“Kamu punya anak dengan Zira?” Ale berbisik pada suaminya. “Sembarangan. Kamu tahu aku terakhir bertemu Zira sejak putus dengannya. Kamu sendiri yang bilang Zira ke luar negeri.” Alca mengelak tuduhan sang istri. Memang setelah memutuskan hubungan dengan Zira, mereka tidak pernah bertemu lagi. Apalagi mereka tahu jika Zira sudah ke luar negeri. “Lalu dia anak Zira dengan siapa?” tanya Ale. “Mana aku tahu.” Alca mengendikan bahunya. Ale segera melihat gadis itu. “Jadira—“ “Panggil saja Dira, Tante.” Dira menjawab. Ale merasa Dira cukup unik. Wajah internasional, tetapi lancar bahasa Indonesia. “Baiklah, Dira. Jadi kamu anak Zira?” Ale memastikan. “Iya.” Dira mengangguk. Kemudian menunjukkan fotonya dengan sang mama. Ale mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata memang benar jika Dira anak “Lalu di mana mamamu?” Alca penasaran karena Dira datang sendiri tanpa mamanya. “Mama sudah meninggal dunia.” Dira menjelaskan pada Alca. Alca dan Ale begitu terkejut sekali dengan yang dide
Dima yang baru saja pulang dari rumah neneknya segera masuk ke rumah. Saat masuk, dia melihat seorang gadis belia di sana. Dima hanya menatap sebentar. Merasa aneh, kenapa ada anak-anak di rumahnya saat dilihat penampilan anak tersebut. Dima menyimpulkan jika gadis itu keturunan asing. Tampak dari rambutnya blonde, belum lagi matanya yang biru. Tak mau pusing memikirkan siapa gerangan gadis itu, Dima memilih untuk berlalu begitu saja. “Menyebalkan sekali, tidak mau menyapa.” Dira menggerutu. Sedikit kesal dengan Dima yang melintas begitu saja. Padahal tadi dia sudah mencoba tersenyum. Dira menunggu cukup lama Ale dan Alca. Dia bingung kenapa dua orang itu begitu lama. Sejujurnya Dira begitu lelah. Perjalanan New York-Jakarta cukup lama. Dia sudah sangat lelah. Ingin sekali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang nyaman. Sayangnya, dia harus bersabar. Karena pemilik rumah belum menerimanya. “Kira-kira apa yang ditulis mama? Apa mama meminta mereka mengadopsi aku?” Dira berguma
“Anak keduaku namanya Arlo. Sayangnya, dia sedang tidak di rumah.” Ale menjelaskan kembali pada Dira.Dira mengangguk mengerti. Yang dia tanggap jika anak dari Alcander Janitra semua laki-laki. “Dim, Arlo ke mana?” Tiba-tiba Ale teringat dengan anak bungsunya itu. Dibanding sang kakak, Arlo sedikit liar. Pergi terus dan jarang di rumah. Jika kemalaman pulang, dia akan pulang ke rumah oma dan opanya. Mencari perlindungan. Karena papanya akan marah jika Arlo pulang larut malam. Arlo masih kuliah. Jadi Ale dan Alca ingin Arlo fokus. “Tadi dia bilang jalan dengan pacarnya.” Dima mengangkat koper sambil menjawab pertanyaan sang mama. Ale mengingat jika Arlo sudah punya pacar sejak lulus sekolah. Sudah cukup lama juga menjalin hubungan. Arlo memang berbeda dengan kakaknya. Arlo selalu mengajak pacarnya datang ke rumah, sedangkan Dima tidak sekali pun membawanya. Meskipun Ale tahu jika putranya itu pasti punya pacar. Akhirnya mereka sampai di lantai atas juga. Dima sampai kelelahan. Kop
Mendapatkan pertanyaan dari sang mama, Dima bingung. Dima sebenarnya punya kekasih. Hanya saja dia belum bisa membawa kekasihnya itu ke rumah. Karena kekasih adalah seorang model. Dia sedang sibuk mengejar karier. Belum siap juga untuk menikah. Jadi selama ini Dima sengaja menyembunyikan hal itu agar mamanya tidak memintanya membawa ke rumah atau bahkan menikahinya. “Tidak, Ma.” Dima terpaksa berbohong. Mama Ale menatap sang suami. Ternyata Dima sedang tidak punya kekasih. “Mama tidak tanya aku?” Arlo menggoda sang mama. “Untuk apa bertanya padamu jika kekasihmu selalu kamu bawa ke sini.” Ale menyindir putranya. Anaknya memang selalu membawa kekasihnya ke rumah. “Dira punya pacar juga?” tanya Ale menatap gadis belia itu. “Tidak, Tante.” Dira menggeleng. Dia sibuk mengurus mamanya yang sakit. Jadi tidak pernah memikirkan hal itu. Dia hana fokus pada mamanya saja. Ale mengangguk. Menyimpan dalam memorinya. Jika Dira jua tidak punya kekasih. “Kamu benar tidak punya pacar? Bukanny
Dira bangun pagi-pagi. Mamanya sudah pernah berpesan untuk selalu tahu diri saat tinggal di rumah orang. Walaupun dibesarkan di negara asing, mamanya tetap mengajarkannya sopan santun di negeri ini. Selalu meminta Dira rendah hati. Namun, dia tetap anak-anak yang kadang mudah kesal. Saat bangun, Dira langsung membantu asisten rumah tangga. Membersihkan rumah dan dapur. “Tidak perlu, Non.” Asisten rumah tangga melarang Dira. “Tidak apa-apa, Bi. Saya mau melakukannya.” Dira tetap nekat mau cuci piring. “Tapi, nanti saya dimarahi Bu Ale.” Asisten rumah tangga takut sekali jika majikannya marah. “Tidak perlu takut Tante Ale tidak akan marah.” Dira meyakinkan. Asisten rumah tangga akhirnya membiarkan Dira melakukannya. Karena dia harus mengerjakan yang lain. Dira mencuci piring sisa makan semalam. Ternyata sisa semalam belum dicuci oleh asisten rumah tangga. Karena semalam banyak yang makan, jadi cucian piring cukup banyak. Tepat saat Dira sedang mencuci piring, Dima ke dapur. Pria
“Pekerjaan apa maksud kamu, Dim?” Ale menatap anaknya. Merasa bingung dengan maksud sang anak. “Cleaning servis di kantor.” Dima dengan entengnya menjawab. Semua langsung membulatkan mata. Bagaimana bisa Dima enak sekali mengatakan hal itu. “Dim, kamu yang benar saja memberikan pekerjaan seperti itu?” Ale merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan Dima. “Dia sendiri yang bilang begitu. Lalu apa salahnya aku menjawab seperti itu.” Dengan entengnya Dima mengatakan hal itu. “Tapi—“ “Tidak apa-apa. Aku mau.” Dira langsung memotong ucapan Ale. Dia merasa apa pun pekerjaannya, dia aku melakukannya. Demi bisa bertahan hidup. Dima menatap mamanya. Merasa tidak ada yang salah dengan tawarannya. Apalagi Dira tampak tidak keberatan. “Kalau kamu bisa ikut aku ke kantor.” Dima berbicara sambil menggigit rotinya. Menikmati sarapannya. “Baik, Kak.” Dira menangguk dengan penuh keyakinan. Ale memandang sang suami. Dia kesal dengan putranya itu. Bisa-bisanya memanfaatkan keluguan Dira. Di
“Itu ditulis asli oleh Zira, Ma.” Alca ingat bagaimana tulisan itu adalah tulisan mantan kekasihnya.“Kenapa dia menulis wasiat seperti ini?” Mama Mauren mengibas-ngibaskan surat wasiat yang ditulis Zira. Dia tidak terima dengan yang dibacanya. Merasa jika yang ditulis Zira keterlaluan.“Aku juga tidak tahu, Ma.” Alca sendiri tidak mengerti kenapa Zira melakukan hal itu.“Dia tidak punya ikatan denganmu. Jadi dia harusnya tidak berhak melakukan hal ini.” Mama Mauren menambahkan.“Benar kata Mauren. Apalagi ini tidak berkekuatan hukum. Jadi kamu bisa menolaknya.” Mama Arriel menambahkan. Surat wasiat Zira hanya ditulis tangan. Tidak kuat karena hanya permintaan biasa.Ale dan Alca saling pandang. Mereka bingung dengan situasi ini karena yang dikatakan Mama Mauren dan Mama Arriel ada benarnya.“Kami tahu, Ma, jika wasiat ini tidak resmi. Ini hanya sebuah permohonan seseorang yang akan meninggal. Rasanya aku tidak tega jika seseorang yang sudah meninggal berharap sesuatu, tetapi kita tid
Mendapati pertanyaan itu membuat Ale dan Alca saling pandang. Mereka sudah menentukan siapa yang akan menikah dengan Dira. Namun, Mama Mauren yang belum memberikan tanggapannya, membuat mereka ragu.“Dima.” Akhirnya Alca menjawab pertanyaan mamanya itu.Mama Mauren langsung membulatkan matanya. Bagaimana bisa Dima yang dikorbankan dalam hal ini. Walaupun setuju dengan yang dikatakan oleh Ale tadi. Namun, jika untuk mengizinkan Dima, tentu saja dia tidak bisa melakukannya.“Kenapa kalian memilih Dima? Kenapa tidak Arlo saja?” Mama Mauren menatap Ale dan Alca.Mama Arriel membulatkan matanya ketika mengetahui jika Mama Mauren seolah menyodorkan Arlo.“Kenapa kamu justru meminta Arlo yang menikahi anak Zira?” Mama Arriel tidak rela dengan yang dikatakan oleh Mama Mauren.“Kamu yang tadi bertanya siapa yang akan dinikahkan dengan anak Zira. Artinya kamu setuju dengan ide Ale dan Alca.” Mama Mauren merasa jika Mama Arriel sependapat dengan Ale dan Alca. Jadi jika Arlo yang dinikahkan denga