"Mas Anan!"
Saat wajah lelaki yang kurindukan selama lima tahun kini datang menemuiku tepat berdiri di hadapanku.
Lelaki yang sangat kurindukan bertahun-tahun merantau kini telah pulang dengan membawa kesuksesan. Ia pulang dengan membawa mobil mewah bermerek dan memakai pakaian rapi. Seperti pekerja kantoran dan di tangan kirinya tersemat jam bermerek berharga mahal. Ia pulang membawakan oleh-oleh untuk kedua anakku.
"Mas," panggilku lembut.
Lelaki yang kurindukan masih tak bergeming menatap rumah yang dulu ia tinggalkan masih tetap sama, reot dan sudah tua. Bahkan tambalan atapnya pun masih terlihat bocor kala hujan datang dengan deras membasahi bumi.
"Mas Anan," panggilku lagi. "Lihatlah anak kita sekarang sudah besar! Nara putri kita, sudah berumur lima tahun sejak kepergianmu. Dia cantik bukan? Habib juga sudah berumur sepuluh tahun sejak Mas pergi merantau meninggalkan kami," ucapku sembari menggendong Nara putri bungsuku.
Mas Anan meraih Nara yang ada dalam gendonganku. Ia memeluk dan mencium Nara bertubi-tubi sembari meneteskan air mata. Mas Anan sudah lima tahun merantau di kota Jakarta. Ia tidak pernah sekali pun pulang kerumah gubuk tuaku. Tiap bulan hanya mengirimkan uang belanja yang ia titipkan pada tetanggaku yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggalnya. Jika aku rindu padanya maka aku akan meminjam telepon tetangga untuk menanyakan kabarnya.
"Ayi, aku hanya pulang sebentar untuk mengabarimu. Tapi, bukan untuk kembali padamu," ucapnya kemudian.
"Maksudnya?"
"Ayi Fradila, mulai sekarang kau, aku bebaskan dari kewajibanmu. Aku menalakmu. Surat perceraian segera akan aku urus. Masalah biaya kamu tidak usah kawatir aku yang akan menanggung semuanya," lanjutnya.
Jantungku berhenti berdetak seketika mendengar ucapan talak dari lelaki yang kurindukan selama bertahun-tahun. Bagai anak panah tepat mengenai jantungku, kata-kata talak itu membuat tubuhku lunglai seketika. Bak petir menyambar di siang hari Mas Anan dengan begitu mudah menjatuhkan kata talak tepat di hari kedatangannya.
Selama lima tahun aku menunggunya di sini kembali. Saat ia datang hanya menghadiahiku talak. Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih tersebut telah memberiku dua orang anak. Saat ia pamit merantau untuk mengadu nasib putri bungsuku masih berumur tiga bulan. Dan yang sulung berumur lima tahun.
Masih kuingat saat melepas kepergiannya berjanji akan segera kembali membawa keberhasilan hidup yang lebih baik dan akan membawaku beserta kedua buah hati kami jika ia sukses dan bisa mempunyai rumah yang lebih layak dari yang sekarang aku tempati.
Rumah yang aku tempati adalah rumah peninggalan kedua orang tuaku yang sudah reot dan bocor di sana-sini. Dindingnya pun sudah lapuk digerogoti rayap. Para tetangga yang iba membantuku memperbaiki ala kadarnya dengan menempel dinding yang keropos dengan papan bekas seadanya.
"Dek, Mas pamit merantau. Jaga baik-baik anak kita! Jika nanti aku kembali dan berhasil akan kubawa kalian pindah ke rumah yang lebih bagus dari ini," ucapnya sembari mencium keningku.
"Sebenarnya aku keberatan Mas pergi merantau. Kami masih membutuhkanmu di sini Mas. Apalagi Nara masih berumur tiga bulan, ia masih membutuhkan kasih sayang ayahnya," kataku sembari menangis.
Dengan lembut Mas Anan mengusap air mataku yang menetes di pipi. Sementara Nara, bayi mungilku masih dalam gendongannya.
"Percayalah padaku. Aku akan kembali menjemputmu dan anak-anak jika sudah berhasil. Do'a'kan aku selamat sampai ke tujuan dan berhasil. Agar bisa membahagiakanmu dan anak kita berdua," bisiknya lembut.
Aku mengangguk. "Iya, Mas."
Kupeluk tubuh lelaki yang sangat kucintai selama lima tahun sudah menemani perjalanan hidupku mengarungi bahtera rumah tangga. Kulepas kepergiannya di ambang pintu bersama kedua permata hatiku. Mas Anan pergi dengan menumpang pada sebuah mobil pik up milik tetanggaku yang mengantar dan menjual barang dagangnya ke Jakarta tiap bulan.
Tetanggaku punya bisnis menjual buah pisang ke Jakarta setiap satu bulan sekali ia pasti akan menjual barang dagangannya bila sudah ada yang meminta banyak. Tidak hanya buah pisang yang menjadi bisnisnya, tapi juga buah jeruk yang ia ambil dari petani jeruk yang ada di daerah Berastagi. Kulepas kepergian lelaki yang sangat aku cintai dengan derai air mata. Senja itu menjadi kelabu saksi bisu melepas kepergian Mas Anan merantau ke kota Jakarta.
"Asalamualaikum, Bunda," ucap Habib yang baru pulang mengaji dari rumah Ustaz Rahman. Ucapan salam Habib membuyarkan lamunanku.
"Waalaikumsalam, Nak," jawabku. Segera kuhapus air mata yang sedari tadi menggenang di pipiku dengan menggunakan hijab syar'i yang aku pakai.
Habib segera menyalamiku dengan tazim dan memciumnya. Begitu pula dengan Mas Anan tak lupa ia salami dan mencium punggung tangannya.
"Ayah," seru Habib. Segera saja Habib menghambur dalam pelukkan ayahnya. Kerinduan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan untuk bertemu dengan ayahnya kembali kini telah terobati. Sayang hari ini adalah hari terakhir ia akan memeluk ayahnya, karena setelah ini Mas Anan akan kembali ke Jakarta.
"Nak, kamu sudah besar dan tampan sekali. Ayah, bangga melihatmu menjadi anak sholeh. Tetaplah seperti ini! Jadilah anak yang berbakti pada orang tua," ucap Mas Anan mengusap rambut Habib.
"Ayah, aku sangat merindukanmu. Bunda juga," celotehnya. "Ayah, pasti pulang untuk menjemput Bunda dan kami' kan?"
Mas Anan menghela napas berat. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah, kembali bukan untuk menjemput kalian. Tapi ...." Mas Anan menjeda ucapannya.
"Tapi, apa Yah?" tanya Habib penasaran.
"Ayah, kesini karena ingin bercerai dengan Bunda."
Aku hanya berdiri di pojokkan ruang tamu yang berukuran sempit sembari menyembunyikan tangisku. Aku tidak ingin kelihatan lemah di hadapan anak lelakiku.
"Nak, ayahmu hanya sebentar ke sini. Setelah ini ia akan kembali ke kota Jakarta. Setelah kamu besar nanti kamu bisa menemuinya di kota Jakarta," selaku. Memberi pengertian padanya agar dia tidak berkecil hati karena ayahnya setelah ini tidak akan pernah kembali ke sini.
"Tapi, kenapa Bunda?" tanyanya lagi. "Ayah, barusan saja kembali sudah mau pergi lagi. Emang Ayah gak sayang sama kita?"
Ucapan Habib terasa menusuk-nusuk jantungku dengan ribuan jarum runcing yang tajam. Aku berusaha setegar mungkin di hadapan kedua buah hatiku agar tidak kelihatan lemah. Mas Anan hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Habib. Meskipun Habib hanyalah seorang bocah berumur sepuluh tahun tahun tapi Habib sangat cerdas. Di kelas satu sampai sekarang, ia selalu mendapat juara satu umum dalam semua mata pelajaran. Dalam mengaji Habib juga di percaya Ustadz Rahman untuk mewakilinya mengajar anak di bawah umurnya.
Setiap bulan Ustaz Rahman akan membayarnya dengan upah ala kadarnya sebagai jasa telah membantu meringankan pekerjaanya. Kami setiap hari hanya bertahan hidup dari pengiriman Mas Anan yang hanya dua ratus ribu per bulan. Itu pun ia kirim lewat tetangga Pak Nurmin yang biasa menjual barang dagangnya ke Jakarta melalui penyeberangan Lampung pelabuhan Bakauheni.
Tentu saja aku tidak bisa hanya mengandalkan hasil uang kiriman Mas Anan yang berjumlah sedikit. Setiap hari aku harus mengambil cucian warga Kampung dan menyetrikanya hingga rapi barulah mendapat upah untuk mencukupi kebutuhan dapur. Untuk biaya yang lainnya membayar uang sekolah Habib atau pun membayar tagihan listrik tiap bulan aku harus menjual kue dan menitipkannya ke warung-warung tetangga barulah bisa terbayar itu pun kadang kue buatanku banyak yang sisa.
Jika sudah sore hari barang daganganku tidak laku, aku akan memberinya pada anak panti yang di pimpin oleh Ustaz Rahman. Letak panti tersebut di ujung jalan kampung.
"Nak, Ayah dan Bunda sekarang sudah bercerai. Kami tidak akan mungkin bersatu kembali," jelas Mas Anan.
"Ayah, bercerai itu apa?" tanya Habib polos.
Mas Anan terdiam. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan Habib yang mampu menohok hatinya. Dengan susah payah ia menelan salivanya.
"Sayang, suatu hari nanti kamu akan mengerti jika sudah besar," potongku memberi penjelasan.
Kuraih tubuh kurus Habib yang tinggi dan memeluknya dengan erat, tanpa terasa air mataku mengalir deras, sementara putri kecilku masih bermain dengan boneka pemberian ayahnya. Putri kecilku Nara tak sedikit pun bertanya tentang Mas Anan, karena memang sedari kecil ia tidak pernah melihat wajah Ayah kandungnya.
Berbeda dengan Habib yang saat itu sudah berusia lima tahun, ia sudah bisa mengenali wajah ayahnya. Hatiku terasa teriris-iris dengan pisau merasakan sakit dan perih yang begitu dalam saat lelaki tampan di hadapanku dengan mudah menghadiahiku talak.
Selama lima tahun lamanya aku menunggu kedatangannya kembali, tapi saat ia datang bukan manisnya cinta atau terobatinya rindu yang membara, aku dapatkan. Tapi kata talak yang ia hadiahkan.
"Nak, ini hadiah dari Ayah untukmu," Mas Anan mengeluarkan bungkusan dari peper bag dan memberikannya pada Habib. "Pakailah untuk mengaji!"
Sepasang baju koko dan peci hitam di keluarkan dari peper bag yang ia bawa tadi. Mas Anan memberikan Habib baju koko baru lengkap dengan pecinya. Ia memberikan baju itu pada Habib. Lalu, menghujani Habib dengan ciuman.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa membahagiakanmu. Setelah kamu besar nanti Ayah harap kamu akan mengerti dan memaafkan Ayahmu ini," ucap Mas Anan lirih.
Setelah itu ia beringsut dari tempat duduknya hendak meninggalkan gubukku.
"Ayah," panggil Habib. Mas Anan seketika menoleh kebelakang dan menghentikan langkahnya.
"Jaga Bunda dan adikmu Habib! Jadilah anak yang sholeh dan membanggakan orang tua." Mas Anan mengucapkan kalimat itu dengan mata yang berkaca-kaca. Sedetik kemudian ia berlalu keluar dari gubukku dan masuk ke dalam mobil mewahnya.
Habib mengejar ayahnya yang sudah memasuki mobil dan memanggil nama Mas Anan dengan nyaring.
"Ayah, jangan pergi! Kami merindukanmu," ucapnya sambil berlari mendekati mobil Mas Anan.
Namun, Mas Anan tidak menghiraukan panggilan Habib yang memanggilnya sembari mengetuk pintu mobilnya. Mas Anan malah menutup kaca mobilnya dan melajukan menjauh dari gubukku.
Sekilas kulihat di mobilnya duduk seorang wanita cantik berkacamata hitam duduk di sebelahnya dengan tersenyum tipis. Mas Anan sudah mempunyai wanita lain yang lebih cantik hingga memilih membuangku dan meninggalkanku dengan anak-anak.
Kupeluk Habib yang masih menangis melepas kepergian ayahnya. Lambat-laun mobil Mas Anan hilang menjauh sampai yang terlihat hanya seperti titik hitam.
***
Bersambung.
Kupeluk tubuh Habib yang kurus dengan erat sembari menangis. Belaian lembut mengusap rambutnya yang hitam lurus,berusaha untuk menenangkannya agar tidak terlalu bersedih karena kepergian ayahnya. Mata para tetangga mulai menatapku dengan pandangan dingin dan kaku. Kasak-kusuk terdengar cibiran dari mulut mereka."Habib, ayo kita masuk, Nak! Tidak baik terus berada di luar," ucapku lirih."Ayah, pergi Bunda," kata Habib sembari memelukku."Duh, ada janda baru di kampung kita, nih. Ibu-Ibu harap waspada dengan Ayi sekarang. Dia baru saja mendapat gelar janda baru karena suaminya menceraikannya sewaktu pulang," sela Bu Lina tetangga sebelah kananku."Kasihan, sudah ditinggal merantau lima tahun pulang malah diceraikan," ucap Bu Irma menimpali. Wanita bertubuh tambun tersebut suka gosip.Aku hanya mengelus dada medengar cibiran para tetangga. Ada rasa perih
"Asalamualaikum," ucapku pada Bu Helmi."Waalaikumsalam," jawab Bu Helmi dari dalam rumah.Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi sambil menenteng kerajang yang berisi pakaian bersih yang sudah disetrika."Bu, ini pakaiannya sudah selesai.""Iya, Ay," sahutnya.Bu Helmi keluar dari dalam kamar masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua."Ini, upah buatmu Ay," ucapnya mengulas senyum."Terimakasih, Bu."Kuterima uang lembaran dua puluh ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Ia terkenal dermawan pada setiap orang, terlebih lagi kepada keluargaku."Besok ada acara di rumah, Ibu. Kamu datang ya, buat bantu-bantu di dapur!" kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam yang tadi dibawanya dari arah dapur."Apa ini, Bu?" tanya
Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah."Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi."Bunda," panggilnya."Iya, Nak.""Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."Ayi mengangguk pelan. "Iya."Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kam
Aku dan Habib berjalan beriringan menyusuri perkebenunan sawit pulang dari sekolah. Sementara Nara aku gendong memakai jarik yang sudah kumal untuk menopang bobot tubuhnya.Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan."Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian ya
Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p
Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu
Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm
Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se
Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka
Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi
Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak
Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa
Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m
Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.
Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y
"Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes
"Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc