Di dalam ruangan dengan warna coklat gelap. Seorang pria dengan wajah tak kalah tampan dari Leonardo menatap lekat pada wanita yang saat ini berdiri menatapnya dengan tatapan marah.Bram melangkah mendekat seiring dengan langkah kaki Dara yang mundur ke belakang. Wanita itu, menelan ludah kasar membayangkan kembali malam panas yang pernah terjadi.“Kenapa mundur, Nona.” Bram menarik tangan Dara lembut ke arahnya, membentur dadanya yang bidang.“Pak Bram. Jaga sikap Anda, ya.” Dara menyentak tangan Bram dan mundur menjauh.Bram mendengus kasar, berbalik dan melangkahkan kaki ke arah kursi miliknya. Pria itu dengan gagahnya duduk kemudian memakai kembali kacamata yang tadi dilepas.“Selamat karena Anda sudah kembali bekerja, Nona,” kata Bram kembali pada sikap awalnya. Ia menatap ramah pada Dara seolah tak pernah terjadi hal mendebarkan pada kerjanya.Dara membenarkan rambutnya kemudian berdehem. “Pak, saya ingin bertanya mengapa surat pengunduran diri saya Anda tolak?”Bram masih menat
Suara ketukan pintu terdengar, Leo membuka kacamata dan mengizinkan orang yang mengetuk segera masuk.Dari luar, masuklah Dara senyum yang menawan. Langkah kaki yang begitu anggun terlihat sangat indah.“Selamat siang, Pak.” Dara semakin mendekat dan menyerahkan dokumen yang dibawanya ke meja Leo.“Pak, saya membutuhkan tanda tangan Anda,” katanya sembari melirik wajah tampan bosnya yang semakin bersinar setelah kepulangan dari liburan minggu lalu.Leo membubuhkan tanda tangan miliknya di setiap lembar yang Dara buka. “Di sini juga?” “Benar Pak,” jawab Dara dengan senyum yang menawan.Setelah semua selesai, Leo menutup dokumen dan menyerahkan kembali kepada Dara. Dara mendekat ke arah Leo, duduk di atas pangkuan bosnya dengan berani.Leo mengerang marah karena tak menduga jika Dara seberani itu melakukannya tanpa aba-aba, “Dara, apa yang kamu lakukan?”Dara mengalungkan tangan pada leher Leo, semakin mendekatkan tubuhnya yang sintal dan mengecup pipi Leo dengan sensual.“Dara,” kata
Leonardo mengusap wajah kasar. Ia melihat kotak makan dengan isian yang menggiurkan di atas meja. Akan tetapi, tak sedikit pun ia mencicipi. Bukan karena tidak suka, melainkan selera makannya yang tak ada lagi.“Pak, saya permisi, dulu!” Bram yang memang berniat membawa makanan yang Alice bawa sudah siap untuk meninggalkan rumahnya, tetapi, Leo memintanya kembali duduk dan menemaninya untuk makan siang bersama.Sementara Alice, wanita itu langsung saja pulang setelah berhasil memberinya satu tamparan juga.Bram melirik pelan ke arah bosnya, tanda merah berbentuk telapak tangan masih terlihat nyata di sana. “Pak, saya akan membawa es untuk Anda, tolong tunggu sebentar,” kata Bram sekali lagi ingin berpamitan.“Duduklah! Aku tidak membutuhkan apa pun selain teman makan,” kata Leo. Ia meraih linting dan sendok dengan malas, tulisan indah tangan istrinya pun masih ada di atas meja.Menghela napas panjang, Bram akhirnya meraih piring lain dan menyendok nasi dengan sepotong daging ke atas p
Waktu berputar lebih cepat setelah kejadian itu. tujuh bulan telah berlalu, semua terlihat baik-baik saja. Alice dengan pekerjaannya begitu pun dengan Leo yang semakin sibuk dengan kesibukan sendiri.Alisa sudah selesai dengan sekolahnya dan bekerja di bawah kakaknya—sekretaris Leonardo yang baru. Karena setelah kejadian Alice menampar Dara, wanita itu menghilang tanpa kabar lagi.Bram yang paling lelah mencari karena Dara membawa setengah dari hatinya.“Pak Bram, usiamu sudah begitu tua, tetapi mengapa masih saja menyendiri?” Alisa duduk dengan kopi di tangannya, menyesapnya sedikit dan menatap miris pada asisten kakaknya.Mendengus kasar, “Nona, tolong jangan ganggu saya. Saya tidak dalam suasana hati yang baik.”Berdecih, “Sejak kapan suasana hatimu baik, Pak. Sudah biarkan saja dia yang sudah pergi, masih ada wanita lain yang lebih baik, ‘kan?”Alisa menyesap kopi miliknya, kemudian tersenyum simpul. “Pak Bram, apakah mau menjadi kekasihku?”Bram yang tengah gundah gulana, mendapa
Udara dalam ruangan semakin panas, padahal Arsen sudah menambah suhunya. Melihat keduanya yang saling menatap dengan murka. Pria itu mendengus kasar. “Jika kalian ingin bertengkar, jangan di ruanganku. Pergilah, cari tempat yang luas.” Arsen berdiri dan membawa langkahnya ke arah mejanya.“Ingat, jika kalian sudah berhasil saling menyakiti, jangan salahkan aku karena tidak akan membela siapa pun di antara kalian.”Silvia mendengus kasar. Ia meraih tas yang sudah diletakkan di sofa, kemudian keluar dari ruangan Arsen tanpa mengatakan sepatah kata pun.Menyaksikan kepergian Silvia. Hari Vita bahagia. Ia merasa jika Silvia mulai menyadari jika dirinya yang lebih pantas bersanding dengan Arsen.“Arsen, apa kamu sibuk? Bagaimana jika kita makan siang bersama di bawah?” “Keluarlah! Kita sudah tidak ada hubungan apa pun, lagi Vita,” kata Arsen menatap datar pada wanita yang langsung terdiam di tempatnya.“Arsen, apa maksudmu, kita ini pernah bertunangan, aku–”“Hentikan kebodohanmu, Vita.
Leonardo dan Arsen saling pandang, kemudian sesaat kemudian mereka berdua tertawa. “Jangan bercanda. Aku tahu, tertawa kalian tidak tulus.” Arsen berdehem kemudian memutuskan melanjutkan makanan mereka. Sesekali ia menatap Alice yang terlihat bahagia ketika dengan sengaja Leonardo menyuapinya.‘Apa mereka berdua sengaja membuatku cemburu?’ batin Arsen mulai kepanasan.“Kami memang seromantis ini, jadi jangan berpikir jika aku sengaja memamerkan kemesraan kami,” kata Leonardo seolah mengetahui isi hati rekannya.Mendengus kasar, Arsen kembali melanjutkan makannya, tanpa memedulikan ejeken Leon tak henti membuat darahnya mendidih.Beberapa menit kemudian. Alice tersenyum cerah, ia menatap sahabat dan juga suaminya secara bergantian.“Aku senang melihat kalian berdua duduk berdampingan seperti ini,” kata Alice, mereka sudah selesai dengan makan siang dan sudah membersihkan semuanya.Arsen dan Leo sama-sama mendengus kasar dan serempak membuang muka ke samping.Alice terkekeh, merasa lu
Di dalam ruangan yang cukup besar. Leonardo duduk dengan wajah tak bisa terbaca. Ia terus menciumi tangan wanita yang dicintainya dengan sepenuh hati.“Kenapa suka sekali membuatku khawatir?” katanya dengan nada yang dalam.“Bagunlah, buka matamu,” imbuhnya lagi begitu khawatir.Beberapa menit sebelum kejadian, Leonardo dan Arsen hampir saja saling serang sebelum Jhon menggagalkan aksi mereka.Beberapa saat, setelah mengatur napas dan juga keadaan, Leonardo akhirnya memutuskan untuk kembali, pun dengan Arsen yang ikut di belakang bersamanya.Namun, mereka semakin terkejut karena tak mendapati Alice di dalam mobil.Pintu ruangan terbuka, Leonardo berdecak saat mengetahui siapa yang masuk tanpa diundang.“Kenapa wajahmu seperti itu? Aku hanya ingin melihat keadaannya,” kata Arsen dengan senyum kecil.Di belakang pria itu, ada Silvia yang masuk dengan wajah yang tak kalah khawatirnya.“Kakak ipar, biarkan kami berdua melihat Kak Alice,” kata Silvia, takut jika kedua orang ini kembali mem
Setibanya di rumah mereka. Alice di kejutkan dengan kehadiran semua anggota keluarga. Ada ayahnya dan Silvia, juga ibu mertuanya—Luna dan Lisa.“Ayah, di sini?” Alice memeluk ayahnya dengan haru, iantidka melihat ibu–Delima, tetapi ia tahu di mana wanita itu sekarang.“Apa Ayah harus melakukan sesuatu padanya,” jaga Oscar cukup membuat gentar semua orang, kecuali Silvia.Menggeleng pelan. “Ayah, aku baik-baik saja. Dokter pun mengatakan ini hal biasa terjadi.”Mendengus kasar, “Bagaimana bisa dokter itu mengatakan ini hal biasa, kamu sampai terluka dan masuk ke rumah sakit.”Alice mengusap lengan ayahnya pelan. “Aku baik-baik saja. Ayo duduk di sana.”Oscar akhirnya mengangguk. Kemudian Alice berjalan mendekat pada Luna yang berdiri mematung di sebelah Lisa. “Ibu terima kasih karena sudah menyempatkan diri untuk datang.”Luna mengangguk kecil. “Lain kali hati-hati. Jangan terlalu cepat ikut dengan orang lain.”“Aku akan mengingat ini. Terima kasih Ibu. Alisa, terima kasih sudah datang
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t