“Pekerjaan apa maksud kamu, Dim?” Ale menatap anaknya. Merasa bingung dengan maksud sang anak. “Cleaning servis di kantor.” Dima dengan entengnya menjawab. Semua langsung membulatkan mata. Bagaimana bisa Dima enak sekali mengatakan hal itu. “Dim, kamu yang benar saja memberikan pekerjaan seperti itu?” Ale merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan Dima. “Dia sendiri yang bilang begitu. Lalu apa salahnya aku menjawab seperti itu.” Dengan entengnya Dima mengatakan hal itu. “Tapi—“ “Tidak apa-apa. Aku mau.” Dira langsung memotong ucapan Ale. Dia merasa apa pun pekerjaannya, dia aku melakukannya. Demi bisa bertahan hidup. Dima menatap mamanya. Merasa tidak ada yang salah dengan tawarannya. Apalagi Dira tampak tidak keberatan. “Kalau kamu bisa ikut aku ke kantor.” Dima berbicara sambil menggigit rotinya. Menikmati sarapannya. “Baik, Kak.” Dira menangguk dengan penuh keyakinan. Ale memandang sang suami. Dia kesal dengan putranya itu. Bisa-bisanya memanfaatkan keluguan Dira. Di
“Itu ditulis asli oleh Zira, Ma.” Alca ingat bagaimana tulisan itu adalah tulisan mantan kekasihnya.“Kenapa dia menulis wasiat seperti ini?” Mama Mauren mengibas-ngibaskan surat wasiat yang ditulis Zira. Dia tidak terima dengan yang dibacanya. Merasa jika yang ditulis Zira keterlaluan.“Aku juga tidak tahu, Ma.” Alca sendiri tidak mengerti kenapa Zira melakukan hal itu.“Dia tidak punya ikatan denganmu. Jadi dia harusnya tidak berhak melakukan hal ini.” Mama Mauren menambahkan.“Benar kata Mauren. Apalagi ini tidak berkekuatan hukum. Jadi kamu bisa menolaknya.” Mama Arriel menambahkan. Surat wasiat Zira hanya ditulis tangan. Tidak kuat karena hanya permintaan biasa.Ale dan Alca saling pandang. Mereka bingung dengan situasi ini karena yang dikatakan Mama Mauren dan Mama Arriel ada benarnya.“Kami tahu, Ma, jika wasiat ini tidak resmi. Ini hanya sebuah permohonan seseorang yang akan meninggal. Rasanya aku tidak tega jika seseorang yang sudah meninggal berharap sesuatu, tetapi kita tid
Mendapati pertanyaan itu membuat Ale dan Alca saling pandang. Mereka sudah menentukan siapa yang akan menikah dengan Dira. Namun, Mama Mauren yang belum memberikan tanggapannya, membuat mereka ragu.“Dima.” Akhirnya Alca menjawab pertanyaan mamanya itu.Mama Mauren langsung membulatkan matanya. Bagaimana bisa Dima yang dikorbankan dalam hal ini. Walaupun setuju dengan yang dikatakan oleh Ale tadi. Namun, jika untuk mengizinkan Dima, tentu saja dia tidak bisa melakukannya.“Kenapa kalian memilih Dima? Kenapa tidak Arlo saja?” Mama Mauren menatap Ale dan Alca.Mama Arriel membulatkan matanya ketika mengetahui jika Mama Mauren seolah menyodorkan Arlo.“Kenapa kamu justru meminta Arlo yang menikahi anak Zira?” Mama Arriel tidak rela dengan yang dikatakan oleh Mama Mauren.“Kamu yang tadi bertanya siapa yang akan dinikahkan dengan anak Zira. Artinya kamu setuju dengan ide Ale dan Alca.” Mama Mauren merasa jika Mama Arriel sependapat dengan Ale dan Alca. Jadi jika Arlo yang dinikahkan denga
Ayo cepat, aku tidak punya waktu menunggumu.” Dima melihat Dira justru diam saja. Tidak sama sekali bergerak untuk ikut. Tentu saja itu membuatnya menegur.“Baik.” Dira segera merapikan alat pel yang dibawanya. Meletakkan di dekat toilet. Kemudian mengikuti Dima.Dima segera masuk ke mobilnya yang berada di depan lobi. Di belakang Dima ada Dira yang juga masuk ke dalam mobil sesaat kemudian. Beruntung jam istirahat. Jadi tidak ada yang memerhatikan Dira yang masuk ke mobil Dima.Mobil melaju keluar dari kawasan kantor. Dira tidak tahu ke mana Dima akan membawanya. Yang dia tahu hanya untuk makan.Cukup jauh perjalanan dari kantor. Dima sengaja memilih restoran cukup jauh agar tidak menjadi pusat perhatian.Saat sampai di restoran, Dima mengajak Dira untuk segera keluar dari mobil. Mengajaknya masuk ke restoran tersebut.“Pilihlah.” Dima memberikan menu pada Dira.Dira segera meraih daftar menu. Saat melihat menu, pikiran Dira melayang memikirkan jika sebenarnya Dima cukup perhatian. W
Dima baru saja selesai mandi. Kemudian segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga, menuju ke ruang kerja sang papa.Saat masuk tampak papanya duduk di sana. Sudah menunggu di sofa ruang kerjanya.“Duduk, Dim,” pinta Alca.“Iya, Pa.” Dima mengangguk. Segera dia duduk di sofa berhadapan dengan sang papa. “Ada apa papa memanggil aku ke sini?” tanya Dima penasaran.“Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Alca tersenyum. “Sudah lama sekali papa tidak mengobrol denganmu.Dima tersenyum. “Mungkin karena aku mulai sibuk dengan pekerjaan. Jadi kita jarang mengobrol, Pa.” Dima merasa pekerjaannya membuat dia tidak bisa punya waktu banyak.“Aku ingat sekali sejak kita saling jujur, akhirnya kita semakin akur.” Alca mengingat hal itu.Kala itu Dima terkejut ketika melihat nama papanya di akta kelahirannya saat mendaftar sekolah dasar. Saat nama papanya berbeda dengan milik Arlo. Hal itu membuat Dima marah. Hingga akhirnya Alca menjelaskan pelan-pelan. Jika dia memang bukan anaknya. Melainkan an
langkah terkejutnya Dima ketika membaca surat tersebut. Ternyata mama Dira meminta papanya menikahkan anaknya dengan Dira.“Tapi, papa kemarin bilang Dira jika mamanya meminta menjaganya saja.” Dima ingat sekali ucapan papanya.“Papa mengatakan itu karena belum memutuskan apa-apa.” Alca memberikan alasannya.Dima semakin penasaran dengan keputusan papanya. “Lalu keputusan papa apa? Apa papa akan menikahkan salah satu dari aku dan Arlo?” Dima mencecar sang papa dengan pertanyaan ganda.“Iya, papa akan menikahkah salah satu dari kalian.” Alca membenarkan ucapan papanya.“Lalu, siapa yang papa akan nikahkan?” Dima semakin penasaran.Untuk sejenak Alca terdiam. Diamnya Alca itu membuat Dima memikirkan sesuatu. Dia menebak tujuan papanya yang menceritakan masa lalu sampai pada surat wasiat yang dibuat mama Dira.“Apa itu aku?” tanya Dima memastikan.“Iya, papa sudah memilih kamu.” Alca mengangguk.Dima membulatkan matanya. Tak menyangka jika papanya memilih untuk menikahi Dira. Tentu saja
Dima menemui Alia, kekasihnya yang merupakan model. Mereka berpacaran sejak kuliah. Dua tahun mereka berpacaran. Sengaja Dima menyembunyikan hubungannya agar tidak segera dipaksa menikah. Apalagi Alia masih harus mengejar karier modelnya“Hai, Sayang.” Alia langsung menautkan pipi ketika kekasihnya itu datang.“Hai.” Dima memang dingin. Tak banyak bicara. Namun, dia benar-benar mencintai Alia. Dia menautkan pipinya pada sang pujaan hati.Mereka duduk di kursi. Saling berhadapan. Di meja makan sudah tersedia makanan. Tadi Alia sudah bertanya Dima sampai di mana, karena dia sudah memperkirakan waktu untuk memesan makanan, dan benar saja makanan datang lima menit sebelum Dima datang.“Aku sudah memesan makanan untukmu.” Alia tersenyum.“Terima kasih. Ayo kita makan.” Dima ikut tersenyum.Mereka berdua menikmati makan bersama. Keduanya memanfaatkan waktu yang ada untuk bersama.“Aku ingin kamu datang ke rumahku.” Di tengah-tengah makan, Dima mengatakan apa yang diinginkannya.Alia seketik
Dima bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Disusul oleh Dira di belakangnya.“Kak Dima tidak bekerja hari ini?” Arlo yang sudah duduk manis di ruang makan menatap sang kakak. Kakaknya memakai pakaian biasa.“Iya, aku ada urusan.” Dima menjawab singkat. Nanti antarkan Dira kerja sekalian kamu ke kampus.” Dia menitipkan Dira pada adiknya.“Baiklah, nanti aku akan antar Dira.” Arlo mengangguk. Dia kemudian beralih pada Dira. “Nanti kamu pergi ke kantor bersamamu.” Dia tersenyum manis pada Dira.“Iya, Kak.” Dira mengangguk.Mama Ale menatap Dima. Dia tahu jika sang anak ingin menunggu kekasihnya.Semalam ....“Sebenarnya ada urusan apa Dima?” tanya Ale yang begitu penasaran.“Dia bilang jika punya pacar. Jadi dia berencana membawa pacarnya ke sini.” Alca menjelaskan apa yang dikatakan anaknya tadi.Ale cukup terkejut. Tidak tahu ternyata anaknya memiliki kekasih. Padahal dia pikir sang anak tidak punya pacar. Karena beberapa hari lalu saat ditanya jawabnya tidak punya.“Apa dia hany