Sinar matahari pagi menyapu wajah Sofia yang duduk di tepi kolam. Napasnya terhembus kasar merasakan rasa frustasi yang ada di dadanya.Sejak berita tentangnya muncul di media, Sofia menjadi sangat malu. Seorang Sofia Ricci yang terkenal lemah lembut, ramah, sopan dan berwibawa, bisa-bisanya jatuh di sebuah pesta.Sofia melempar ponselnya ke samping saat baru saja membaca artikel dengan foto dirinya yang berantakan setelah jatuh waktu itu. Dalam foto itu, Sofia terlihat lusuh dan acak-acakan."Sial!" geramnya sambil mengusap wajah dengan kasar."Sofi, kamu tidak berangkat ke kantor?"Seketika wajah kesal Sofia berubah saat Isabella berjalan menghampirinya."Oh, Mom?""Kamu juga tidak datang ke meja makan untuk sarapan. Kamu baik-baik saja?" Tangan Isabella menyentuh kening anak gadisnya itu.Sofia mengambil tangan sang ibu lalu tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Mom.""Suhu tubuhmu sedikit meningkat, Mommy akan panggilkan dokter, ya?"Sofia menggeleng pelan. "Sungguh, Mom. Aku bena
Morgan mengulurkan tangannya membantu valeria turun dari mobil. Pria itu bisa melihat Valeria tidak nyaman dengan gaun yang kini dia gunakan.Malam ini adalah pertemuan bisnis yang sangat penting. Meskipun Valeria baru saja terjun ke dunia bisnis, tapi berkat nama Morreti dia bisa langsung diundang ke acara tersebut.Valeria juga harus siap jika nantinya dia mungkin akan bertemu dengan Julian. Pria itu tentunya pasti juga menghadiri acara seperti ini."Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum acara dimulai. Jika mau, kau bisa mengganti pakaianmu," ucap Morgan tepat di samping Valeria sambil menggandeng tangannya."Aku rasa, aku masih tahan.Yang penting gak melorot saja." Valeria justru terkekeh pelan.Gaun yang dia kenakan memang tidaklah nyaman, tapi dia pasti akan lebih sering memakai baju seperti ini kedepannya. Jadi Valeria akan menyesuaikan diri.Acara diselenggarakan dengan sangat mewah. Morgan dan Valeria memasuki tempat itu dengan penuh percaya diri.Morgan mendekatkan wajahn
"Ahh!"Erangan keras terlontar dari mulut Julian. Dia baru saja melakukan pelepasan di dalam liang hangat seorang wanita yang ada di bawah kungkungan tubuhnya.Tetesan keringat Julian menandakan betapa puasnya malam ini. Segera dia mencabut benda miliknya di bawah sana."Thank you, Baby.""Lain kali, kamu akan tidur denganku lagi, kan?" kata wanita itu sambil mengigit bibirnya sendiri.Julian menyeringai, lalu tidur disampingnya. Pelukan hangat Julian langsung menyergap tubuh mulus wanita itu yang tanpa sehelai benangpun."Tentu saja, Baby. Kamu selalu membuatku puas."Wanita itu tersenyum sangat senang. Tidur dengan Julian Ricci adalah sebuah kehormatan besar untuknya.Begitulah Julian. Setelah pesta pertemuan bisnis selesai, dia akan tidur dengan wanita-wanita cantik untuk memuaskan nafsunya.Sebelum bersama dengan Valeria, sifat buruk Julian sudah ada sedari dia remaja. Hanya saja, karena dia anak dari keluarga kaya, kasusnya selalu ditutupi.Begitu juga kasus perselingkuhannya den
Sudah sejak dua jam yang lalu Salvatore duduk di jok belakang mobil sambil melihat ke arah cafe. Tepatnya, dia sedang memandangi Valeria yang duduk sendirian setelah bertemu dengan seorang wanita."Memangnya dia mau apa setelah ini?" gumam Salvatore.Dia sediri juga bingung melihat Valeria yang bahkan tak beranjak sedikitpun dari kursinya.Hembusan angin malam menerpa wajah cantik Valeria. Senyuman Salvatore mengembang saat rambut Valeria menjadi berantakan."Cantik," gumamnya. "Sama saat kita pertama kali bertemu."Tak lama, Salvatore melihat perubahan wajah Valeria yang berubah menjadi kesal dengan tiba-tiba. Jari-jari lentik itu meremas kuat gelas yang ada di tangannya.Apakah perubahan suasana hatinya secepat ini? Pikir Salvatore.Membuntuti Valeria menjadi kegiatan rutin Salvatore akhir-akhir ini. Entah apa yang dipikirkannya, tapi Salvatore benar-benar tertarik dengan Valeria. Dia juga sudah tahu semua latar belakang Valeria. Dia juga tahu jika Valeria pernah menikah dengan Juli
Beberapa menit mobil Salvatore berjalan, kini berhenti tepat di pinggir jalan.Valeria bisa melihat Filarete Tower yang sudah sangat sepi karena sudah tutup."Kenapa kita ke sini?" tanya Valeria yang langsung menoleh ke arah Salvatore.Salvatore hanya diam. Dia melepaskan sabuk pengamannya lalu menoleh ke arah Valeria.Mata biru dengan alis tebal itu lagi-lagi membuat Valeria terpesona. Entah kenapa Valeria bahkan tak merasa takut saat Salvatore mengajaknya ke tempat ini."Kamu tidak takut denganku? Orang lain akan menghindari tatapan mataku saat aku melihatnya seperti ini," kata Salvatore.Valeria mengedikkan bahu. "Kenapa aku harus takut?""Harusnya kamu takut. Bisa saja aku menculikmu setelah ini, atau mungkin menghabisimu.""Cih, jika pun begitu, kenapa tadi kamu menolongku?" kata Valeria sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, lalu menatap ke depan di mana Filarete Tower berada. "Oh, satu hal lagi. Aku tidak akan berterima kasih. Aku tadi tidak butuh bantuanmu. Sama sekali."
Valeria nampak fokus di depan meja kerjanya. Sejak pertemuannya dengan Salvatore beberapa hari yang lalu, Valeria menjadi sangat sibuk. Karena dia juga harus mengurusi banyak proyek yang dia ambil alih dari Julian.Tok! Tok!"Masuk."Mona membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan melihat Valeria yang masih berkutat dengan layar laptopnya."Maaf Nyonya, gaun yang anda pesan sudah siap.""Lima belas menit lagi aku akan turun," ucap Valeria masih tak mengalihkan pandangannya."Baik, Nyonya."Mona langsung keluar dari sana. Satu bulan bekerja dengan Valeria membuatnya belajar satu hal, apapun yang Valeria ucapkan harus segera dilaksanakan.Mesin ketik Valeria kini behenti. Dia menutup laptopnya dan melepas kacamata yang dia gunakan.Tubuh ramping itu mendorong sandaran kursi agar berputar kebelalang. Dia menghela napas kasar saat melihat pemandangan kota Milan di depannya dari balik jendela kaca.Malam ini, dia berencana menghadiri undangan Rossalia untuk makan malam dengan para wanita-wan
"Ahhh!"Isabella berteriak sambil melemparkan tasnya ke sofa ruang tamu.Gegas, Giovani, Sofia dan juga Julian yang semula ada di kamar langsung menghampirinya dengan terburu-buru."Mom? Ada apa?" teriak Sofia sambil berlari menuruni tangga."AH! Akan aku bunuh jalang itu! Aku benci dia! Aku benci dia!"Isabella mengambil vas bunga lalu membantingnya ke lantai. Pecahannya bahkan sampai mengenai kaki Isabella sendiri."Mommy!""Ada apa sih, Mom? Pulang-pulang kok marah-marah?"Isabella semakin mengamuk dan membanting semua yang ada dihadapannya. Giovani dan juga Julian berusaha menghentikan Isabella."Mom! Sudah!""Akh! Aku kesal sekali!"Mereka membawa Isabella duduk di sofa."Sofia, ambil kotak obat," perintah Giovani."Baik, Dad."Sofia langsung beranjak dari tempatnya. Para pelayan juga berdatangan untuk membersihkan kekacauan yang dibuat oleh Isabella."Mom, ada apa sih?" tanya Julian.Julian dan Giovani sama-sama duduk di sisi Isabella. Wanita itu terlihat masih marah dengan mata
Valeria berjalan ke lorong hotel guna untuk pergi dari sana. Setelah keributan yang diakibatkan oleh Isabella, acara makan malam itu pun dibubarkan.Senyum puas terpancar dari wajah Valeria. Meskipun ini belum akhir dari segala balas dendamnya, tapi melihat wajah Isabella yang malu malam ini sudah menjadi kebahagiaan bagi Valeria.Baru juga Valeria tersenyum, tiba-tiba saja perutnya sakit. Langkah kakinya terhenti. Alisnya berubah mengkerut menahan sakit. Tangannya gemetar dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya."Akh!"Hampir saja Valeria terhuyung, sebuah tangan kekar sudah memegangi pinggang ramping Valeria dari belakang.Aroma parfum yang tak asing di indra penciuman Valeria membuatnya mendongak."Salvatore?"Buru-buru Valeria hendak melepeskan diri, tapi Salvatore justru mengeratkan tangannya. Membuat tubuh mereka saling menempel.Tatapan tajam dan dingin Salvatore menunduk menatap netra Valeria."Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" bisik Valeria dengan nada geram.Valeria
Sore itu, Salvatore tiba di kantor Valeria dengan niat untuk menjemputnya setelah hari yang panjang. Namun, Amara memaksa ikut bersamanya. Meskipun Salvatore tidak menolaknya, dia merasa sedikit terganggu dengan kehadiran sepupunya, terutama karena Valeria belum sepenuhnya nyaman dengan Amara. Saat Salvatore dan Amara menunggu di depan gedung kantor, Alessio tiba-tiba muncul. Dia turun dari mobil, tampak santai namun penuh percaya diri, berjalan ke arah Valeria dengan senyum lebar di wajahnya. Alessio tidak pernah menyembunyikan rasa tertariknya pada Valeria, dan dia tidak ragu untuk menunjukkan perhatiannya di depan orang lain. Valeria yang baru saja keluar dari gedung kini memicingkan matanya melihat Alessio. Dia benar-benar muak dengan keadaan hari ini. Belum lagi dia harus siap mendengarkan omelan Elena saat sampai di rumah karena dia telah melanggar janji untuk pulang setelah makan siang. Melihat Alessio yang mendekati Valeria, Salvatore pun turun dari mobilnya. Dia juga mengha
Valeria kembali ke kantor walaupun tangannya masih terluka dan melepuh akibat insiden penyiraman kopi panas. Meskipun dokter, Salvatore dan orang tuanya, terutama Mommy-nya, telah memintanya untuk beristirahat, Valeria keras kepala. Dia merasa sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaannya dan tidak mau membiarkan tanggung jawabnya terabaikan lebih lama."Apa yang kau pikirkan, Valeria? Kau seharusnya di rumah, beristirahat." Elena memarahi dengan nada khawatir melalui telepon. "Luka di tanganmu belum sembuh. Kau tidak perlu terburu-buru kembali ke kantor.""Aku baik-baik saja, Mom. Aku sudah terlalu lama absen. Ada banyak hal yang harus diselesaikan," jawab Valeria, mencoba menenangkan."Mommy gak mau tau, kamu pulang sekarang.""Gak bisa, Mom.""Mommy akan menyuruh seseorang untuk menyeret kamu pulang."Valeria mendesah pelan. Bagaimanapun juga, Elena akan benar-benar melakukan itu, jadi Valeria harus melakukan negosiasi dengannya."Sampai jam makan siang, oke? Setelah itu aku akan pu
Keesokan harinya, Valeria berjalan menuju gedung kantor dengan langkah biasa. Dia terlihat sangat profesional dan elegan. Apapun yang terjadi, Valeria tetap mengutamakan pekerjaannya.Saat dia mendekati pintu masuk, tiba-tiba saja seorang pria tak dikenal dengan cepat mendekat dan tanpa peringatan menyiramkan kopi panas ke arahnya. Valeria terkejut, menjerit kesakitan, merasa panas di lengan dan bahunya."Akh!""Hai kau!" teriak seseorang saat melihat pria itu menyiram Valeria.Semua orang yang ada di sana langsung menoleh ke arah Valeria dan pria itu langsung berlari kabur dari sana. Para staf di sekitar gedung segera membantu dan membawa Valeria ke rumah sakit terdekat.Berita mengenai insiden tersebut dengan cepat sampai ke telinga Salvatore. Wajahnya memucat saat mendengar laporan itu, perasaannya campur aduk antara marah dan khawatir. Dia segera meninggalkan semua pekerjaannya dan bergegas menuju rumah sakit.Saat tiba, Salvatore menemui Valeria yang tengah dirawat. Luka bakar di
Setelah makan malam, Valeria memutuskan untuk pulang. Meskipun Salvatore sudah beberapa kali membujuknya, wanita itu tetap saja kekeh. Padahal Salvatore masih ingin berlama-lama dengan Valeria.Mau tidak mau Salvatore pun mengantarkan Valeria pulang. Sayangnya, Amara terus saja mengikuti mereka. Valeria mulai jengah dengan sikap manja Amara yang seolah di buat-buat.Di dalam mobil, suasana terasa tegang dan canggung. Salvatore yang duduk di depan, sesekali melirik ke arah Valeria yang terlihat resah di sampingnya. Setiap kali Salvatore mencoba berbicara lebih dekat dengan Valeria, Amara yang duduk di jok belakang selalu saja menyela percakapan mereka dengan hal-hal yang sepele."Sepertinya aku akan mampir sebentar untuk menyapa Tuan Lorenzo. Aku merasa sudah lama tidak berbicara dengannya."Valeria tersenyum. "Aku rasa, Daddy sedang minum teh di jam seperti ini. Kau bisa-""Valeria, rumahmu jauh dari sini?" Amara bertanya dengan nada ceria, memotong ucapan Valeria, seakan tidak menyad
Valeria memasak dengan cermat di dapur, namun pikirannya tidak bisa fokus sepenuhnya. Setiap kali mengaduk panci atau menyiapkan bahan, bayangan Amara terus mengganggu benaknya.Satu jam yang lalu, Salvatore tiba-tiba saja keluar dari ruang kerjanya dan pergi begitu saja. Dia kembali bersama gadis cantik yang anggun dan lemah lembut.Amara, dengan sikap manja dan terlalu dekat dengan Salvatore, seolah menancapkan duri di hati Valeria. Meskipun Salvatore sudah jelas mengatakan bahwa Amara hanyalah adik sepupu. Namun, cara Amara memperlakukan Salvatore terasa terlalu intim untuk sekadar hubungan keluarga.Valeria mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa Salvatore tidak mungkin berkhianat. Mengingat mereka berdua sudah memutuskan untuk pacaran.Namun sikap hangat Salvatore kepada Amara di depan matanya membuat kecemburuan muncul tanpa bisa dia cegah. Setiap tawa Amara yang menggema di mansion, setiap sentuhan kecil pada lengan Salvatore, membuat Valeria semakin tidak nyaman."Apakah
Salvatore duduk tenang sambil menggenggam tangan Valeria yang kini tertidur di bahunya. Sudah beberapa jam sejak mereka melakukan penerbangan dari Singapura. Valeria terlalu lelah sampai-sampai tak bisa membuka matanya sepanjang perjalanan.Senyum tipis terulas di bibir Salvatore sambil memandang keluar jendela mobil yang melaju ke kota Milan. Dia mengingat betapa manjanya Valeria semalam saat meminta dirinya melakukan hal itu.Namun, Salvatore justru tidak memberikan apa yang Valeria mau. Entah apa yang merasuki Salvatore, dia ingin melakukannya ketika mereka sudah menikah. Salvatore hanya menyalurkan hasrat mereka dengan cara lain."Tuan, apa kita langsung pergi ke kediaman Morreti?" tanya sang supir.Salvatore menatap ke depan, ke arah spion. "Ke mansion saja dulu.""Baik."Mata Salvatore langsung beralih ke Valeria yang terlihat bergumam dalam tidurnya. Tangan kekar itu dengan lembut mengusap kepala Valeria agar tidurnya semakin nyaman.Setelah sampai di mansion, Valeria terbangun
Desahan Valeria terdengar menggema di ruangan itu. Tangan kiri Salvatore sengaja menahan kedua tangan Valeria di atas kepalanya.Tubuh Salvatore menghimpit Valeria ke tembok sampai perempuan itu tidak bisa lepas dari cengkeramannya. Ciuman Salvatore juga semakin liar saat mengisap dan menyecap lidah Valeria."Um! Salvatore!"Mata Valeria menatapnya dengan sayu. Tubuhnya mulai dikuasai kabut hasrat karena sentuhan Salvatore."Apa?"Suara Salvatore terdengar sangat seksi di telinga Valeria. Wajah tampan itu benar-benar memabukkan Valeria."Jangan menyiksaku seperti ini lagi," gumam Valeria.Tawa kecil terdengar dari bibir Salvatore. "Kau sudah tersiksa hanya karena seperti ini saja? Huh?!""Ah!"Salvatore dengan sengaja meremas kedua pantat Valeria yang masih terbungkus gaun indahnya. Untung saja Salvatore sudah membawa Valeria ke hotel. Jika tidak, maka mereka akan melakukan ini di restoran tadi."Salvatore!"Valeria terlihat protes tapi nyatanya hal itu justru terdengar sebagai rengek
Malam ini, Salvatore mengajak Valeria ke sebuah restoran mewah di Singapura, yang terletak di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan indah kota yang dipenuhi lampu-lampu. Suasananya intim, dengan cahaya lilin di meja mereka yang menyala lembut, dan suasana romantis mengelilingi mereka. Valeria mengenakan gaun yang elegan, sementara Salvatore tampak tampan dengan jas hitamnya.Salvatore sambil tersenyum kepada Valeria, matanya penuh kasih sayang. Meski besok mereka harus kembali ke Milan, malam ini ia bertekad membuat Valeria merasa istimewa."Kenapa juga kau mengajak ku makan malam seperti ini? Katanya nanti malam ada rapat online," gumam Valeria saat melihat Salvatore sudah duduk di seberang meja."Sengaja, Dolcezza. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu."Sambil menyantap hidangan lezat, mereka berbincang ringan. Sesekali, Salvatore menggenggam tangan Valeria yang terletak di meja, memberinya ciuman lembut di punggung tangan. Dia benar-benar memberikan perhatian penu
"Hai, Baby. Kamu baik-baik saja?"Marvelion berjalan mendekatinya Sofia yang berjalan pincang di koridor kantor. Perempuan itu tampak mengernyit karena sakit."Kamu kenapa? Kesleo?"Sofia menatap tajam Marvelion. "Ini semua gara-gara Valeria. Minggir!"Marvelion yang baru saja hendak memegang tangan Sofia untuk membantunya, kini mematung di tempat sambil menatap kepergian Sofia. Baru kali ini Marvelion melihat sikap kasar Sofia. Padahal biasanya, perempuan itu selalu terlihat lemah lembut dan penuh kasih sayang.Sofia baru bisa kembali ke kantor sejak satu Minggu yang lalu karena Valeria mendorongnya. Selama itu dia benar-benar tidak bisa jalan. Dia benar-benar murka kepada Valeria sampai-sampai lupa menyembunyikan topengnya dari orang lain."Valeria sialan!" gumam Sofia saat membuka sepatu sneakers-nya di meja kerja."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Bawakan semua berkas yang tertunda kemarin," kata Sofia sambil mengibaskan tangannya."Baik nyonya." Perempuan itu segera pergi dari