Seketika pipi Dira menghangat. Dia salah tingkah ketika mendengar ucapan Dima. Sudah dipastikan jika kini pipinya pasti sudah memerah bak tomat busuk.Dima pun juga akhirnya menyadari ucapannya. Dia sedikit menyesali apa yang baru saja diucapkan. Namun, dia tidak bisa menarik ucapannya.“Jika kamu sudah bisa bangun, bersihkan tubuhmu, aku akan ambilkan makan.” Dima mengalihkan pembicaraan. Tak mau sampai membuat Dira tidak nyaman.“Iya, aku akan segera mandi.” Dira yang salah tingkah berusaha untuk tenang.“Baiklah.” Dima segera keluar dari kamar Dira. Memberikan ruang pada Dira.Saat Dima keluar, Dira menjadi jauh lebih tenang. Karena tidak salah tingkah di depan Dima.Dira segera menyibak selimutnya. Bersiap untuk mandi. Saat melihat ke arah bajunya, Dira mulai berpikir. Siapa gerangan yang mengganti bajunya.“Apa Kak Dima yang mengganti?” Dira melemparkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. “Tidak mungkin.” Dira menggeleng. “Pasti Tante Ale.” Dia menebak hal itu. Jika berada di ru
Siapa yang Anda tugaskan untuk membersihkan ruang rapat?” Dima menatap tajam pada kepala cleaning servis.“Saya menyuruh dua cleaning servis, Pak. Tapi, bukan Dira yang saya suruh.”“Kalau begitu panggil dua orang itu!” Dima masih tidak terima jika ada yang menyuruh Dira tanpa sepengetahuan atasannya.“Baik, Pak.”Kepala cleaning servis segera keluar dari ruangan Dima. Kemudian memanggil dua orang yang disuruhnya membersihkan ruang rapat.“Wina, Ina, kalian ikut saya ke ruang Pak Dima.”Wina dan Ina saling pandang. Mereka tidak menyangka jika hal ini sampai ke CEO mereka. Entah apa hubungan Dira sebenarnya dengan CEO Janitra, sampai-sampai CEO-nya sendiri yang turun tangan.Mereka berdua langsung ke ruangan CEO. Mereka menemui Dima di sana.Dima yang melihat dua wanita itu memerhatikan dua wanita itu. Satu wanita dia kenal, karena wanita itu pernah berdebat dengan Dira. Namun, yang satunya Dima tidak kenal.“Siapa di antara kalian yang menyuruh Dira membersihkan ruang rapat?” Dima lan
Bab 230 S2 Dima dan Dira berada di rumah berdua. Kebetulan Ale mengajak serta asisten rumah tangga karena ada beberapa barang yang ingin dibeli. Jadi dia butuh bantuan. Setelah makan siang, Dima masuk ke kamar untuk mengganti baju. Begitu juga Dira, dia masuk ke kamar juga untuk mengambil cat rambutnya. Karena tidak ada yang bisa dia kerjakan, dia memilih untuk mewarnai rambutnya. Dira mengambil air lebih dulu ke dapur untuk membuat cairan cat rambut. “Kamu mau apa?” Dima yang melihat Dira langsung bertanya. Dira menoleh ke arah belakang. Di mana Dima berada. “Mau cat rambut.” Dima hanya menangguk-anggukkan kepalanya. Setelah menyiapkan cairan cat rambut, Dira segera membawanya ke taman belakang. Dia sudah membawa kaca di taman belakang. Dima yang penasaran pun ikut ke taman belakang. Melihat apa yang dilakukan Dima. Dira melapisi tubuhnya dengan kain agar tidak mengenai bajunya tak lupa dia memakai sarung tangan agar tangannya tidak terkena cat rambut. Di depan cermin, Dira
“Kenapa tidak ke salon saja?” Dima melempar pertanyaan sambil mengolesi cairan cat rambut.“Aku saja masih berhutang uang untuk cat rambut ini, bagaimana bisa aku mengecat rambutku di salon. Yang ada aku akan berhutang lebih banyak.”Dima ingat jika kemarin dia mencatat uang membeli cat rambut sebagai hutang. Jadi dia membenarkan ucapan Dira jika pasti akan berhutang banyak jika ke salon. Karena Dima tidak akan meminta cuma-cuma.Dima terus mengolesi rambut Dira dengan cat rambut. Hingga akhirnya seluruh rambut belakang Dira terwarna dengan sempurna.“Sudah selesai.”Dira langsung melihat dengan kaca. Memastikan jika rambutnya hitam sempurna.“Akhirnya rambutku berwarna hitam.” Dira merasa senang ketika rambutnya akhirnya berwarna hitam. Karena dengan begitu dia bisa bekerja dengan tenang.“Siapa yang memiliki rambut pirang, papamu apa mamamu?” Dima kembali duduk.“Papaku.” Dira menjelaskan, tetapi dengan wajah malas.Raut wajah malas itu tertangkap jelas oleh Dima. “Sepertinya kamu t
“Apa kamu tahu?” Ale menghampiri sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Tidak tahu.” Alca menggeleng.“Kamu.” Ale memukul lengan sang suami. Merasa kesal pada suaminya itu.Alca hanya tertawa saja. Dia senang sekali menggoda istrinya.“Cepat katakan.”“Tadi aku tinggal Dima dengan Dira, dan kamu tahu saat aku pulang mereka sibuk berdua. Entah apa yang sedang mereka kerjakan.” Ale mengatakan itu pada suaminya. “Sepertinya mereka mulai dekat.” Ale begitu bersemangat bercerita.“Bagus jika mereka dekat. Bisa jadi jika mereka menikah, mereka sudah saling cinta.” Alca merasa bisa jadi kisah cinta Dima dan Dira akan berbeda dengannya dan Ale.“Iya semoga saja mereka saling suka. Jadi mereka menikah karena cinta.” Ale membenarkan ucapan suaminya.Seusai mengobrol, Ale dan Alca segera keluar dari kamar. Ale bersiap untuk menyiapkan makan malam dan Alca menonton televisi.Dira turun ke lantai bawah segera membantu Ale merapikan makanan di atas meja.“Kamu tadi melihat apa di lapto
Senin pagi Dira mengurus pendaftaran kuliah bersama Dima. Sampai siang barulah semua selesai. Urusan kuliah selesai, akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang.“Kak, apa aku tidak berpamitan dengan atasanku dulu saat keluar kerja?” Dira menatap Dima saat perjalanan pulang dari kampus. Dia merasa jika tidak baik jika main keluar saja.“Aku atasanmu, coba pamit.” Dima menoleh ke arah Dira sebentar. Membagi konsentrasinya pada jalanan. Memberikan perintah pada Dima.“Astaga, bukan begitu maksud aku.” Dira benar-benar kesal ketika Dima menganggap bercanda ucapannya. Padahal dia sedang sangat serius sekali.“Aku sudah membuatkan surat pengunduran dirimu sebagai cleaning servis.”Dira merasa bersyukur ketika Dima membuatkan surat pengunduran diri. Jadi dia besok akan nyaman jika bertemu dengan atasannya bagian cleaning servis. “Lalu untuk jadi asisten Kak Dima, apa aku harus mengirim surat lamaran?” Dira menatap Dima sambil memiringkan tubuhnya.“Tidak perlu buat surat lamaran. Aku sud
“Apa kamu tidak bisa berhati-hati?” tegur Dima seraya menegakkan tubuh Dira. Dia buru-buru menyadarkan dirinya agar tidak terbuai dengan kecantikan Dira.“Maaf, Kak.” Dira merasa bersalah sekali karena tidak berhati-hati.“Bagus kamu jatuh ke pelukanku, bagaimana jika di pelukan orang lain?” Dima bergumam kesal.“Jika aku jatuh ke pelukan orang lain, ya mungkin saja aku bisa jatuh cinta padanya.” Suara gumaman dari Dima. Jadi dia membalasnya.Dima langsung membulatkan matanya. “Kamu mau jatuh cinta pada orang lain?” tanya Dima kesal.Dahi Dira berkerut dalam. Tidak mengerti kenapa Dima tiba-tiba marah.“Kak Dima kenapa marah?” Dira masih kebingungan. Dia merasa jika Dima aneh.“Kamu mau jatuh cinta pada orang lain? Bukankah kamu bilang pada mama jika kamu akan berusaha untuk jatuh cinta padaku.” Dima yang kesal pun langsung meluapkan kekesalannya itu.Dira tercengang ketika melihat Dima mengatakan hal itu. Sejenak dia teringat dengan ucapan dari Dima sama persis dengan yang dikatakan
Dira segera mencari Dima. Tak sabar untuk bertanya apa yang sudah dilakukan oleh Dima. Dira mencari ke ruang rapat. Namun, alangkah terkejutnya ketika sampai di ruang rapat. Di depan ruang rapat, Dira melihat Dima sedang bersama orang-orang penting perusahaan. Ada Papa Alca dan juga para pemegang saham di sana.Dima begitu terkejut sekali ketika Dira mencarinya sampai ke ruang rapat. Padahal sedang banyak orang di sana.“Pasti kamu mau mengingatkan aku untuk bertemu klien?” Dima menatap Dira. Berpura-pura agar Dira tidak malu di hadapan banyak orang.“Iya, Pak. Saya ingin mengingatkan Pak Dima untuk bertemu klien.” Dira dengan sopan membenarkan ucapan Dima.“Saya permisi dulu, karena harus bertemu klien.” Dima berpamitan dengan beberapa pemegang saham dan juga papanya.Mereka semua mengangguk. Mempersilakan Dima untuk pergi lebih dulu.Dima dan Dira segera menuju ke lift. Orang-orang masih memerhatikan Dima yang masih menunggu lift. Mereka baru terlepas dari pandangan saat lift tertut