“Iya, kamu pikir siapa!” Dima menatap malas pada Dira. Dira menekuk bibirnya, sedikit kesal. Bagaimana dia tahu jika itu adalah Dima. Karena pria di depannya itu memakai helm. Terlebih lagi suara yang tertahan helm, membuatnya tidak dapat mendengar suara asli Dima. Dima segera berbalik. Naik lagi ke motornya. Dira pun segera mengekor di belakang Dima. “Ini.” Dima memberikan helm pada Dira. Dira segera memakai helm tersebut. Kemudian naik ke atas motor. Sayangnya, karena motor begitu tinggi, Dira nyaris jatuh. Untung saja Dima sigap memegangi tubuh Dira. “Apa kamu tidak bisa hati-hati?” Dima melemparkan pertanyaan bernada sindiran. “Aku sudah hati-hati. Motornya saja yang terlalu tinggi.” Dira menyalahkan motor Dima. Dima menyatukan giginya untuk menahan kekesalannya itu. “Sudah pegang pundakku.” Dia menepuk pundaknya. Dira segera memegangi pundak Dima. Kemudian naik ke atas motor. Akhirnya setelah bersusah payah, dia bisa naik motor juga. Dima melihat Dira dari pantulan kaca s
Dira dan Dima duduk bersebelahan. Berharapan dengan Ale dan Alca. Dira benar-benar tidak tahu apa yang akan dibicarakan. “Dira, sebenarnya yang ditulis mamamu bukan sekadar menitipkanmu pada kami saja. Tapi, ada hal lain.” Alca memulai pembicaraan dengan Dira. Dira cukup terkejut ketika mendengar hal itu. Dia pikir jika mamanya hanya sekadar menitipkan. “Lalu apa yang mama inginkan?” tanya Dira penasaran. “Ini.” Alca memberikan amplop yang diberikan surat yang diberikan Dira waktu itu. Dira segera membuka surat yang diberikan Alca padanya. Membaca apa yang terdapat di dalam surat wasiat yang ditulis mamanya sebelum meninggal. Alangkah terkejutnya Dira, ternyata mamanya meminta Alca untuk menikahkan dirinya dengan anak Alca. Sebagai luka di masa lalu. “Kenapa mama harus minta hal seperti ini?” tanya Dira. Dia tidak habis pikir. Kenapa bisa mamanya meminta hal konyol seperti ini. “Sebenarnya, aku dan mamamu adalah sepasang kekasih sebelum aku menikah. Saat itu aku harus menik
“Aku sudah bilang bukan jika rambutmu harus dicat hitam. Apa kamu tidak mendengarkan perintahku?” Dira hanya bisa diam ketika mendengar cacian dari kepala HRD. Sejak kemarin dia memang diminta untuk mewarnai rambutnya. Namun, karena semalam menangis, dia lupa melakukannya. “Maaf, Bu. Saya janji besok sudah saya cat.” Dira menjawab sambil menundukkan kepalanya. Merasa takut dengan kepala HRD tersebut. “Baiklah, jika besok rambutmu itu tidak dicat hitam, aku benar-benar akan memecatmu. Tidak peduli siapa yang berada di belakangmu.” “Baik, Bu.” Dira menangguk. Kepala HDR segera pergi meninggalkan toilet di lobi. Tinggal Dira saja yang ada di sana. Dira merasa lega karena masih dikasih kesempatan lagi. Entah apa yang harus dilakukannya jika tidak diberikan kesempatan. Ternyata pembicaraan kepala HRD tadi didengar oleh Dima. Dia yang tadi melihat Dira ke toilet lobi segera mengejarnya. Namun, justru mendengarkan omelan dari kepala HRD. Dima merasa kasihan juga. Pasti semalam Dira tida
Dima sudah sampai di rumah. Dia segera masuk ke kamarnya. Membersihkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamar. Berniat menunggu makan malam. “Kamu sudah pulang, Dim.” Ale yang keluar dari kamar tampak terkejut melihat anaknya. Dia pikir sang anak belum pulang. “Iya, sudah dari tadi.” Dima menuruni anak tangga. “Mama pikir kamu belum pulang. Karena Dira juga belum pulang.” Ale tidak melihat Dira pulang. Jadi dia pikir Dira pulang bersama Dima. “Dira belum pulang?” Dima begitu terkejut sekali. “Belum?” Ale menggeleng. “Apa jangan-jangan dia tidak tahu jalan?” Ale mencoba menebak. “Mana mungkin dia tidak tahu jalan. Tadi pagi saja dia sampai di kantor dengan selamat.” Dima tidak percaya jika Dira tidak sampai di rumah karena tidak tahu jalan. “Lalu ke mana dia, Dim?” Ale panik ketika Dira tak kunjung pulang. “Aku akan cari dia.” Dima segera kembali ke kamar. Mengambil jaket dan kunci motor. Dengan segera Dima mengambil motornya. “Dim, kabari mama jika bertemu Dir
Dira terus memanggil sampai akhirnya dia lelah. Dia tak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa meminta bantuan siapa pun.Dira benar-benar merasa takut berada di ruangan sendiri seperti sekarang. Ingatannya kembali pada bagaimana papanya mengurungkannya kala itu. Terasa tersiksa sepi sendiri.Sejak kecil hubungan rumah tangga orang tua Dira memang tidak baik. Papa Dira selalu memukul mamanya. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi dari rumah. Sejak saat itu Dira tidak tahu di mana keberadaan papanya. Jika ditanya, tentu saja Dira akan menjawab jika papanya sudah mati.Dira duduk di lantai. Melipat kakinya dan menyembunyikan wajahnya di antara kaki dan dadanya. Dia hanya bisa menangis. Meratapi dirinya yang selalu sendiri.Saat menjaga mamanya, Dira selalu sendiri, dan kini dia sendiri juga. Dira berpikir mungkin memang dia akan sendiri terus.Dira yang kelelahan menangis pun lambat laun memejamkan matanya. Tubuhnya lemas perlahan merebah di lantai. Energinya sudah terpakai habi
“Aku menemukannya di ruang rapat, Pa. Sepertinya dia terkunci di sana.” Dima menjelaskan pada papanya.Alca merasa heran bagaimana bisa orang terkunci di dalam ruang rapat.“Kamu yakin dia terkunci, tidak ada yang sengaja mengunci?” Alca menatap anaknya.“Aku akan cari tahu besok, Pa.” Dima juga yakin jika Dira dikunci, bukan terkunci. Pasti ada orang yang sengaja mengunci Dira.Dima kembali ke dalam kamar setelah mamanya mengganti baju. Dira masih memejamkan matanya. Tak bangun sama sekali.Arlo yang datang pun segera memberikan obat pada Dima. Dengan cepat, Dima meminumkan obat tersebut.Dira yang begitu kelelahan, mengikuti saja. Dia tidak sadar sama sekali ketika Dima memintanya minum obat.“Aku akan menjaganya, mama dan papa bisa tidur.” Dima menatap kedua orang tuanya.Alca menatap sang istri. Meminta sang istri untuk menuruti apa yang dikatakan sang anaknya.“Baiklah, kami akan tidur. Kamu jagalah Dira.” Alca menepuk bahu Dima.Mendapatkan kode sang suami Ale pun mengerti. “Jag
Seketika pipi Dira menghangat. Dia salah tingkah ketika mendengar ucapan Dima. Sudah dipastikan jika kini pipinya pasti sudah memerah bak tomat busuk.Dima pun juga akhirnya menyadari ucapannya. Dia sedikit menyesali apa yang baru saja diucapkan. Namun, dia tidak bisa menarik ucapannya.“Jika kamu sudah bisa bangun, bersihkan tubuhmu, aku akan ambilkan makan.” Dima mengalihkan pembicaraan. Tak mau sampai membuat Dira tidak nyaman.“Iya, aku akan segera mandi.” Dira yang salah tingkah berusaha untuk tenang.“Baiklah.” Dima segera keluar dari kamar Dira. Memberikan ruang pada Dira.Saat Dima keluar, Dira menjadi jauh lebih tenang. Karena tidak salah tingkah di depan Dima.Dira segera menyibak selimutnya. Bersiap untuk mandi. Saat melihat ke arah bajunya, Dira mulai berpikir. Siapa gerangan yang mengganti bajunya.“Apa Kak Dima yang mengganti?” Dira melemparkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. “Tidak mungkin.” Dira menggeleng. “Pasti Tante Ale.” Dia menebak hal itu. Jika berada di ru
Siapa yang Anda tugaskan untuk membersihkan ruang rapat?” Dima menatap tajam pada kepala cleaning servis.“Saya menyuruh dua cleaning servis, Pak. Tapi, bukan Dira yang saya suruh.”“Kalau begitu panggil dua orang itu!” Dima masih tidak terima jika ada yang menyuruh Dira tanpa sepengetahuan atasannya.“Baik, Pak.”Kepala cleaning servis segera keluar dari ruangan Dima. Kemudian memanggil dua orang yang disuruhnya membersihkan ruang rapat.“Wina, Ina, kalian ikut saya ke ruang Pak Dima.”Wina dan Ina saling pandang. Mereka tidak menyangka jika hal ini sampai ke CEO mereka. Entah apa hubungan Dira sebenarnya dengan CEO Janitra, sampai-sampai CEO-nya sendiri yang turun tangan.Mereka berdua langsung ke ruangan CEO. Mereka menemui Dima di sana.Dima yang melihat dua wanita itu memerhatikan dua wanita itu. Satu wanita dia kenal, karena wanita itu pernah berdebat dengan Dira. Namun, yang satunya Dima tidak kenal.“Siapa di antara kalian yang menyuruh Dira membersihkan ruang rapat?” Dima lan
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker