Ayo cepat, aku tidak punya waktu menunggumu.” Dima melihat Dira justru diam saja. Tidak sama sekali bergerak untuk ikut. Tentu saja itu membuatnya menegur.“Baik.” Dira segera merapikan alat pel yang dibawanya. Meletakkan di dekat toilet. Kemudian mengikuti Dima.Dima segera masuk ke mobilnya yang berada di depan lobi. Di belakang Dima ada Dira yang juga masuk ke dalam mobil sesaat kemudian. Beruntung jam istirahat. Jadi tidak ada yang memerhatikan Dira yang masuk ke mobil Dima.Mobil melaju keluar dari kawasan kantor. Dira tidak tahu ke mana Dima akan membawanya. Yang dia tahu hanya untuk makan.Cukup jauh perjalanan dari kantor. Dima sengaja memilih restoran cukup jauh agar tidak menjadi pusat perhatian.Saat sampai di restoran, Dima mengajak Dira untuk segera keluar dari mobil. Mengajaknya masuk ke restoran tersebut.“Pilihlah.” Dima memberikan menu pada Dira.Dira segera meraih daftar menu. Saat melihat menu, pikiran Dira melayang memikirkan jika sebenarnya Dima cukup perhatian. W
Dima baru saja selesai mandi. Kemudian segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga, menuju ke ruang kerja sang papa.Saat masuk tampak papanya duduk di sana. Sudah menunggu di sofa ruang kerjanya.“Duduk, Dim,” pinta Alca.“Iya, Pa.” Dima mengangguk. Segera dia duduk di sofa berhadapan dengan sang papa. “Ada apa papa memanggil aku ke sini?” tanya Dima penasaran.“Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Alca tersenyum. “Sudah lama sekali papa tidak mengobrol denganmu.Dima tersenyum. “Mungkin karena aku mulai sibuk dengan pekerjaan. Jadi kita jarang mengobrol, Pa.” Dima merasa pekerjaannya membuat dia tidak bisa punya waktu banyak.“Aku ingat sekali sejak kita saling jujur, akhirnya kita semakin akur.” Alca mengingat hal itu.Kala itu Dima terkejut ketika melihat nama papanya di akta kelahirannya saat mendaftar sekolah dasar. Saat nama papanya berbeda dengan milik Arlo. Hal itu membuat Dima marah. Hingga akhirnya Alca menjelaskan pelan-pelan. Jika dia memang bukan anaknya. Melainkan an
langkah terkejutnya Dima ketika membaca surat tersebut. Ternyata mama Dira meminta papanya menikahkan anaknya dengan Dira.“Tapi, papa kemarin bilang Dira jika mamanya meminta menjaganya saja.” Dima ingat sekali ucapan papanya.“Papa mengatakan itu karena belum memutuskan apa-apa.” Alca memberikan alasannya.Dima semakin penasaran dengan keputusan papanya. “Lalu keputusan papa apa? Apa papa akan menikahkan salah satu dari aku dan Arlo?” Dima mencecar sang papa dengan pertanyaan ganda.“Iya, papa akan menikahkah salah satu dari kalian.” Alca membenarkan ucapan papanya.“Lalu, siapa yang papa akan nikahkan?” Dima semakin penasaran.Untuk sejenak Alca terdiam. Diamnya Alca itu membuat Dima memikirkan sesuatu. Dia menebak tujuan papanya yang menceritakan masa lalu sampai pada surat wasiat yang dibuat mama Dira.“Apa itu aku?” tanya Dima memastikan.“Iya, papa sudah memilih kamu.” Alca mengangguk.Dima membulatkan matanya. Tak menyangka jika papanya memilih untuk menikahi Dira. Tentu saja
Dima menemui Alia, kekasihnya yang merupakan model. Mereka berpacaran sejak kuliah. Dua tahun mereka berpacaran. Sengaja Dima menyembunyikan hubungannya agar tidak segera dipaksa menikah. Apalagi Alia masih harus mengejar karier modelnya“Hai, Sayang.” Alia langsung menautkan pipi ketika kekasihnya itu datang.“Hai.” Dima memang dingin. Tak banyak bicara. Namun, dia benar-benar mencintai Alia. Dia menautkan pipinya pada sang pujaan hati.Mereka duduk di kursi. Saling berhadapan. Di meja makan sudah tersedia makanan. Tadi Alia sudah bertanya Dima sampai di mana, karena dia sudah memperkirakan waktu untuk memesan makanan, dan benar saja makanan datang lima menit sebelum Dima datang.“Aku sudah memesan makanan untukmu.” Alia tersenyum.“Terima kasih. Ayo kita makan.” Dima ikut tersenyum.Mereka berdua menikmati makan bersama. Keduanya memanfaatkan waktu yang ada untuk bersama.“Aku ingin kamu datang ke rumahku.” Di tengah-tengah makan, Dima mengatakan apa yang diinginkannya.Alia seketik
Dima bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Disusul oleh Dira di belakangnya.“Kak Dima tidak bekerja hari ini?” Arlo yang sudah duduk manis di ruang makan menatap sang kakak. Kakaknya memakai pakaian biasa.“Iya, aku ada urusan.” Dima menjawab singkat. Nanti antarkan Dira kerja sekalian kamu ke kampus.” Dia menitipkan Dira pada adiknya.“Baiklah, nanti aku akan antar Dira.” Arlo mengangguk. Dia kemudian beralih pada Dira. “Nanti kamu pergi ke kantor bersamamu.” Dia tersenyum manis pada Dira.“Iya, Kak.” Dira mengangguk.Mama Ale menatap Dima. Dia tahu jika sang anak ingin menunggu kekasihnya.Semalam ....“Sebenarnya ada urusan apa Dima?” tanya Ale yang begitu penasaran.“Dia bilang jika punya pacar. Jadi dia berencana membawa pacarnya ke sini.” Alca menjelaskan apa yang dikatakan anaknya tadi.Ale cukup terkejut. Tidak tahu ternyata anaknya memiliki kekasih. Padahal dia pikir sang anak tidak punya pacar. Karena beberapa hari lalu saat ditanya jawabnya tidak punya.“Apa dia hany
Dima sampai di bandara. Segera mencari keberadaan Alia. Ternyata Alia masih berada di ruang tunggu. Gadis cantik dan tinggi semampai itu sedang duduk manis dengan beberapa temannya.“Alia.” Dima memanggil kekasihnya itu.Alia cukup terkejut ketika ternyata Dima menyusulnya. Padahal dia tadi mengatakan sedang ke bandara agar Dima tidak menunggunya. Namun, justru Dima menyusulnya.“Dima.” Alia segera menghampiri Dima. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Alia polos.“Aku yang harusnya tanya kamu. Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu akan pergi siang nanti?” Dima sudah tahu jadwal Alia. Jadi merasa aneh ketika Alia mengganti kepergiannya.“Aku memajukan keberangkatanku.” Alia mencoba menjelaskan.“Apa kamu sengaja menghindar untuk tidak ke rumahku?” Dima menatap gadis yang dipacarinya itu sejak lama.Alia terdiam. Dia tidak berani menjawab.“Jawab Alia!” Dima yang biasanya diam tak banyak bicara. Kini meninggikan suaranya.Alia cukup terkejut dengan sikap Dima. Baru kali ini Dima bersikap seperti
Siapa dia?” tanya Wina, salah satu cleaning servis pada Ina.“Dia cleaning servis baru.”Kemarin Wina libur. Jadi tidak tahu jika ada cleaning servis baru.“Bule kesasar jadi cleaning servis.” Wina tertawa ketika mengetahui jika ada orang asing yang menjadi cleaning servis. Ina tidak menanggapi ucapan Wina. Wina memang selalu saja begitu jika ada anak baru. Apalagi anak baru yang sekarang wajah cantik blasteran. Jadi tentu saja mengusiknya.“Hai, Ina.” Dira menyapa Ina.“Hai, Dira.” Ina tersenyum. Dia segera mengalihkan pandangan pada Wina. “Dira, kenalkan ini Wina.” Dia memperkenalkan temanya itu.“Hai, aku Dira.” Dira memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.“Wajah bule, nama tetap lokal,” ledek Wina. “ Wina.” Dia memperkenalkan diri seraya menerima uluran tangan Dira.Dira tersenyum. Tak terlalu menanggapi.“Ayo, Dira.” Ina mengajak Dira melanjutkan pekerjaannya.Dira mengikuti Ina untuk melanjutkan pekerjanya. Mereka akan membersihkan toilet di lobi. Karena tadi banyak pela
“Iya, kamu pikir siapa!” Dima menatap malas pada Dira. Dira menekuk bibirnya, sedikit kesal. Bagaimana dia tahu jika itu adalah Dima. Karena pria di depannya itu memakai helm. Terlebih lagi suara yang tertahan helm, membuatnya tidak dapat mendengar suara asli Dima. Dima segera berbalik. Naik lagi ke motornya. Dira pun segera mengekor di belakang Dima. “Ini.” Dima memberikan helm pada Dira. Dira segera memakai helm tersebut. Kemudian naik ke atas motor. Sayangnya, karena motor begitu tinggi, Dira nyaris jatuh. Untung saja Dima sigap memegangi tubuh Dira. “Apa kamu tidak bisa hati-hati?” Dima melemparkan pertanyaan bernada sindiran. “Aku sudah hati-hati. Motornya saja yang terlalu tinggi.” Dira menyalahkan motor Dima. Dima menyatukan giginya untuk menahan kekesalannya itu. “Sudah pegang pundakku.” Dia menepuk pundaknya. Dira segera memegangi pundak Dima. Kemudian naik ke atas motor. Akhirnya setelah bersusah payah, dia bisa naik motor juga. Dima melihat Dira dari pantulan kaca s