Home / Romansa / Istri Yang Tak Dirindukan / Bab 4 Disekor Dari Sekolah

Share

Bab 4 Disekor Dari Sekolah

last update Last Updated: 2021-09-22 11:34:10

Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.

Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah.

"Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.

Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi.

"Bunda," panggilnya. 

"Iya, Nak."

"Habib, mau  mandi dan melaksanakan salat subuh."

Ayi mengangguk pelan. "Iya."

Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kamar mandi belakang untuk mandi dan melaksanakan salat subuh. Hari ini ia kesiangan karena bundanya tidak membangunkannya untuk salat subuh di mesjid. Biasa pukul lima pagi Habib sudah bangun mendengar azan subuh yang berkumandang. Rumahnya tidak jauh dari Mesjid hanya berjarak sekitar 200 meter.

Setelah semuanya selesai ia kerjakan Habib pun keluar dengan memakai seragam sekolah. Baju putih panjang yang sudah terlihat lusuh karena sudah terlalu lama dipakai.

Sejak dari kelas satu sampai sekarang kelas lima SD, Habib hanya punya satu pasang baju untuk dipakai. Kalau basah Ayi akan menjemurnya dan pagi sebelum Habib sekolah Ayi terlebih dulu mensetrika agar tidak terlihat kusut.  Bahkan celana pun hanya satu tidak ada yang lain untuk dipakai sebagai ganti. Kini Habib sudah terlihat mulai tinggi. Celana yang dulu kepanjangan sekarang sudah terlihat mulai menggantung di atas mata kaki.

Habib memakai seragam SD Sanawiyah karena memang ia sekolah di Ibtidaiyah sekolah Islam terpadu. 

"Bunda, Habib takut pergi sekolah karena belum bisa melunasi biaya sekolah yang tertunda," keluhnya. 

Ayi menghela napas berat. "Bunda, akan bayar separuh dulu, Nak. Agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah."

"Tapi, Bunda dapat uang dari mana untuk melunasi uang sekolah, Habib?" 

"Bunda, masih ada sedikit uang simpanan untuk membayar rekening listrik. Bunda, bisa pakai itu dulu untuk menutupi biaya sekolah kamu, Nak," jelas Ayi.

Seraya meletakkan potongan singkong rebus ke dalam piring Habib. Singkong itu kemarin sore ia cabut dan direbus untuk menganjal perut anaknya.

"Tapi, listrik kita nanti gimana kalau diputus Bun?" 

"Kamu, gak usah pikirkan itu, Nak. Yang penting sekolah saja biar pintar. Soal pembayaran listrik biar, Bunda yang urus," jawab Ayi.

Habib kemudian memakan singkong rebus pemberian bundanya. Keadaan ini tidak membuat ia kaget atau pun manja karena memang bukan cuma sekali saja ia makan singkong untuk mengajal perut yang lapar. Tapi, sudah sering hal ini di alami oleh keluarganya sejak dulu.

Jika bundanya tidak punya uang maka hanya akan diberi singkong rebus saja yang di masak hanya memakai garam. Habib tidak pernah mengeluh atau pun perotes. Habib faham betul jika bundanya tidak masak dan hanya memberinya makan singkong rebus pasti tidak lagi ada uang.

"Bunda, tidak makan?" tanya Habib kemudian. Ayi hanya menggeleng saat Habib bertanya padanya.

"Tidak, Nak. Bunda, sedang berpuasa," jawabnya datar.

"Ooh."

Setelah menyelesaikan sarapannya Habib lalu bergegas memakai tas sekolah yang sudah banyak jahitan. Ia tidak merasa malu memakai tas sekolah meskipun tas itu sudah banyak jahitan dan tambalan sana-sini.

"Ayo kita berangkat!" ucap Ayi sembari mengendong Nara.

"Ayo, Bun," sahut Habib mengulas senyum.

Tidak lama kemudian mereka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mereka berangkat dari rumah pukul 6.30. Sesampai di sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Jarak yang di tempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Melewati kebun sawit dan sungi kerena letak kampung mereka agak ke tengah jadi untuk tiba di sekolah harus melalui perkebunan sawit dan sungai.

Setiba di sekolah Ayi segera menemui guru yang ada di kantor sekolah untuk menyelesaikan biaya sekolah Habib.

Di depan kantor sekolah Ayi berdiri dan mengucap salam.

"Asalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz Rahman.

"Ayi, ada apa kamu datang ke sekolah?" tanyanya heran.

Tidak biasa Ayi datang kesekolah.

"Maaf, Ustaz. Dimana ruang guru bendahara, ya? Aku mau bayar tunggakkan uang sekolah Habib," kata Ayi.

Ia menundukkan kepala tak berani menatap pandangan ke arah Ustaz Rahman.

"Oh, itu, masuk saja! Bendahara ada di dalam," tunjuk Ustaz Rahman ke ruang bendahara.

Ayi mendongak lalu mengikuti arah yang di tunjuk Ustaz Rahman.

"Terimakasih, Ustaz," lanjutnya. "Permisi."

Ustaz  Rahman mengangguk. "Iya."

"Asalamualaikum," ucap Ayi.

"Waalaikumsalam," jawab guru bendahara.

"Maaf, Bu. Saya ingin membayar tunggakkan uang sekolah, Habib," ungkap Ayi.

"Silahkan duduk, Bu!" 

"Tapi ...  maaf, Bu.  Saya hanya bisa membayar tunggakkannya tiga bulan saja," ucap Ayi kemudian.

"Iya, tak apa, Bu. Tapi, kami dari sekolah mohon maaf. Untuk sementara Habib kami sekor tidak boleh sekolah, jika uang tunggakkannya belum dilunasi," lanjut bendahara.

Ayi menarik napas berat. "Apa tidak ada cara lain agar bisa terus sekolah, Bu?"

Bendahara menggeleng. "Tidak."

"Tolonglah, Bu. Saya mohon kebijakkan dari sekolah. Agar anak saya bisa tetap sekolah," tutur Ayi memelas.

"Sekali lagi mohon maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas tapi, tidak bisa membantu."

"Ya, sudah kalau gitu," lirih Ayi.

Ia kemudian mengambil uang dari saku gamisnya lalu menyerahkan pada bendahara sekolah.

"Tiga bulan, ya, Bu?"

Ayi mengangguk. "Iya."

"Sudah saya catat, Bu."

"Iya, makasih. Permisi," ucap Ayi kemudian setelah membayar uang tunggakkan sekolah.

Ia kemudian melangkah dengan gontai meninggalkan ruang kantor sekolah.

Setiba di luar ia segera ke ruang kelas Habib dan mencari keberadaan anaknya.

"Bib," panggil Ayi melambaikan tangannya.

Habib datang menghampiri bundanya yang berdiri di ambang pintu ruang kelas.

"Ada apa, Bunda?" tanya Habib.

"Kita pulang yuk!"

"Kenapa pulang, Bunda? Habib, kan mau sekolah?"

"Bendahara, tadi bilang kamu belum boleh sekolah kalau Bunda belum bisa munasi uang sekolah kamu. Kamu belajar di rumah saja dulu sementara waktu sampai Bunda bisa melunasi uang sekolahnya," jelas Ayi.

"Tapi, Bun. Habib, mau sekolah sekarang."

Ayi merunduk dan mensejajarkan dengan ketinggian Habib.

"Sabar, Nak. Nanti ... kalau Bunda punya uang akan dilunasi dan kamu bisa sekolah kembali, ya," bujuk Ayi.

Seraya mengelus pucuk kepala Habib dengan mata berembun.

Habib terlihat bersedih mendengar ucapan dari bundanya. Segera ia kembali ke dalam ruang kelas untuk mengambil tas sekolahnya lalu kembali pulang.

Ayi hanya memandang anaknya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat anaknya harus pulang karena ketidakadaan biaya untuk melunasi tunggakkan uang sekolah. Perih terasa menyayat kalbunya bagai disayat sembilu.

"Maafkan, Bunda, Bib. Bunda, belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu," batin Ayi berkata.

Sudut matanya kini mulai mengembun. 

Dari dalam kelas Habib mengkemasi kembali buku pelajarannya yang sempat ia keluarkan tadi dan memasukkan kembali ke dalam tas. Ia berjalan gontai menuju ke arah bundanya.

"Bib," panggil Satria teman sebangkunya.

Habib menoleh membalikkan badannya ke arah Satria.

"Iya," sahut Habib.

"Kamu mau kemana kok bawa tas. Kayak mau pulang aja?" tanya Satria.

"Aku memang mau pulang, Satria."

"Loh, kenapa kamu pulang, Bib? Kan' pelajaran belum dimulai. Sebentar lagi Ustad Rahman datang mengajar. Kenapa kamu pulang, Bib?" tanya Satria lagi. 

"Iya, aku tahu, Satria. Tapi, pihak sekolah memintaku pulang karena Bundaku belum melunasi tunggakkan uang sekolah tiga bulan lagi," tutur Habib. Ia pun segera berlalu dari hadapan satria dan keluar dengan menjijing tas bututnya.

Sesampai di depan pintu kelas Habib menghampiri bundanya yang berdiri menunggu sambil mengendong Nara adiknya.

"Ayo, Bun kita pulang!"  ucapnya.

Ayi mengangguk lalu mengiyakan ucapan Habib. "Ayo, Nak."

Ayi berjalan menyusuri koridor sekolah beriringan dengan Habib di sampingnya.

***

Di dalam kelas Ustaz  Rahman masuk dan memberikan mata pelajaran agama. Sebelum memulai mata pelajaran ia terlebih dahulu mengabsen murid-murid yang hadir. Seperti biasa para murid akan dipanggil satu-persatu namanya dengan nyaring untuk mengecek kehadirannya sebelum mata pelajaran berlangsung.

Semua para murid hadir mengisi mata pelajarannya kecuali Habib yang tidak hadir saat disebut namanya.

"Habib," panggilnya. 

Hening tidak ada jawaban. 

Ustaz  Rahman mengulangi kembali panggilannya.

"Habib."

Tetap hening tidak ada jawaban.

Ia kemudian bertanya pada Satria teman sebangkunya apakah tadi melihat Habib atau tahu kenapa Habib tidak masuk kelas hari ini.

"Satria," panggil Ustaz  Rahman.

"Iya, Ustaz," sahut Satria.

"Kemarilah!"

Satria bergegas menghampiri Ustaz Rahman yang duduk di depan ruang kelas membelakangi papan tulis.

"Ada apa, Ustaz?"

"Kamu tahu kemana teman sebangkumu? Habib kenapa tidak datang?" tanya Ustaz Rahman.

Satria mengangguk. "Tahu, Ustaz."

"Kemana ia? Kenapa tidak datang? Apa dia sakit?" tanya Ustaz  Rahman bertubi-tubi.

Habib adalah murid paling pintar di kelas. Ia selalu menjadi juara satu tiap pembagian rapor.

Tidak hanya juara kelas saja Habib juga menjadi juara umum karena otaknya yang pintar selalu mendapatkan rengking satu. 

Satria menjelaskan dengan gamblang kenapa Habib tidak sekolah hari ini.

"Tadi, Habib sudah datang dan masuk kelas Pak Ustaz. Tapi, ia pulang lagi," jelas Satria.

"Loh, kenapa?" 

"Pihak sekolah menyuruhnya pulang karena ia belum melunasi tunggakkan uang sekolah," jawab Satria.

Kening Ustaz  Rahman berkerut. "Jadi, karena itu Habib pulang?"

Satria kembali mengangguk. "Iya, Pak."

Ustaz Rahman kembali meminta Satria untuk duduk. Ia pun segera menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya. 

***

Bersambung.

Di gantung dulu ya guys. Masih ada kelanjutan cerita yang lebih seru lagi berikutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak komen dan like di bawah ini. 

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Aisyah Syarie
meweeeeel...teriris
goodnovel comment avatar
Erni Wahyuni
bukannya sekarang sekolah negeri gratis? masa si habib sekolah swasta. lagian ga mungkin jg siswa diskors gara2 ga bayar uang sekolah. jadi kesannya seperti menjatuhkan sekolah.
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Sekolah nya ga tau etika ,masa maen skor aja ,kt nya anak berprestasi .....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 5 Pertemuan Yang Tak Di Sengaja

    Aku dan Habib berjalan beriringan menyusuri perkebenunan sawit pulang dari sekolah. Sementara Nara aku gendong memakai jarik yang sudah kumal untuk menopang bobot tubuhnya.Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan."Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian ya

    Last Updated : 2021-09-23
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 6 Mendapat Bea Siswa

    Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p

    Last Updated : 2021-09-24
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 7 Lulus Seleksi

    Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu

    Last Updated : 2021-09-25
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 8 Berangkat Ke Jakarta

    Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm

    Last Updated : 2021-10-01
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 9 Teganya Ayah

    Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se

    Last Updated : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 10 Kejahatan Paripurna

    "U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta

    Last Updated : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 11 Tertawa Di Atas Derita

    Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun dan membawa Habib ke ruang UGD. Sampai di ruang UGD kami di sambut oleh para petugas media. "Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas bangsal. Suster menyambut dengan segera ke datangan kami. "Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter. Habib segera ditangani para dokter dan suster. Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD. "Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter. Aku dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seing

    Last Updated : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 12 Meraih Kemenangan

    "Habib, Nak bangunlah!" Ayi menguncangkan tubuh Habib yang diam tak bergeming.Dokter yang sedari tadi menangin Habib, berusaha agar bisa menyelamatkan nyawanya. Beberapa suster mencoba membantu dokter, memasangkan jarum infus dan selang oksigen.Racun arsenik yang bekerja dalam tubuh Habib beraksi sangat lambat. Namun, bisa mematikan kalau terlambat menanganinya. Bisa berakibat fatal dengan kematian yang terkena racun tersebut.Aku terisak melihat tubuh Habib, tak sadarkan diri. Hati ibu mana yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbaring sakit. Ustaz Rahman mencoba menenangkanku. Aku menangis sejadi-jadinya menyaksikan jarum suntik menusuk tubuh Habib yang kurus. Andai bisa biarlah aku saja menggantikan rasa sakit yang di rasakan Habib."Sudah, Ay jangan menangis! Doa'kan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat

    Last Updated : 2021-10-06

Latest chapter

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 102 Tamat

    Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 101 Kembali ke Asal

    Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 100 Pernikahan

    Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 99 Tuan Jirayu

    Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 98 Bajak Laut

    Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 97 Kami Selamat

    Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 96 Seandainya

    Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 95 Perjalanan

    "Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 94 Malaikat Penolong

    "Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status