorkanku uang lima puluh ribu.

"Gak usah, Pak Ustaz, " tolakku.

"Aku tahu kamu sangat membutuhkan biaya untuk pengobatan Habib, Ay. Ambil saja! Aku ihklas memberikannya padamu."

Sekali lagi aku hanya menggeleng menolak pemberiannya. Ustaz Rahman adalah pemuda tampan yang menjadi idaman gadis Desa. Tidak jarang para gadis akan menyapanya dengan senyuman manis atau sekedar cari perhatian darinya agar bisa mendapatkan perhatian lebih. 

"Gak usah, Pak Ustaz," sergahku. "Aku gak mau merepotkan," sembari berlalu dari hadapannya.

"Tunggu, Ay!" Ustaz  Rahman menahan langkahku.

Aku berbalik dan menoleh ke arah Ustaz Rahman yang masih berdiri di depan rumahku.

"Anggap saja ini gaji, Habib yang dibayar di muka. Jadi kamu tidak perlu sungkan menerimanya," ujarnya sembari menyodorkan uang itu kembali.

"Habib, pasti bersedih Pak Ustaz jika uang gajinya aku pakai buat biaya berobatnya."

"Rezeki pasti ada yang lain, Ay. Percalah, tidak dari tanganku pasti dari tangan orang lain. Terimalah! Segera bawa Habib berobat biar cepat sembuh dan bisa sekolah lagi dan juga membantuku mengajar ngaji anak panti," ucap Ustaz  Rahman mengulas senyum.

Dengan ragu-ragu kuterima pemberian Ustaz Rahman. 

"Terimakasih, Pak Ustaz," ucapku.

Ustaz  Rahman menganguk pelan. "Iya."

Setelah memberikan uang ia pun berlalu dari hadapnku dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah untuk mengajar. Ustad Rahman yang berfropesi sebagai guru PNS,  di kampung ini juga mengajar mengaji pada anak-anak.

Para orang tua serta warga kampung, mempercayakan  anak mereka pada Ustaz  Rahman untuk dibimbing menjadi pengajar ilmu agama dunia dan  akhirat. Mereka membayar Ustaz   Rahman  seratus ribu perbulan, ada banyak murid yang diajari mengaji oleh Ustad  Rahman,  bila sepulang sekolah. Tepat jam empat sore mereka sudah berkumpul di rumahnya untuk belajar mengaji.

"Bunda," sapa Nara yang baru bangun dari tidur.

"Kamu sudah bangun Nak?" tanyaku tersenyum. Kugendong tubuh mungil Nara yang baru bangun tidur. Kucium pucuk kepalanya dengan lembut.

"Laper," ucapnya.

"Sebentar ya. Bunda akan masak di dapur," ucapku. Kududukkan Nara di atas balai-balai bambu.

Sesaat kemudian kunyalakan kompor dengan pematik. Memasak dengan bahan yang ada biar anak-anak gak kelaparan. Kemiskinan sudah membuatku jatuh bangun dalam menghidupi Habib dan Nara. Meski kehidupan kami terbilang miskin, setidaknya aku masih bersyukur kedua anakku tak banyak mengeluh dengan keadaan.

Bersambung.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Win Da
......Baru baca dah baper..
goodnovel comment avatar
Anak gunung
ceritanya sedih, tapi galfok sama gaji guru ngajinya, gede banget seratus sebulan dari tiap anak, kalau di kampung hiks sepuluh ribu sebulan juga banyak yang nunggak ...
goodnovel comment avatar
Murniyati Mommy
wah......sedih kesian banget...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 3 Menahan Lapar Karena Tidak Punya Uang

    "Asalamualaikum," ucapku pada Bu Helmi."Waalaikumsalam," jawab Bu Helmi dari dalam rumah.Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi sambil menenteng kerajang yang berisi pakaian bersih yang sudah disetrika."Bu, ini pakaiannya sudah selesai.""Iya, Ay," sahutnya.Bu Helmi keluar dari dalam kamar masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua."Ini, upah buatmu Ay," ucapnya mengulas senyum."Terimakasih, Bu."Kuterima uang lembaran dua puluh ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Ia terkenal dermawan pada setiap orang, terlebih lagi kepada keluargaku."Besok ada acara di rumah, Ibu. Kamu datang ya, buat bantu-bantu di dapur!" kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam yang tadi dibawanya dari arah dapur."Apa ini, Bu?" tanya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-20
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 4 Disekor Dari Sekolah

    Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah."Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi."Bunda," panggilnya."Iya, Nak.""Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."Ayi mengangguk pelan. "Iya."Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kam

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-22
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 5 Pertemuan Yang Tak Di Sengaja

    Aku dan Habib berjalan beriringan menyusuri perkebenunan sawit pulang dari sekolah. Sementara Nara aku gendong memakai jarik yang sudah kumal untuk menopang bobot tubuhnya.Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan."Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-23
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 6 Mendapat Bea Siswa

    Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 7 Lulus Seleksi

    Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-25
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 8 Berangkat Ke Jakarta

    Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 9 Teganya Ayah

    Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 10 Kejahatan Paripurna

    "U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05

Bab terbaru

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 102 Tamat

    Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 101 Kembali ke Asal

    Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 100 Pernikahan

    Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 99 Tuan Jirayu

    Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 98 Bajak Laut

    Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 97 Kami Selamat

    Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 96 Seandainya

    Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 95 Perjalanan

    "Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 94 Malaikat Penolong

    "Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc

DMCA.com Protection Status