“Bagaimana? Apakah kamu suka hadiahnya?” Leonardo memeluk wanitanya dari belakang. Menatap wajah cantik yang tengah tersenyum dari pantulan cermin besar.Alice memegang kalung berlian di lehernya, terlihat berkilau dan sangat cantik. “Tentu saja. Ini adalah hadiah pertama darimu, aku sangat menyukainya.”Alice meringis tatkala Leo mencubit pelan pinggangnya. “Aku tahu bersalah, tetapi jangan terlalu sering mengingatnya, aku semakin merasa kecil.”“Ah, baiklah. Maafkan aku tuan Leon. Sekarang, katakan padaku, apakah aku terlihat lebih menarik dari sebelumnya?” tanya Alice menatap suaminya dari pantulan cermin. Wajah tampan Leo yang begitu rupawan. Pantas jika ada wanita lain yang begitu tergila-gila pada suaminya.“Kamu selalu cantik walaupun tak mengenakan riasan. Akan tetapi jika berhias seperti ini, aku justru semakin takut. Takut jika dua pria yang selama ini mengekor padamu semakin jatuh cinta,” sindir Leo mengingat tentang Arsen dan juga Edgar.“Keduanya memang tampan, tetapi aku
Di atas pasir putih, dengan taburan kelopak mawar berwarna merah terang, juga dengan hiasan lilin yang menyala berbentuk hati, Alice dan Leonardo berdansa di tengahnya.“Terima kasih karena memberi kesempatan kedua untukku,” ucap Leo berbisik di telinga sang istri.“Heum, berjanjilah, selesaikan urusanmu dengan Dara atau kita tidak perlu bersama–”“Aku akan selesaikan semuanya. Kamu juga harus berjanji, jangan terlalu dekat dengan Arsen, aku tidak menyukainya,” balas Leo tidak mau kalah.“Hem, kita mulai dari awal. Hanya aku dan kamu, tidak ada Dara maupun Arsen,” sambung Alice dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Harapannya, kini telah terwujud, Leo membalas cintanya dan itu berkat kesabaran.Keduanya menikmati kebersamaan berdua, beberapa lilin mereka bahkan sudah padam karena tiupan angin pantai. Alice dan Leo masih saling berdansa, menukar setiap rasa yang ada di dalam hati.“Bagaimana kalau kita masuk, aku sudah tidak tahan dengan dinginnya,” kata Alice pada Leo yang masih
Di dalam ruangan dengan warna coklat gelap. Seorang pria dengan wajah tak kalah tampan dari Leonardo menatap lekat pada wanita yang saat ini berdiri menatapnya dengan tatapan marah.Bram melangkah mendekat seiring dengan langkah kaki Dara yang mundur ke belakang. Wanita itu, menelan ludah kasar membayangkan kembali malam panas yang pernah terjadi.“Kenapa mundur, Nona.” Bram menarik tangan Dara lembut ke arahnya, membentur dadanya yang bidang.“Pak Bram. Jaga sikap Anda, ya.” Dara menyentak tangan Bram dan mundur menjauh.Bram mendengus kasar, berbalik dan melangkahkan kaki ke arah kursi miliknya. Pria itu dengan gagahnya duduk kemudian memakai kembali kacamata yang tadi dilepas.“Selamat karena Anda sudah kembali bekerja, Nona,” kata Bram kembali pada sikap awalnya. Ia menatap ramah pada Dara seolah tak pernah terjadi hal mendebarkan pada kerjanya.Dara membenarkan rambutnya kemudian berdehem. “Pak, saya ingin bertanya mengapa surat pengunduran diri saya Anda tolak?”Bram masih menat
Suara ketukan pintu terdengar, Leo membuka kacamata dan mengizinkan orang yang mengetuk segera masuk.Dari luar, masuklah Dara senyum yang menawan. Langkah kaki yang begitu anggun terlihat sangat indah.“Selamat siang, Pak.” Dara semakin mendekat dan menyerahkan dokumen yang dibawanya ke meja Leo.“Pak, saya membutuhkan tanda tangan Anda,” katanya sembari melirik wajah tampan bosnya yang semakin bersinar setelah kepulangan dari liburan minggu lalu.Leo membubuhkan tanda tangan miliknya di setiap lembar yang Dara buka. “Di sini juga?” “Benar Pak,” jawab Dara dengan senyum yang menawan.Setelah semua selesai, Leo menutup dokumen dan menyerahkan kembali kepada Dara. Dara mendekat ke arah Leo, duduk di atas pangkuan bosnya dengan berani.Leo mengerang marah karena tak menduga jika Dara seberani itu melakukannya tanpa aba-aba, “Dara, apa yang kamu lakukan?”Dara mengalungkan tangan pada leher Leo, semakin mendekatkan tubuhnya yang sintal dan mengecup pipi Leo dengan sensual.“Dara,” kata
Leonardo mengusap wajah kasar. Ia melihat kotak makan dengan isian yang menggiurkan di atas meja. Akan tetapi, tak sedikit pun ia mencicipi. Bukan karena tidak suka, melainkan selera makannya yang tak ada lagi.“Pak, saya permisi, dulu!” Bram yang memang berniat membawa makanan yang Alice bawa sudah siap untuk meninggalkan rumahnya, tetapi, Leo memintanya kembali duduk dan menemaninya untuk makan siang bersama.Sementara Alice, wanita itu langsung saja pulang setelah berhasil memberinya satu tamparan juga.Bram melirik pelan ke arah bosnya, tanda merah berbentuk telapak tangan masih terlihat nyata di sana. “Pak, saya akan membawa es untuk Anda, tolong tunggu sebentar,” kata Bram sekali lagi ingin berpamitan.“Duduklah! Aku tidak membutuhkan apa pun selain teman makan,” kata Leo. Ia meraih linting dan sendok dengan malas, tulisan indah tangan istrinya pun masih ada di atas meja.Menghela napas panjang, Bram akhirnya meraih piring lain dan menyendok nasi dengan sepotong daging ke atas p
Waktu berputar lebih cepat setelah kejadian itu. tujuh bulan telah berlalu, semua terlihat baik-baik saja. Alice dengan pekerjaannya begitu pun dengan Leo yang semakin sibuk dengan kesibukan sendiri.Alisa sudah selesai dengan sekolahnya dan bekerja di bawah kakaknya—sekretaris Leonardo yang baru. Karena setelah kejadian Alice menampar Dara, wanita itu menghilang tanpa kabar lagi.Bram yang paling lelah mencari karena Dara membawa setengah dari hatinya.“Pak Bram, usiamu sudah begitu tua, tetapi mengapa masih saja menyendiri?” Alisa duduk dengan kopi di tangannya, menyesapnya sedikit dan menatap miris pada asisten kakaknya.Mendengus kasar, “Nona, tolong jangan ganggu saya. Saya tidak dalam suasana hati yang baik.”Berdecih, “Sejak kapan suasana hatimu baik, Pak. Sudah biarkan saja dia yang sudah pergi, masih ada wanita lain yang lebih baik, ‘kan?”Alisa menyesap kopi miliknya, kemudian tersenyum simpul. “Pak Bram, apakah mau menjadi kekasihku?”Bram yang tengah gundah gulana, mendapa
Udara dalam ruangan semakin panas, padahal Arsen sudah menambah suhunya. Melihat keduanya yang saling menatap dengan murka. Pria itu mendengus kasar. “Jika kalian ingin bertengkar, jangan di ruanganku. Pergilah, cari tempat yang luas.” Arsen berdiri dan membawa langkahnya ke arah mejanya.“Ingat, jika kalian sudah berhasil saling menyakiti, jangan salahkan aku karena tidak akan membela siapa pun di antara kalian.”Silvia mendengus kasar. Ia meraih tas yang sudah diletakkan di sofa, kemudian keluar dari ruangan Arsen tanpa mengatakan sepatah kata pun.Menyaksikan kepergian Silvia. Hari Vita bahagia. Ia merasa jika Silvia mulai menyadari jika dirinya yang lebih pantas bersanding dengan Arsen.“Arsen, apa kamu sibuk? Bagaimana jika kita makan siang bersama di bawah?” “Keluarlah! Kita sudah tidak ada hubungan apa pun, lagi Vita,” kata Arsen menatap datar pada wanita yang langsung terdiam di tempatnya.“Arsen, apa maksudmu, kita ini pernah bertunangan, aku–”“Hentikan kebodohanmu, Vita.
Leonardo dan Arsen saling pandang, kemudian sesaat kemudian mereka berdua tertawa. “Jangan bercanda. Aku tahu, tertawa kalian tidak tulus.” Arsen berdehem kemudian memutuskan melanjutkan makanan mereka. Sesekali ia menatap Alice yang terlihat bahagia ketika dengan sengaja Leonardo menyuapinya.‘Apa mereka berdua sengaja membuatku cemburu?’ batin Arsen mulai kepanasan.“Kami memang seromantis ini, jadi jangan berpikir jika aku sengaja memamerkan kemesraan kami,” kata Leonardo seolah mengetahui isi hati rekannya.Mendengus kasar, Arsen kembali melanjutkan makannya, tanpa memedulikan ejeken Leon tak henti membuat darahnya mendidih.Beberapa menit kemudian. Alice tersenyum cerah, ia menatap sahabat dan juga suaminya secara bergantian.“Aku senang melihat kalian berdua duduk berdampingan seperti ini,” kata Alice, mereka sudah selesai dengan makan siang dan sudah membersihkan semuanya.Arsen dan Leo sama-sama mendengus kasar dan serempak membuang muka ke samping.Alice terkekeh, merasa lu
Di bawah pohon yang rindang, empat kepala tengah berbaring menghadap ke atas. Di sekeliling mereka rumput hijau yang berbunga tumbuh subur semakin menambah keindahan.“Jadi, kalian tidak ingin jujur kepada Ibu?” tanya Alice mencoba mengulik apa yang terjadi. Damian dan Laila saling lirik, “Ibu, kami tidak merahasiakan apa pun darimu,” kilah Damian menolong adiknya.“Benarkah? Kenapa ibu mereka jika kalian berdua mulai menyembunyikan sesuatu, ya.” Alice membalik tubuhnya seperti tengkurap, menatap ketiga orang di hadapannya masih berbaring menatap ke langit biru. “Ayah, tolong beritahu ibu,” bujuk Laila berkata lembut.Baru saja Arsen akan bersuara, Alice langsung berdehem, “Jangan meminta tolong pada Ayahmu. Dia masih Ibu hukum karena kesalahan yang lain,” tukas Alice memicing tajam.Damian dan Laila terkekeh bersama, "Ayah, kali ini, kami tidak bisa menolong," kata Damian, ia menarik adiknya dan bermain bersama.Mendengus pelan, Damian dan Alice pun ikut bangkit dari tidurnya.“Ka
Di sebuah ruangan yang gelap. Seorang pria tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Bayangan sang istri terus berputar di dalam benaknya. “Bahkan dia tidak ingin membalas pelukanku dariku,” gumamnya memecah keheningan malam. “Di mana dia menyimpan anak-anakku. Wanita itu …,” geramnya menyadari jika tadi ia tak melihat dua anak yang Bram ungkapkan padanya.Leonardo menoleh tatkala mendengar suara ketukan pintu, ia melangkah malas ke arah sumber suara. Membuka pintu dan menemukan pelayan perempuan berdiri di sana.“Katakan!” serunya malas. Cahaya dari luar menerangi kamarnya yang masih gelap. Hal yang selalu Leo lakukan selama kepergian istrinya.“Saya sudah meminta nona Dara seperti yang Anda perintahkan, tetapi beliau memutuskan untuk tetap tinggal di luar rumah, Tuan,” lapornya.Leonardo mendengus kasar, “Biarkan saja. Kalian lebih baik tidur karena besok pagi Alisa dan beberapa tukang akan datang,” kata Leo, “siapkan apa saja yang seharusnya kalian siapkan,” sambungnya lagi
Mendengus kasar, Leo menarik Alice masuk ke dalam mobilnya, mengabaikan panggilan dari supir istrinya yang terlihat khawatir.“Lepaskan aku!” sentak Alice lagi, ia mencoba keluar, tetapi Leo mengunci pintu mobil dengan cepat.“Leon, tolong biarkan aku pergi,” katanya dengan tatapan memelas. Ia tidak bisa pulang terlambat malam ini.“Tidak akan! Aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Alice! Tidak akan!” balas Leo dengan nada marah.Berdecak, Alice berpikir cepat, kedua anaknya bisa marah jika dia tak kembali lebih awal malam ini. Namun, bagaimana cara membicarakan ini pada Leon? Pria di sebelahnya tak boleh mengetahui keberadaan mereka berdua.Leo yang melihat istrinya tengah gelisah, hanya menyeringai, ia tahu jika Alice tengah dilanda kekhawatiran yang dalam saat ini.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan aku lagi, Alice. Jadi jangan harap kamu bisa lepas dariku,” desis Leo dengan suara yang berat.“Leon jangan bercanda. Aku tidak bisa ikut denganmu malam ini,” katanya memelas.
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar