Leonardo mengusap wajah kasar. Ia melihat kotak makan dengan isian yang menggiurkan di atas meja. Akan tetapi, tak sedikit pun ia mencicipi. Bukan karena tidak suka, melainkan selera makannya yang tak ada lagi.“Pak, saya permisi, dulu!” Bram yang memang berniat membawa makanan yang Alice bawa sudah siap untuk meninggalkan rumahnya, tetapi, Leo memintanya kembali duduk dan menemaninya untuk makan siang bersama.Sementara Alice, wanita itu langsung saja pulang setelah berhasil memberinya satu tamparan juga.Bram melirik pelan ke arah bosnya, tanda merah berbentuk telapak tangan masih terlihat nyata di sana. “Pak, saya akan membawa es untuk Anda, tolong tunggu sebentar,” kata Bram sekali lagi ingin berpamitan.“Duduklah! Aku tidak membutuhkan apa pun selain teman makan,” kata Leo. Ia meraih linting dan sendok dengan malas, tulisan indah tangan istrinya pun masih ada di atas meja.Menghela napas panjang, Bram akhirnya meraih piring lain dan menyendok nasi dengan sepotong daging ke atas p
Waktu berputar lebih cepat setelah kejadian itu. tujuh bulan telah berlalu, semua terlihat baik-baik saja. Alice dengan pekerjaannya begitu pun dengan Leo yang semakin sibuk dengan kesibukan sendiri.Alisa sudah selesai dengan sekolahnya dan bekerja di bawah kakaknya—sekretaris Leonardo yang baru. Karena setelah kejadian Alice menampar Dara, wanita itu menghilang tanpa kabar lagi.Bram yang paling lelah mencari karena Dara membawa setengah dari hatinya.“Pak Bram, usiamu sudah begitu tua, tetapi mengapa masih saja menyendiri?” Alisa duduk dengan kopi di tangannya, menyesapnya sedikit dan menatap miris pada asisten kakaknya.Mendengus kasar, “Nona, tolong jangan ganggu saya. Saya tidak dalam suasana hati yang baik.”Berdecih, “Sejak kapan suasana hatimu baik, Pak. Sudah biarkan saja dia yang sudah pergi, masih ada wanita lain yang lebih baik, ‘kan?”Alisa menyesap kopi miliknya, kemudian tersenyum simpul. “Pak Bram, apakah mau menjadi kekasihku?”Bram yang tengah gundah gulana, mendapa
Udara dalam ruangan semakin panas, padahal Arsen sudah menambah suhunya. Melihat keduanya yang saling menatap dengan murka. Pria itu mendengus kasar. “Jika kalian ingin bertengkar, jangan di ruanganku. Pergilah, cari tempat yang luas.” Arsen berdiri dan membawa langkahnya ke arah mejanya.“Ingat, jika kalian sudah berhasil saling menyakiti, jangan salahkan aku karena tidak akan membela siapa pun di antara kalian.”Silvia mendengus kasar. Ia meraih tas yang sudah diletakkan di sofa, kemudian keluar dari ruangan Arsen tanpa mengatakan sepatah kata pun.Menyaksikan kepergian Silvia. Hari Vita bahagia. Ia merasa jika Silvia mulai menyadari jika dirinya yang lebih pantas bersanding dengan Arsen.“Arsen, apa kamu sibuk? Bagaimana jika kita makan siang bersama di bawah?” “Keluarlah! Kita sudah tidak ada hubungan apa pun, lagi Vita,” kata Arsen menatap datar pada wanita yang langsung terdiam di tempatnya.“Arsen, apa maksudmu, kita ini pernah bertunangan, aku–”“Hentikan kebodohanmu, Vita.
"L-leon, apakah kau bisa ikut … denganku?" Alice terlihat tergugup dan masih terus berusaha membujuk Leonardo agar ikut dengannya ke rumah orang tua Alice. Alice mengekor kemanapun Leonardo melangkah, bahkan Alice dengan sengaja menghalangi langkah sang suami yang ingin bercermin. "Alice, jangan kekanakan!" seru Leonardo menatap Alice dengan tatapan jengah. Alice mengerucutkan bibir. Dia tidak marah sama sekali walaupun Leonardo sering kali menganggapnya tidak ada. Bahkan Leonardo sering kali menatapnya dengan tatapan remeh. Alice menghembuskan napas pelan, ia berdiri di hadapan Leonardo yang masih serius dengan kegiatannya memasang dasi berwarna biru. Suaminya ini selalu terlihat tampan dari sisi manapun. "Sini, biar aku bantu memakainya." Alice sudah siap, tangannya sudah akan menyentuh kerah kemeja suaminya sebelum Leonardo menepis keras tangannya. "Jauhkan tanganmu!" Leonardo menatap Alice dengan tatapan yang menghunus. Membuat Alice menjauhkan tangannya dari Leonardo d
Beberapa pelayan yang tadi sempat berada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi mendekat dan menolong Alice. Mereka semua ikut sedih tetapi tidak berani melakukan apa pun. "Nyonya, maaf karena kami tidak melihat kondisi dapur sebelumya," kata salah seorang di antara mereka. Alice berdiri dan menatap penampilannya yang semakin kacau, ia menghela napas dan menggeleng. "Bukan salah kalian. Pergilah, lanjutkan pekerjaan kalian lagi." "Tapi, Nyonya Anda--" "Tidak masalah, aku akan bersihkan dapur setelah itu membersih diri," potongnya cepat. Jika tidak segera membersihkan dapur, ibu mertuanya bisa kembali murka. ** Setelah kejadian pagi tadi, Leonardo segera bergegas berangkat ke kantor. "Selamat pagi, Pak," sambut wanita cantik dengan rambut sebahu. Leonardo hanya mengangguk, dia bahkan tidak tertarik memperhatikan Dara terlalu lama. Wanita dengan setelan formal itu hanya tersenyum kecut, lalu menekan tombol paling atas untuk sampai ke ruangan CEO. Sementara itu, pr
Beberapa saat setelah berhasil keluar rumah. Alice yang sudah berada di dalam taxi lantas menghubungi Leonardo kembali. Namun, setelah beberapa kali mencoba, Leonardo masih belum menerima panggilan darinya. Tidak putus asa, Alice terus mencoba sampai berhasil. "Halo, Leo, apa kau sibuk?" Sumringah Alice ketika panggilannya mendapatkan respon. Alice mengerutkan kening karena bukan suara Leonardo yang menjawab panggilannya. Itu suara wanita yang seketika membuat perasaannya aneh. "Kau siapa? Di mana suamiku, Leonardo?" tanya Alice dengan wajah datar. Entah kenapa, tetapi suara di balik layar memberikan radar bahaya pada rumah tangganya. "Saya, Dara, Leon--" jawab Dara. Akan tetapi, ia tidak segera melanjutkan ucapannya karena suara Alice kembali terdengar. "Dara?" ulang Alice lagi. "Heum, Anda siapa ya?" Terdengar lagi suara Dara dari balik layar. Alice langsung mematikan panggilan dengan sepihak, ada perasaan yang aneh menyelimuti hatinya saat nama itu disebutkan. Apalagi, saat
Dalam ruangan berukuran besar dengan barang-barang mewah di dalamnya. Pria berusia 60 tahunan sedang berdiri dengan tangan di belakang punggung. Ia sedikit mendongak dengan tatapan rindu dan penyesalan. Sesekali ia menghela napas pelan dan berucap sangat lirih, "Sayang, maafkan Ayah Nak. Kembalilah, Ayah merindukan dirimu." Tuan Oscar adalah salah satu pria terkaya di Eropa. Kekayaannya yang melimpah dan dengan usaha yang tersebar di mana-mana membuat hidupnya bergelimang harta. Namun, kepergian putri sulungnya menjadi salah satu cambuk terbesar di usia tua, yang harusnya di kelilingi oleh orang-orang terkasih. Sekali lagi, tatapan rindu itu begitu nampak jelas dari mata yang sudah mulai mengabur. "Kembalilah, Nak. Ayah sangat merindukan semua tentangmu." Tuan Oscar mengusap air matanya pelan. Putri sulungnya, menghilang begitu saja, bahkan sampai saat ini, dia tak tahu di mana keberadaan gadis cantiknya. Ia masih mengingat senyum manis putrinya. Lesung pipi kecil ketika ia terseny
Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi. "Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh