“Anak keduaku namanya Arlo. Sayangnya, dia sedang tidak di rumah.” Ale menjelaskan kembali pada Dira.Dira mengangguk mengerti. Yang dia tanggap jika anak dari Alcander Janitra semua laki-laki. “Dim, Arlo ke mana?” Tiba-tiba Ale teringat dengan anak bungsunya itu. Dibanding sang kakak, Arlo sedikit liar. Pergi terus dan jarang di rumah. Jika kemalaman pulang, dia akan pulang ke rumah oma dan opanya. Mencari perlindungan. Karena papanya akan marah jika Arlo pulang larut malam. Arlo masih kuliah. Jadi Ale dan Alca ingin Arlo fokus. “Tadi dia bilang jalan dengan pacarnya.” Dima mengangkat koper sambil menjawab pertanyaan sang mama. Ale mengingat jika Arlo sudah punya pacar sejak lulus sekolah. Sudah cukup lama juga menjalin hubungan. Arlo memang berbeda dengan kakaknya. Arlo selalu mengajak pacarnya datang ke rumah, sedangkan Dima tidak sekali pun membawanya. Meskipun Ale tahu jika putranya itu pasti punya pacar. Akhirnya mereka sampai di lantai atas juga. Dima sampai kelelahan. Kop
Mendapatkan pertanyaan dari sang mama, Dima bingung. Dima sebenarnya punya kekasih. Hanya saja dia belum bisa membawa kekasihnya itu ke rumah. Karena kekasih adalah seorang model. Dia sedang sibuk mengejar karier. Belum siap juga untuk menikah. Jadi selama ini Dima sengaja menyembunyikan hal itu agar mamanya tidak memintanya membawa ke rumah atau bahkan menikahinya. “Tidak, Ma.” Dima terpaksa berbohong. Mama Ale menatap sang suami. Ternyata Dima sedang tidak punya kekasih. “Mama tidak tanya aku?” Arlo menggoda sang mama. “Untuk apa bertanya padamu jika kekasihmu selalu kamu bawa ke sini.” Ale menyindir putranya. Anaknya memang selalu membawa kekasihnya ke rumah. “Dira punya pacar juga?” tanya Ale menatap gadis belia itu. “Tidak, Tante.” Dira menggeleng. Dia sibuk mengurus mamanya yang sakit. Jadi tidak pernah memikirkan hal itu. Dia hana fokus pada mamanya saja. Ale mengangguk. Menyimpan dalam memorinya. Jika Dira jua tidak punya kekasih. “Kamu benar tidak punya pacar? Bukanny
Dira bangun pagi-pagi. Mamanya sudah pernah berpesan untuk selalu tahu diri saat tinggal di rumah orang. Walaupun dibesarkan di negara asing, mamanya tetap mengajarkannya sopan santun di negeri ini. Selalu meminta Dira rendah hati. Namun, dia tetap anak-anak yang kadang mudah kesal. Saat bangun, Dira langsung membantu asisten rumah tangga. Membersihkan rumah dan dapur. “Tidak perlu, Non.” Asisten rumah tangga melarang Dira. “Tidak apa-apa, Bi. Saya mau melakukannya.” Dira tetap nekat mau cuci piring. “Tapi, nanti saya dimarahi Bu Ale.” Asisten rumah tangga takut sekali jika majikannya marah. “Tidak perlu takut Tante Ale tidak akan marah.” Dira meyakinkan. Asisten rumah tangga akhirnya membiarkan Dira melakukannya. Karena dia harus mengerjakan yang lain. Dira mencuci piring sisa makan semalam. Ternyata sisa semalam belum dicuci oleh asisten rumah tangga. Karena semalam banyak yang makan, jadi cucian piring cukup banyak. Tepat saat Dira sedang mencuci piring, Dima ke dapur. Pria
“Pekerjaan apa maksud kamu, Dim?” Ale menatap anaknya. Merasa bingung dengan maksud sang anak. “Cleaning servis di kantor.” Dima dengan entengnya menjawab. Semua langsung membulatkan mata. Bagaimana bisa Dima enak sekali mengatakan hal itu. “Dim, kamu yang benar saja memberikan pekerjaan seperti itu?” Ale merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan Dima. “Dia sendiri yang bilang begitu. Lalu apa salahnya aku menjawab seperti itu.” Dengan entengnya Dima mengatakan hal itu. “Tapi—“ “Tidak apa-apa. Aku mau.” Dira langsung memotong ucapan Ale. Dia merasa apa pun pekerjaannya, dia aku melakukannya. Demi bisa bertahan hidup. Dima menatap mamanya. Merasa tidak ada yang salah dengan tawarannya. Apalagi Dira tampak tidak keberatan. “Kalau kamu bisa ikut aku ke kantor.” Dima berbicara sambil menggigit rotinya. Menikmati sarapannya. “Baik, Kak.” Dira menangguk dengan penuh keyakinan. Ale memandang sang suami. Dia kesal dengan putranya itu. Bisa-bisanya memanfaatkan keluguan Dira. Di
“Itu ditulis asli oleh Zira, Ma.” Alca ingat bagaimana tulisan itu adalah tulisan mantan kekasihnya.“Kenapa dia menulis wasiat seperti ini?” Mama Mauren mengibas-ngibaskan surat wasiat yang ditulis Zira. Dia tidak terima dengan yang dibacanya. Merasa jika yang ditulis Zira keterlaluan.“Aku juga tidak tahu, Ma.” Alca sendiri tidak mengerti kenapa Zira melakukan hal itu.“Dia tidak punya ikatan denganmu. Jadi dia harusnya tidak berhak melakukan hal ini.” Mama Mauren menambahkan.“Benar kata Mauren. Apalagi ini tidak berkekuatan hukum. Jadi kamu bisa menolaknya.” Mama Arriel menambahkan. Surat wasiat Zira hanya ditulis tangan. Tidak kuat karena hanya permintaan biasa.Ale dan Alca saling pandang. Mereka bingung dengan situasi ini karena yang dikatakan Mama Mauren dan Mama Arriel ada benarnya.“Kami tahu, Ma, jika wasiat ini tidak resmi. Ini hanya sebuah permohonan seseorang yang akan meninggal. Rasanya aku tidak tega jika seseorang yang sudah meninggal berharap sesuatu, tetapi kita tid
Mendapati pertanyaan itu membuat Ale dan Alca saling pandang. Mereka sudah menentukan siapa yang akan menikah dengan Dira. Namun, Mama Mauren yang belum memberikan tanggapannya, membuat mereka ragu.“Dima.” Akhirnya Alca menjawab pertanyaan mamanya itu.Mama Mauren langsung membulatkan matanya. Bagaimana bisa Dima yang dikorbankan dalam hal ini. Walaupun setuju dengan yang dikatakan oleh Ale tadi. Namun, jika untuk mengizinkan Dima, tentu saja dia tidak bisa melakukannya.“Kenapa kalian memilih Dima? Kenapa tidak Arlo saja?” Mama Mauren menatap Ale dan Alca.Mama Arriel membulatkan matanya ketika mengetahui jika Mama Mauren seolah menyodorkan Arlo.“Kenapa kamu justru meminta Arlo yang menikahi anak Zira?” Mama Arriel tidak rela dengan yang dikatakan oleh Mama Mauren.“Kamu yang tadi bertanya siapa yang akan dinikahkan dengan anak Zira. Artinya kamu setuju dengan ide Ale dan Alca.” Mama Mauren merasa jika Mama Arriel sependapat dengan Ale dan Alca. Jadi jika Arlo yang dinikahkan denga
Ayo cepat, aku tidak punya waktu menunggumu.” Dima melihat Dira justru diam saja. Tidak sama sekali bergerak untuk ikut. Tentu saja itu membuatnya menegur.“Baik.” Dira segera merapikan alat pel yang dibawanya. Meletakkan di dekat toilet. Kemudian mengikuti Dima.Dima segera masuk ke mobilnya yang berada di depan lobi. Di belakang Dima ada Dira yang juga masuk ke dalam mobil sesaat kemudian. Beruntung jam istirahat. Jadi tidak ada yang memerhatikan Dira yang masuk ke mobil Dima.Mobil melaju keluar dari kawasan kantor. Dira tidak tahu ke mana Dima akan membawanya. Yang dia tahu hanya untuk makan.Cukup jauh perjalanan dari kantor. Dima sengaja memilih restoran cukup jauh agar tidak menjadi pusat perhatian.Saat sampai di restoran, Dima mengajak Dira untuk segera keluar dari mobil. Mengajaknya masuk ke restoran tersebut.“Pilihlah.” Dima memberikan menu pada Dira.Dira segera meraih daftar menu. Saat melihat menu, pikiran Dira melayang memikirkan jika sebenarnya Dima cukup perhatian. W
Dima baru saja selesai mandi. Kemudian segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga, menuju ke ruang kerja sang papa.Saat masuk tampak papanya duduk di sana. Sudah menunggu di sofa ruang kerjanya.“Duduk, Dim,” pinta Alca.“Iya, Pa.” Dima mengangguk. Segera dia duduk di sofa berhadapan dengan sang papa. “Ada apa papa memanggil aku ke sini?” tanya Dima penasaran.“Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Alca tersenyum. “Sudah lama sekali papa tidak mengobrol denganmu.Dima tersenyum. “Mungkin karena aku mulai sibuk dengan pekerjaan. Jadi kita jarang mengobrol, Pa.” Dima merasa pekerjaannya membuat dia tidak bisa punya waktu banyak.“Aku ingat sekali sejak kita saling jujur, akhirnya kita semakin akur.” Alca mengingat hal itu.Kala itu Dima terkejut ketika melihat nama papanya di akta kelahirannya saat mendaftar sekolah dasar. Saat nama papanya berbeda dengan milik Arlo. Hal itu membuat Dima marah. Hingga akhirnya Alca menjelaskan pelan-pelan. Jika dia memang bukan anaknya. Melainkan an