Di atas pasir putih, dengan taburan kelopak mawar berwarna merah terang, juga dengan hiasan lilin yang menyala berbentuk hati, Alice dan Leonardo berdansa di tengahnya.“Terima kasih karena memberi kesempatan kedua untukku,” ucap Leo berbisik di telinga sang istri.“Heum, berjanjilah, selesaikan urusanmu dengan Dara atau kita tidak perlu bersama–”“Aku akan selesaikan semuanya. Kamu juga harus berjanji, jangan terlalu dekat dengan Arsen, aku tidak menyukainya,” balas Leo tidak mau kalah.“Hem, kita mulai dari awal. Hanya aku dan kamu, tidak ada Dara maupun Arsen,” sambung Alice dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Harapannya, kini telah terwujud, Leo membalas cintanya dan itu berkat kesabaran.Keduanya menikmati kebersamaan berdua, beberapa lilin mereka bahkan sudah padam karena tiupan angin pantai. Alice dan Leo masih saling berdansa, menukar setiap rasa yang ada di dalam hati.“Bagaimana kalau kita masuk, aku sudah tidak tahan dengan dinginnya,” kata Alice pada Leo yang masih
Di dalam ruangan dengan warna coklat gelap. Seorang pria dengan wajah tak kalah tampan dari Leonardo menatap lekat pada wanita yang saat ini berdiri menatapnya dengan tatapan marah.Bram melangkah mendekat seiring dengan langkah kaki Dara yang mundur ke belakang. Wanita itu, menelan ludah kasar membayangkan kembali malam panas yang pernah terjadi.“Kenapa mundur, Nona.” Bram menarik tangan Dara lembut ke arahnya, membentur dadanya yang bidang.“Pak Bram. Jaga sikap Anda, ya.” Dara menyentak tangan Bram dan mundur menjauh.Bram mendengus kasar, berbalik dan melangkahkan kaki ke arah kursi miliknya. Pria itu dengan gagahnya duduk kemudian memakai kembali kacamata yang tadi dilepas.“Selamat karena Anda sudah kembali bekerja, Nona,” kata Bram kembali pada sikap awalnya. Ia menatap ramah pada Dara seolah tak pernah terjadi hal mendebarkan pada kerjanya.Dara membenarkan rambutnya kemudian berdehem. “Pak, saya ingin bertanya mengapa surat pengunduran diri saya Anda tolak?”Bram masih menat
Suara ketukan pintu terdengar, Leo membuka kacamata dan mengizinkan orang yang mengetuk segera masuk.Dari luar, masuklah Dara senyum yang menawan. Langkah kaki yang begitu anggun terlihat sangat indah.“Selamat siang, Pak.” Dara semakin mendekat dan menyerahkan dokumen yang dibawanya ke meja Leo.“Pak, saya membutuhkan tanda tangan Anda,” katanya sembari melirik wajah tampan bosnya yang semakin bersinar setelah kepulangan dari liburan minggu lalu.Leo membubuhkan tanda tangan miliknya di setiap lembar yang Dara buka. “Di sini juga?” “Benar Pak,” jawab Dara dengan senyum yang menawan.Setelah semua selesai, Leo menutup dokumen dan menyerahkan kembali kepada Dara. Dara mendekat ke arah Leo, duduk di atas pangkuan bosnya dengan berani.Leo mengerang marah karena tak menduga jika Dara seberani itu melakukannya tanpa aba-aba, “Dara, apa yang kamu lakukan?”Dara mengalungkan tangan pada leher Leo, semakin mendekatkan tubuhnya yang sintal dan mengecup pipi Leo dengan sensual.“Dara,” kata
Leonardo mengusap wajah kasar. Ia melihat kotak makan dengan isian yang menggiurkan di atas meja. Akan tetapi, tak sedikit pun ia mencicipi. Bukan karena tidak suka, melainkan selera makannya yang tak ada lagi.“Pak, saya permisi, dulu!” Bram yang memang berniat membawa makanan yang Alice bawa sudah siap untuk meninggalkan rumahnya, tetapi, Leo memintanya kembali duduk dan menemaninya untuk makan siang bersama.Sementara Alice, wanita itu langsung saja pulang setelah berhasil memberinya satu tamparan juga.Bram melirik pelan ke arah bosnya, tanda merah berbentuk telapak tangan masih terlihat nyata di sana. “Pak, saya akan membawa es untuk Anda, tolong tunggu sebentar,” kata Bram sekali lagi ingin berpamitan.“Duduklah! Aku tidak membutuhkan apa pun selain teman makan,” kata Leo. Ia meraih linting dan sendok dengan malas, tulisan indah tangan istrinya pun masih ada di atas meja.Menghela napas panjang, Bram akhirnya meraih piring lain dan menyendok nasi dengan sepotong daging ke atas p
"L-leon, apakah kau bisa ikut … denganku?" Alice terlihat tergugup dan masih terus berusaha membujuk Leonardo agar ikut dengannya ke rumah orang tua Alice. Alice mengekor kemanapun Leonardo melangkah, bahkan Alice dengan sengaja menghalangi langkah sang suami yang ingin bercermin. "Alice, jangan kekanakan!" seru Leonardo menatap Alice dengan tatapan jengah. Alice mengerucutkan bibir. Dia tidak marah sama sekali walaupun Leonardo sering kali menganggapnya tidak ada. Bahkan Leonardo sering kali menatapnya dengan tatapan remeh. Alice menghembuskan napas pelan, ia berdiri di hadapan Leonardo yang masih serius dengan kegiatannya memasang dasi berwarna biru. Suaminya ini selalu terlihat tampan dari sisi manapun. "Sini, biar aku bantu memakainya." Alice sudah siap, tangannya sudah akan menyentuh kerah kemeja suaminya sebelum Leonardo menepis keras tangannya. "Jauhkan tanganmu!" Leonardo menatap Alice dengan tatapan yang menghunus. Membuat Alice menjauhkan tangannya dari Leonardo d
Beberapa pelayan yang tadi sempat berada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi mendekat dan menolong Alice. Mereka semua ikut sedih tetapi tidak berani melakukan apa pun. "Nyonya, maaf karena kami tidak melihat kondisi dapur sebelumya," kata salah seorang di antara mereka. Alice berdiri dan menatap penampilannya yang semakin kacau, ia menghela napas dan menggeleng. "Bukan salah kalian. Pergilah, lanjutkan pekerjaan kalian lagi." "Tapi, Nyonya Anda--" "Tidak masalah, aku akan bersihkan dapur setelah itu membersih diri," potongnya cepat. Jika tidak segera membersihkan dapur, ibu mertuanya bisa kembali murka. ** Setelah kejadian pagi tadi, Leonardo segera bergegas berangkat ke kantor. "Selamat pagi, Pak," sambut wanita cantik dengan rambut sebahu. Leonardo hanya mengangguk, dia bahkan tidak tertarik memperhatikan Dara terlalu lama. Wanita dengan setelan formal itu hanya tersenyum kecut, lalu menekan tombol paling atas untuk sampai ke ruangan CEO. Sementara itu, pr
Beberapa saat setelah berhasil keluar rumah. Alice yang sudah berada di dalam taxi lantas menghubungi Leonardo kembali. Namun, setelah beberapa kali mencoba, Leonardo masih belum menerima panggilan darinya. Tidak putus asa, Alice terus mencoba sampai berhasil. "Halo, Leo, apa kau sibuk?" Sumringah Alice ketika panggilannya mendapatkan respon. Alice mengerutkan kening karena bukan suara Leonardo yang menjawab panggilannya. Itu suara wanita yang seketika membuat perasaannya aneh. "Kau siapa? Di mana suamiku, Leonardo?" tanya Alice dengan wajah datar. Entah kenapa, tetapi suara di balik layar memberikan radar bahaya pada rumah tangganya. "Saya, Dara, Leon--" jawab Dara. Akan tetapi, ia tidak segera melanjutkan ucapannya karena suara Alice kembali terdengar. "Dara?" ulang Alice lagi. "Heum, Anda siapa ya?" Terdengar lagi suara Dara dari balik layar. Alice langsung mematikan panggilan dengan sepihak, ada perasaan yang aneh menyelimuti hatinya saat nama itu disebutkan. Apalagi, saat
Dalam ruangan berukuran besar dengan barang-barang mewah di dalamnya. Pria berusia 60 tahunan sedang berdiri dengan tangan di belakang punggung. Ia sedikit mendongak dengan tatapan rindu dan penyesalan. Sesekali ia menghela napas pelan dan berucap sangat lirih, "Sayang, maafkan Ayah Nak. Kembalilah, Ayah merindukan dirimu." Tuan Oscar adalah salah satu pria terkaya di Eropa. Kekayaannya yang melimpah dan dengan usaha yang tersebar di mana-mana membuat hidupnya bergelimang harta. Namun, kepergian putri sulungnya menjadi salah satu cambuk terbesar di usia tua, yang harusnya di kelilingi oleh orang-orang terkasih. Sekali lagi, tatapan rindu itu begitu nampak jelas dari mata yang sudah mulai mengabur. "Kembalilah, Nak. Ayah sangat merindukan semua tentangmu." Tuan Oscar mengusap air matanya pelan. Putri sulungnya, menghilang begitu saja, bahkan sampai saat ini, dia tak tahu di mana keberadaan gadis cantiknya. Ia masih mengingat senyum manis putrinya. Lesung pipi kecil ketika ia terseny