Beranda / Romansa / Istri Yang Tak Dirindukan / Bab 3 Menahan Lapar Karena Tidak Punya Uang

Share

Bab 3 Menahan Lapar Karena Tidak Punya Uang

Penulis: Kariani Sukadi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-20 20:23:08

"Asalamualaikum," ucapku pada Bu Helmi. 

"Waalaikumsalam," jawab Bu Helmi dari dalam rumah.

Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi sambil menenteng kerajang yang berisi pakaian bersih yang sudah disetrika. 

"Bu, ini pakaiannya sudah selesai."

"Iya, Ay," sahutnya.

Bu Helmi keluar dari dalam kamar masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua.

"Ini, upah buatmu Ay," ucapnya mengulas senyum.

"Terimakasih, Bu."

Kuterima uang lembaran dua puluh  ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Ia terkenal dermawan pada setiap orang,  terlebih lagi kepada keluargaku.

"Besok ada acara di rumah, Ibu. Kamu datang ya, buat bantu-bantu di dapur!" kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam yang tadi dibawanya dari arah dapur.

"Apa ini, Bu?" tanyaku penasaran. 

"Tadi, Rida pulang dari kantor membawa martabak telur tiga porsi. Kebetulan Bapak lagi ada tugas di luar tidak pulang. Jadi, Ibu memberikan satu untukmu," lanjutnya.

"Maaf, Bu. Aku jadi merepotkan Ibu."

"Kamu tidak perlu sungkan atau canggung Ay. Ibu, memberikan ini karena tidak mau makanan mubazir. Lebih baik Ibu berikan padamu agar anak-anakmu bisa ikut menikmati," jelas Bu Helmi.

"Terimakasih, Bu."

"Sama-sama. Besok jangan lupa datang ya ke rumah buat bantu Ibu masak."

"Ibu, ada acara apa?" tanyaku penasaran.

"Rida, dilamar pacarnya. Dan akan mengadakan acara tukar cincin pada malamnya," jawab Bu Helmi tersenyum.

Aku hanya mengangguk. "Oh ...."

Setelah berpamitan pada Bu Helmi aku melanjutkan mengantar pakaian ke rumah Bu Zainab. Satu tanganku menenteng keranjang pakaian yang sudah bersih di setrika. Sementara tangan yang satunya lagi menggendong Nara.

Pegal sudah pasti, apalagi lelah jangan di tanya lagi bagaimana rasanya berjalan dari rumah mengantar pakaian menyusuri desa membuat tubuh dan tulang-tulangku rasanya mau remuk. Sampai di rumah Ibu Zainab aku berdiri di ambang pintu rumahnya.

"Asalamualaikum, Bu Zainab," sapaku.

Kebetulan Bu Zainab sedang duduk di teras bersama suaminya. 

"Waalaikumsalam," jawabnya.

"Ini, pakaiannya sudah selesai Bu."

Bu Zainab segera menghampiriku dan menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah.

"Besok gak usah ambil cucian ke rumah Ay. Karena Ibu sudah punya mesin cuci baru. Suami Ibu yang membelikannya tadi," ucap Bu Zainab sembari merangkul suaminya.

Aku menganguk pelan. "Iya, Bu."

Berkurang satu lagi pelanggan yang biasa mengantar cucian ke rumah. Dengan sabar kuusap dada agar di lapangkan rezeki berikutnya. 

"Aku dengar suamimu menceraikanmu Ay," sela Pak Iwan. Matanya terlihat mengerling sebelah ke arahku.

"Iya, Pak," jawabku kaku.

"Oh, ya, Ay, ini upah kamu. Aku hampir lupa memberikannya," ucapnya.

Ibu Zainab menyerahkan uang pecahan lima belas ribu kepadaku.

"Kok, lima belas ribu, Bu," perotesku.

"Iya. Ibu potong lima ribu karena kemarin kamu telat mengantarnya sampai ke rumah," jelasnya sembari memajukan bibirnya lima centi ke depan.

Soal dandan Bu Zainab memang nomer satu. Bibir merah merekah dengan lipstik merah darah tidak pernah absen setiap hari.

"Astagfirullah, Bu. Kemarin' kan sudah aku jelasi kalau telat karena harus menjemput Habib, dari sekolah," ujarku menjelaskan.

"Iya, kalau telat ya tetap telat,  Ay. Lagian, gara-gara kamu aku jadi terlambat arisan dan ketinggalan berita," sungutnya kesal. Bibir tebalnya mengkrucut ke atas.

"Ya, sudah Bu.Tak apa, mungkin memang rezekiku hari ini cuma segini," ucapku menunduk.

Setelah menerima upah dari Bu Zainab, aku pun melanjutkan perjalanan mengantar pakaian yang sudah disetrika. Tinggal satu lagi pekerjaanku akan selesai.

Berjalan di  bawah teriknya sinar matahari membuat tubuhku terasa panas. Nara, yang sedari tadi ada dalam gendonganku masih tertidur pulas. Setiap hari Nara tidak pernah aku tinggalkan di rumah sendiri saat mengantar pakaian ke rumah pelanggan. Nara, aku gendong menggunakan kain jarik yang sudah usang terdapat tambalan dan jahitan sana-sini. 

Berjalan keliling desa membuatku terasa sangat lelah. Semua kulakukan demi kedua buah hatiku yang sudah menjadi tanggung jawab. Di sebuah rumah berukuran sederhana, perumahan tipe tiga enam langkah kaki berhenti. Rumah milik Intan adalah rumah terakhir yang aku singgahi untuk mengantar pakaian.

"Asalamualaikum," ucapku dari luar.

Sejenak aku duduk di teras Intan beristirahat sebentar mengaatur napas.

Tak lama kemudian Intan muncul dengan menggunakan linggrie berwarna merah menyala. 

"Eh, kamu, Ay," sapanya.

"Iya, Tan. Aku datang ke sini untuk mengantarkan pakaianmu."

"Ya, sudah letakkan saja di situ! Sebentar aku ambil uangnya ke dalam," Intan melangkah dengan gemulai memakai linggrie merah menyala pada siang hari. 

Semenit kemudian aku mendengar suara seorang pria muncul dari kamarnya dengan memakai handuk saja sebatas pinggang. Semula aku mengira itu suami Intan yang baru pulang kerja. Tapi, ternyata bukan.

"Siapa sih, siang-siang datang kemari? Ganggu orang lagi enak-enakkan saja," dengkus pria itu kesal.

"Tukang cuci, Sayang," sahut Intan cepat.

"Cepat kasih uangnya, Sayang! Dan suruh lekas pergi aku mau lanjutkan main kuda-kuda'an," ucapnya. Seraya berlalu begitu saja sembari menutup pintu kamar dengan keras.

Intan pun kemudian mendekatiku dengan pelan dan memberikan upah sesuai dengan kesepakatan awal.

"Ambil uangnya, Ay! Dan segera pergilah dari rumahku!" ketus Intan.

"Maaf, Tan. Aku tidak punya kembaliannya," ucapku.

"Sudah ambil saja kembaliannya! Tapi, jangan bocorkan rahasiaku, ya," titahnya. Intan memberikanku uang pecahan lima puluh ribu sebagai ganti aku tutup mulut.

"Aku takut dosa. Maaf, bukan sombong menolak rezeki. Tapi, aku gak mau nanti jadi beban di akhirat," ujarku.

"Halah ... sudah miskin saja belagu. Sok gak mau uang. Dikasih lebih malah nolak," cibirnya.

Aku hanya mengelus dada mendengar cerocos intan. Uang yang disodorkannya sebagai ganti tutup mulut karena menutupi aib perselingkuhannya. Tapi, dengan tegas aku menolaknya berdalih dosa dan tidak berkah. Intan kemudian marah dan membanting pintu rumah sekeras-kerasnya.

"Ya, sudah kalau tidak mau. Pergi sana! Sudah dikasih rezeki malah nolak. Dasar, tak tahu di untung," cerocosnya.

Intan Membanting pintu tanpa menoleh ke arahku. Aku hanya mengelus dada melihatnya.

Pintu ia banting sekuatnya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Nara tersentak bangun dalam gendonganku mendengar keributan.

"Bunda," panggilnya lirih.

"Ya, Sayang."

"Adik, haus," ucapnya.

"Sebentar, Nak. Kita minum di rumah saja, ya. Bunda, sudah selesai kok ngantar pakaiannya," ujarku.

Nara mengangguk pelan. "Iya, Bunda."

Di bawah terik matahari tepat atas kepala kami berdua berjalan kembali menuju rumah. Tidak banyak hasil yang kudapat hari ini, hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Seharusnya ada tambahan dari baju yang di antar tadi ke rumah Intan. Tapi, ia urung memberikan karena aku menolak uang suap.

Berjalan keliling kampung di bawah terik matahari yang panas membuat putri kecilku menjadi kehausan. Sesampai di rumah ia meminta minum.

"Bunda, haus," ucapnya lagi.

"Ini, Nak. Minumlah yang banyak!" segelas air putih ia minum dan menandaskan isinya.

"Makasih, Bunda," Nara berkata sembari memberikan gelas kosong kepadaku.

Baru saja aku duduk melepaskan lelah, Habib pulang dengan wajah yang kusut dan sedih.

"Asalamualaikum," ucapnya. Habib masuk dengan wajah yang masam dan terlihat sedih.

"Ada apa, Nak?" tanyaku heran.

Lima menit kemudian Habib terlihat menarik napas dan terdengar mendesah.

"Besok, Habib akan dikeluarkan dari sekolah Bunda," jawabnya lesu.

"Loh, kenapa?" tanyaku lagi.

"Sudah enam bulan, Bunda menunggak uang sekolah." Habib berkata dengan lirih.

"Astagfirullah," ucapku mengelus dada. "Maafin Bunda,  Nak. Bunda, belum bisa membayar uang sekolahmu."

"Jika, besok tidak di bayar Habib bisa di keluarkan dari sekolah Bun," desisnya.

Aku terdiam mendengar ucapan Habib. Memang sudah enam bulan uang pembayaran sekolah tidak aku bayarkan. Bukan karena sengaja, tetapi memang tidak punya uang sama sekali untuk membayarkannya. Penghasilan sehari-hari pun tidak mencukupi, bagaimana bisa membayar uang sekolah. 

Segera aku beringsut dari tempat duduk dan beralih menuju kamar. Lemari pakaian yang sudah lapuk,  kubuka dan mengambil uang simpanan yang selama ini aku sisihkan untuk membayar listrik dan di tambah uang tadi pun hanya cukup untuk membayar tunggakkan tiga bulan saja.

Uang sekolah Habib sebulan lima puluh ribu, dan tertungak enam bulan. Sisanya masih banyak lagi yang belum terbayar. Terpaksa hari ini dan besok kami harus berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk beli bahan makanan. Hanya martabak dari pemberian bu Helmi tadi bisa mengajal perut Habib dan Nara.

Biarlah aku yang mengalah untuk kedua buah hatiku. Malam ini dan besok aku harus berpuasa menahan lapar asal anakku bisa makan dan tidak kelaparan.

"Besok biar Bunda saja yang datang ke sokolah, Nak. Bunda akan bayar tiga bulan dulu dan meminta tangguhan pada kepala sekolah biar tidak mengeluarkanmu dari sekolah," ucapku.

"Iya, Bun. Andai saja, Ayah ada pasti kita tidak akan menderita seperti ini, ya, Bun," keluh Habib. Matanya terlihat sayu menatapku.

"Suatu hari nanti pasti, Ayah akan menyadari kesalahannya, Nak. Bahwa keluarga adalah sangat berharga di banding harta," jelasku.

Habib mengangguk pelan. "Iya, Bun."

"Sekarang ganti bajumu lalu makan! Bunda, punya martabak kesukaanmu buat makan hari ini," ucapku kemudian. 

"Asyik, Habib bisa makan enak hari ini," teriaknya girang.

Aku tersenyum kecut melihat kecerian di wajah Habib. Makan dengan memakai telur atau martabak telur menjadi barang mewah bagi kami yang setiap hari hanya makan seadanya tanpa lauk. 

Bahkan, lebih keseringan berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk membeli bahan makanan. Hanya air putih yang bisa kami minum untuk menahan rasa lapar. 

Keadaan ini sudah kami jalani selama lima tahun sejak kepergian Mas Anan berpamitan untuk merantau mengadu nasib. Hidup kami sejak dulu serba kekurangan.

Pekerjaan Mas Anan yang hanya serabutan tidak mencukupi untuk kebutuhan kami sehari-hari. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Jakarta berharap bisa mengubah kehidupan kami menjadi lebih baik. Nyatanya setelah berhasil ia berubah dan meninggalkan keluarganya yang selama lima tahun menunggunya kembali.

***

Bersambung.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Suami Zdolim.. menyia- nyiakan anak Istri..
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
bujug...esdeh SPPnya mapuluhrebu? coba thor, ceritanya yg masuk akal dikit napah, ini mah ceritanya potret kemiskinan, tp ngapah biaya sekola mehong bener?
goodnovel comment avatar
Bu Iim
sekola skarang gratis kan ada bantuan dr pemerintah,bilangin Bib sama kepala sekola gak boleh narik bayaran ke siswa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 4 Disekor Dari Sekolah

    Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah."Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi."Bunda," panggilnya."Iya, Nak.""Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."Ayi mengangguk pelan. "Iya."Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kam

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-22
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 5 Pertemuan Yang Tak Di Sengaja

    Aku dan Habib berjalan beriringan menyusuri perkebenunan sawit pulang dari sekolah. Sementara Nara aku gendong memakai jarik yang sudah kumal untuk menopang bobot tubuhnya.Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan."Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-23
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 6 Mendapat Bea Siswa

    Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 7 Lulus Seleksi

    Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-25
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 8 Berangkat Ke Jakarta

    Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 9 Teganya Ayah

    Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 10 Kejahatan Paripurna

    "U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 11 Tertawa Di Atas Derita

    Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun dan membawa Habib ke ruang UGD. Sampai di ruang UGD kami di sambut oleh para petugas media. "Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas bangsal. Suster menyambut dengan segera ke datangan kami. "Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter. Habib segera ditangani para dokter dan suster. Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD. "Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter. Aku dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seing

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05

Bab terbaru

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 102 Tamat

    Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 101 Kembali ke Asal

    Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 100 Pernikahan

    Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 99 Tuan Jirayu

    Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 98 Bajak Laut

    Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 97 Kami Selamat

    Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 96 Seandainya

    Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 95 Perjalanan

    "Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 94 Malaikat Penolong

    "Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc

DMCA.com Protection Status